Monday, October 24, 2016



VISI MISI 
GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA)
TAHUN 2016 – 2041




Ringkasan Eksekutif

Pintu masuknya kekristenan di daerah Angkola-Mandailing pada awalnya dimulai dengan berakhirnya perang Padri pada 1833. Sejak itu Belanda menempatkan Mayor Eilers sebagai komandan pasukan yang berkedudukan di Pakantan, Mandailing bersama Verhoeven, seorang tentara yang sekaligus pendeta dan berhasil membaptiskan Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen sekitar tahun 1834. Namun, perkembangan kekristenan di daerah Mandailing tidak begitu menggembirakan.
Selanjutnya, perkembangan kekristenan di Tanah Batak dimulai lagi dengan kehadiran Gerrit van Asselt di Parausorat, Sipirok (Angkola) pada 1857. Dari Luat  (daerah) Angkola Firman Allah disebarkan ke seluruh pelosok pulau Sumatera dan daerah ini menjadi daerah “Persemaian Firman Allah”. Kemudian sekitar 1940-an umat Kristen Angkola-Mandailing berkeinginan untuk berdiri sendiri dalam satu Badan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Namun keinginan itu belum terwujud berhubungan karena menghadapi banyak rintangan.
Gerakan kemandirian ini baru menjadi kenyataan pada 26 Oktober 1975, HKBP memberikan mandat kemandirian untuk orang Kristen Angkola dalam wadah Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Seturut dengan perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi, HKBP-A mengalami skisma dan lahirlah  Gereja Protestan Angkola (GPA) pada 1980-an. Skisma ini diatasi dengan rekonsiliasi di antara HKBP-A dan GPA dengan mengubah nama gereja menjadi GKPA pada 3 Juli 1988. GKPA berbentuk Badan Hukum yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat kedudukan di Sipirok (1975) kemudian 1987 pindah ke Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Untuk dapat mengoptimalkan tugas dan panggilannya sebagai lembaga yang menjalankan Missio Dei, GKPA menatap ke masa depan tanpa melupakan sejarahnya.  Untuk  itu GKPA menyusun Visi Misi, Tata Nilai-nilai, Strategi dan program-program utamanya, sebagai penuntun menuju masa depan yang lebih  jelas agar dapat memenuhi tuntutan perubahan serta harapan-harapan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).
Setelah melalui langkah-langkah studi dan analisis internal, eksternal serta meneropong kecenderungan perubahan 25 tahun mendatang, di bawah terang Firman Tuhan,  ditetapkanlah Visi GKPA 2016-2041 yaitu: “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan”( Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap Sauduran[“The Church who excellent service in togetherness”]).
Sedangkan misi GKPA untuk mencapai visi tersebut adalah: “Meningkatkan dan Mengembangkan  Kesaksian, Persekutuan, Pelayanan  dengan Semangat Pembaruan dan Kebersamaan”(“Padenggankon dohot pahirbangkon hasaksian, parsaoran, pangkobasion di bagasan roha haimbaruon dohot harentaon[“To increase and develop marturia, coinonia, deaconia with the spirit of reform/renew  and togetherness”]).
Di bawah tata nilai ideal dan inkremental yang berbasis pada teologi dan tradisi GKPA, maka ditetapkan tata nilai operasional dalam rangka membangun budaya kerja dan pelayanan GKPA, yaitu: TEDUH (Tangguh, Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat).
Langkah-langkah kunci utama (strategi) Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dirumuskan secara konkrit dalam rangka mencapai Visi Tahun 2041. Dengan strategi utama ini GKPA diharapkan mampu menyikapi berbagai pengaruh dan perubahan eksternal yang semakin intensif, ekstensif dan cepat. Strategi Utama GKPA menuju 2041 berpedoman pada lima tahap yang dilakukan secara menyeluruh, paralel dengan penekanan atau fokus yang berkaitan, yaitu:
                               I.            2016-2021 – “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI
                            II.            2021-2026 – “Penguatan Kebersamaan dan Kerukunan” – REFORMASI
                         III.            2026-2031 – “Pengembangan Semangat Inovatif” -  INOVASI
                         IV.            2031-2036 – “Pembaruan  secara terpadu.” - OPTIMALISASI
                            V.            2036-2041 – “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI

Dalam penjabaran strategi tahap I (2016-2021) – KONSOLIDASI – sebagai fondasi  bagi langkah-langkah tahap berikutnya, dijabarkan program-program prioritas yang merupakan agenda implementasi berbasis pada isu-isu strategis yang harus segera dijawab.


KATA PENGANTAR
Gereja Kristen Protestan Angkola sudah memiliki sejarah perjalanan yang sangat panjang dalam menunaikan tugas dan panggilannya sebagai “rekan kerja” Allah di dunia ini dalam menghadirkan kerajaan-Nya di Indonesia. Perjalanan ini akan terus berlanjut dan selalu membutuhkan pimpinan-Nya. Di samping itu secara bersamaan, akal budi yang telah Tuhan berikan, juga perlu dioptimalkan untuk menyusun perencanaan ke depan dengan metode akademis dan praktis yang telah terbukti efektif.
Visi Misi GKPA 2016-2041 dan Rencana Strategis 2016-2021 disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan melalui kuesioner, focus group discussion (FGD), in depth interview, studi dokumentasi, dan berbagai masukan aspirasi pemangku kepentingan dapat teridentifikasi secara komprehensif. Dari berbagai masukan tersebut Tim Visi Misi melakukan analisis dengan data-data yang menggambarkan kondisi GKPA terkini.
Secara bertahap tim Visi Misi telah melalui 13 (tiga belas) langkah dalam menyusun dokumen ini, yaitu: (1) Menetapkan Tim Penyusun Visi Misi GKPA Menuju 2041 dengan SK Pucuk Pimpinan GKPA, (2) Studi dan kajian terhadap semua dokumen GKPA dan surat-surat Keputusan GKPA yang berhubungan dengan visi misi dan strategi GKPA selama ini, (3) Penyusunan instrument (kuesioner) pengukuran kinerja GKPA 5 tahun terakhir untuk mengidentifikasi profil GKPA secara obyektif, (4) Penyebaran kuesioner kepada semua stake holder GKPA untuk mendapatkan gambaran obyektif tentang kondisi GKPA saat ini dan mendapatkan apa harapan mereka terhadap GKPA di masa depan, (5) Focus group discussion (FGD) yang melibatkan pemangku kepentingan inti GKPA (Pucuk Pimpinan, Majelis Pusat, Praeses, Pendeta Resort, Guru Jemaat (Parlagutan), Penginjil Perempuan (Parjamita Ina), Bibelvrouw, Penatua (Sintua), Pelaksana Harian Distrik, Resort, Parlagutan, dan jemaat), untuk mengidentifikasi masukan dan harapan-harapan mereka terhadap GKPA di masa depan, (6) Indepth interview yang melibatkan pemangku kepentingan luar GKPA (tokoh-tokoh gereja, LSM, akademisi, donor, BKAG Tapsel dan Kota Padangsidimpuan, GAMKI Kota Padangsidimpuan, Perwakilan Pemerintah dan FKUB Tapsel dan Kota Padangsidimpuan), untuk mengidentifikasi masukan dan harapan-harapan mereka terhadap GKPA di masa depan, (7) Membuat analisis TOWS (Threats, Opportunities, Weaknessess, Strength) GKPA, (8) Membuat analisis kecenderungan eksternal global, nasional, dan regional 25 tahun ke depan, (9) Menetapkan visi GKPA 2041 dan merumuskan misi GKPA untuk mewujudkan visi tersebut, (10) Mengidentifikasi isu-isu strategis dan merumuskan strategi umum GKPA Menuju 2041, (11) Mempresentasikan visi,  misi, isu-isu strategis dan strategi kepada pemangku kepentingan inti GKPA untuk mendapatkan masukan-masukan akhir, (12) Menyusun Garis-garis Besar Program GKPA 2016-2021 yang berisi Pokok-pokok Program Tahunan yang merupakan Block Building untuk mencapai visi 2041, (13) Menyusun laporan final rencana strategis GKPA berdasarkan koreksi dan masukan-masukan akhir.
Proses kerja dimulai pada 17 Oktober  2012 yang targetnya selesai di akhir 2013. Namun di perjalanan Tim Visi Misi mengalami berbagai hambatan yang membuat penyelesaian pekerjaan akhirnya mundur sampai awal 2016. Ini menunjukkan bahwa komitmen bersama untuk menyusun panduan perjalanan lembaga GKPA ke masa depan tidak surut meskipun banyak hambatan yang harus dihadapi.
Sesudah tersusunnya Visi Misi GKPA ini, langkah berikutnya adalah mewujudnyatakan dengan konsisten.  Untuk itu dibutuhkan 4 (empat) K, yaitu (1) Komitmen, (2) Kompetensi, (3) Koordinasi dan (4) Keberanian dari semua pemangku kepentingan GKPA.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua stake holder, instansi pemerintah dan swasta, para pemuka agama dan lembaga-lembaga keumatan, pribadi-pribadi yang telah memberikan idea, pemikiran, dan gagasan-gagasan dalam rangka penyelesaian rancangan visi misi GKPA ini. Juga terimakasih kepada Pucuk Pimpinan GKPA yang telah mempercayakan tim untuk menyusun visi misi GKPA. Secara khusus buat fasilitator bapak Drs. Sigit Triyono,MM yang telah bersedia memberikan pemikiran, tenaga, dan waktunya dalam membimbing dan mengarahkan seluruh anggota tim untuk bisa menyelesaikan penyusunan visi misi GKPA. Terakhir kepada semua anggota tim yang telah memberikan yang terbaik dalam rangka menuntaskan penyusunan visi misi GKPA ini. Kiranya hasil yang telah dicapai ini dapat menghantar GKPA MENJADI GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN”. Semoga Tuhan memampukan kita!
Padangsidimpuan, Medio April 2016

Tim Penyusun Visi Misi GKPA 2016-2041
Pdt.Agus H.J.Sibarani,S.Th. (Ketua merangkap Anggota)
Ir.Surung Siregar,Dip.HE. (Wakil Ketua merangkap Anggota)
Pdt.Guswin P.Simbolon,S.Th. (Sekretaris merangkap anggota)
Pdt.Rosanna Pasaribu,S.Th. (Bendahara merangkap anggota)
Pdt.Saud A.Sigalingging,S.Th. (Anggota)
Pdt.Ramos B.B. Simanjuntak,S.Th. (Anggota)
Pdt.Josep P.Matondang,M.Th. (Anggota)
Pdt.Bernard Nainggolan,M.Th. (Anggota)
Pdt.Anton Pakpahan,S.Th. (Anggota)
Pdt.Ramli SN Harahap,M.Th. (Anggota)
Drs.Sigit Triyono,MM (Fasilitator)


KATA SAMBUTAN

Melalui pergumulan yang panjang dan membutuhkan pikiran, waktu dan materi akhirnya visi misi GKPA untuk 25 tahun dan Rencana Strategi 2016-2021 ke depan rampung dikerjakan oleh tim.  Patut disampaikan terimakasih kepada anggota tim visi misi, Praeses, Pendeta Resort, Guru Jemaat, Penatua dan semua warga jemaat GKPA yang telah mendukung proses penyusunan Pernyataan[1] Visi Misi  (PVM) ini.  
Juga tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada semua unsur yang terlibat sebagai sumber informasi di dalam proses penyusunan visi misi ini, seperti: pemerintah  Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah kota Padangsidimpun, dan kelompok keumatan (FKUB, GMKI, GAMKI, PWKI kota Padangsidimpuan dan Tapanuli Selatan, dll), serta kepada Pimpinan Gereja tetangga (HKBP, GKPI, HKI, GPKB, GMI, dan GKPS) yang telah memberikan masukan sebagai bahan perbandingan buat tim.
Pernyataan visi misi ini sangat besar kaitannya dengan tugas dan fungsi “majelis” jemaat sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi dari semua aktifitas warga jemaat di GKPA. Pernyataan visi misi sangat  besar pengaruhnya untuk mendorong keefektifan fungsi kepemimpinan setiap anggota majelis jemaat.
Lebih jauh dari hal itu kami menghimbau agar semua lapisan di GKPA memberi waktunya untuk membaca, memahami, mendiskusikan semua isi dari visi misi ini. Kami sangat mengharapakan kontribusi yang konstruktif agar dalam penyusunan strategi lima tahunan tahap kedua, tahap ketiga dan seterusnya lebih baik lagi dan bisa mencapai sasaran sebagai mana makna yang terkandung di dalam Visi GKPA 2016-2041, menjadi “GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN” (The Church who Excellent  Service in Togetherness). Dan Misinya, “MENINGKATKAN DAN MENGEMBANGKAN KESAKSIAN, PERSEKUTUAN, PELAYANAN DENGAN SEMANGAT PEMBARUAN DAN KEBERSAMAAN” (To increase and Develop Marturia, Coinonia, Deaconia, with Spirit of Reform/renew and togetherness).
Kiranya Tuhan menolong kita!!!

Padangsidimpuan, April 2016

Pucuk Pimpinan GKPA,


Pdt.Adolv Bastian Marpaung,M.Min,M.Th.
Ephorus
Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif                                                                                                               1
Kata Pengantar                                                                                                                       3
Kata Sambutan                                                                                                                       5
Daftar Isi                                                                                                                                 6
Daftar Tabel                                                                                                                            8
Daftar Grafik                                                                                                                          9
Daftar Diagram                                                                                                                       10
Daftar Matrix                                                                                                                          11
Daftar Foto                                                                                                                             12

BAB I:      PENDAHULUAN                                                                                               13
1.      Perjalanan Gereja Kristen Protestan Angkola                                                 13
2.      GKPA Menuju Masa Depan                                                                           23
3.      Kekuatan & Keunikan                                                                                    24
4.      Konteks Masyarakat Angkola                                                                                    25
5.      Dasar Teologis GKPA                                                                                    30

BAB II:     GAMBARAN UMUM GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA      53
1.      Gambaran Kinerja  GKPA Tahun 20011-2015                                             53
2.      Harapan-harapan Pemangku KepentinganTerhadap GKPA                         56
BAB III:   TATA NILAI GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA                                   58
1.      Tata Nilai Ideal                                                                                               59
2.      Tata Nilai Inkremental                                                                                    59
3.     Tata Nilai Operasional                                                                                    61
BAB IV:   ANALISIS STRATEGIS TOWS – ESFAS & ISFAS                                        62
                       
BAB V:     TREN PERUBAHAN 25 TAHUN MENDATANG                                          65          
1.      Tren Perubahan Global Dan Internasional 25 Tahun Mendatang                   65
2.      Tren Perubahan Nasional 25 Tahun Mendatang                                             68
3.      Tren Kehidupan Umat Beragama Secara Nasional 25 Tahun Mendatang     71

BAB VI:   SEMBILAN SKENARIO GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA DI MASA MENDATANG                                                                                                                             75         
BAB VII: ISU STRATEGIS  &HARAPAN PEMANGKU KEPENTINGAN                79

BAB VIII: VISI, MISI, NILAI-NILAI & STRATEGI UTAMA GEREJA KRISTEN    81     PROTESTAN ANGKOLA                                                                                                       
1.      VISI                                                                                                             81
2.      MISI                                                                                                            81
3.      STRATEGI UTAMA                                                                                  82

BAB IX :     POKOK-POKOK PROGRAM 2016-2021                                                   89          
BAB X:        PENUTUP                                                                                                      90          
PUSTAKA PENDUKUNG                                                                                                 91

L A M P I R A N:                                                                                                               
1.      SK TIM VISI MISI GKPA                                                                                    93
2.      KERANGKA ACUAN  PENYUSUNAN VISI MISI GKPA                              94
3.      FORMAT KUESIONER                                                                                 95-106
4.      TABEL KUESIONER                                                                                   107-111
5.      HASIL FGD                                                                                                   112-117
6.      HASIL IN DEPT INTERVIEW                                                                    118-147                      
                                                                                                                                                                                   





Daftar Tabel

Tabel 1. Uraian Faktor dan Variabel                                                                                       53
Tabel 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja GKPA                                                                54






























Daftar Grafik

Grafik 1. Pertumbuhan Jumlah Anggota Jemaat GKPA 1975-2015                                      21

Grafik 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola                    55
























Daftar Diagram

Diagram 1. Kompilasi TOWS Analysis GKPA: ESFAS & ISFAS GKPA                           63
Diagram 2. Kompilasi TOWS Analysis GKPA: Faktor Eksternal & Internal                        63
Diagram3. Skenario Masa Depan GKPA                                                                               75                    
Diagram 4. Strategi Utama GKPA Menuju Tahun 2041                                                        82          























Daftar Matiks

Matriks 1.Internal Strategies Factors Analysis Summary (ISFAS)                                        62
Matriks 2.External Strategies Factors Analysis Summary (ESFAS)                                      62








































Daftar Foto

Foto 1. Uraian Faktor dan Variabel                                                                                        53
Foto 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja GKPA                                                                  54
























BAB I
PENDAHULUAN

1.                  Perjalanan Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)

1.1.            Gambaran Umum
Titik pijak wilayah GKPA ini pada awalnya berada dalam wilayah Tapanuli Selatan (Angkola-Mandailing). Namun sekarang, wilayah Tapanuli Selatan ini telah mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing-Natal, Kabupaten Padanglawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas Selatan.
Masuknya kekristenan di wilayah ini dimulai dari Pakantan (Mandailing) pada 1834 oleh Verhoeven dan telah membaptiskan orang Batak Mandailing Kristen pertama, yaitu: Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis. Misi ini tidak begitu berkembang karena pengaruh perang Padri.
Selanjutnya, di daerah Angkola misionaris Gerrit van Asselt telah tiba di Parausorat, Sipirok untuk memberitakan Injil pada 1857. Melalui hasil penginjilan ini Gerrit van Asselt membaptiskan Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Karenanya, Parausoratlah menjadi titik awal pekabaran Injil di tanah Batak dan penyebaran Firman Allah ke bagian Utara pulau Sumatera khususnya Tapanuli. Para misionaris[2] yang tiba di tanah Batak memulai tugas penginjilannya dari Parusorat. Nommensen sendiri memulai tugas pelayanannya dari Parausorat. Namun karena penginjilannya kurang berhasil, maka beliau mengembangkan penginjilannya ke tanah Batak pedalaman, yakni Tapanuli bagian Utara.

1.2.            Masuknya Injil Ke Tanah Angkola dan Mandailing
Masuknya Injil ke tanah Batak Angkola-Mandailing pada mulanya dibawa seorang pendeta tentara Belanda yang bernama Verhoeven pada 1834 yang berkedudukan di Pakantan.
Selanjutnya pelaksanaan penginjilan ini dilakukan oleh lembaga-lembaga zending. Lembaga-lembaga zending yang masuk ke daerah Batak Angkola-Mandailing ada banyak. Pertama, American Board of Com­missioners for Foreign Missions (ABCMF) yang mengutus Pdt. Ellys pada 1834.  Kedua, jemaat Ermelo dari kota Ermelo, Belanda. Utusan pertamanya  ialah penginjil  Gerrit van Asselt (1857). Ketiga, zending  Rhein Jerman “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG) pada 1859 dengan penginjilnya C.J.Klammer. Keempat, zending  Belanda “Java Comitte” pada 1864 yang membantu pelayanan jemaat Ermelo di bidang tenaga dan dana. Kelima, Doopagezinde Zending Vereeniging (DZV) yang berkantor pusat di Amsterdam.[3] Tenaga misionaris yang datang dari lembaga ini adalah H. Dirks, N. Wiebe, G. Nikkei, D. Dirks dan J. Thiessen. H.Dirks adalah misionaris pertama yang diutus DZV ke Pakantan pada 26 Januari 1871.[4]  Zending ini dikenal sebagai Mennonit-Anabaptist dari Belanda pada 1871 yang melakukan penginjilan ke kawasan Angkola-Jae dan Mandailing. 
Keberagaman badan zending ini membawa keunikan tersendiri bagi GKPA hingga kini karena membawa tradisi ajaran yang berbeda misalnya di bidang pemahaman akan arti baptisan sebagai satu ajaran hakiki dalam kehidupan orang Kristen. Tiga lembaga zending mengajarkan baptisan anak-anak, sedang zending Mennonit mengajarkan baptisan orang dewasa, masing-masing dengan landasan dogma yang telah mengakar di dunia kekristenan di Barat sejak munculnya reformasi oleh Marthin Luther.[5]  Keberagaman lembaga zending ini akan menjadi peluang bagi GKPA untuk membangun kembali kerjasama dengan para lembaga zending itu ke masa depan.
Para misionaris yang telah bekerja di kedua daerah ini (Angkola-Mandailing), telah berhasil membaptiskan orang Batak menjadi Kristen. Pendeta Verhoeven pada 1834 telah membaptis Ja Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen. Gerrit van Asselt membaptis dua orang pada hari raya paskah 31  Maret 1861, yakni Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus, bersama-sama dengan Main Tampubolon yang diberi nama Jakobus di Parausorat, Sipirok. Simon Petrus adalah putra raja pamusuk (raja-kampung), Sutan Doli, dari Bungabondar, sementara Jakobus adalah seorang anak  rantau asal Barus yang dibeli oleh van Asselt di salah satu pasar kemudian dijadikan pelayan pembantu  van Asselt.
Dari fakta ini, sudah saatnya GKPA menetapkan hari kelahirannya sejak pembaptisan pertama pada 1834 (Pakantan-Mandailing) dan pada 31 Maret 1861 (Parausorat-Sipirok) serta hari kemandiriannya pada 26 Oktober 1975. Hal ini telah kita tetapkan dalam syair Mars GKPA bahwa GKPA-lah gereja yang sulung dahulu ditempa di Tanah Batak. Dari Tanah Angkola-lah penyebaran Injil dilakukan ke tanah Batak Utara, dan tanah Batak lainnya.

1.3.            Embrio Kemandirian Gereja di Angkola
Gerakan kemandirian Gereja di Tanah Angkola-Mandailing sebenarnya dimulai pada 1940-an. Namun aspirasi masyarakat Kristen Angkola dan Mandailing akan suatu gereja sendiri yang manjae (mandiri) belum tercapai, karena pecahnya Perang Dunia II dan HKBP sendiri masih belum bersedia memberikan panjaeon kepada HKBP-A.

1.4.            Alasan Kemandirian
Ada beberapa alasan dan tujuan berdirinya GKPA, yakni:
Pertama, karena alasan mempertahankan nilai-nilai sejarah.  Kekristenan masuk ke tanah Batak dimulai dari daerah Angkola-Mandailing.
Kedua, alasan bahasa dan budaya. GKPA berada di daerah Angkola-Mandailing dan berbudaya Angkola-Mandailing yang berbeda dari bahasa dan budaya Toba yang tinggal di daerah Utara Tapanuli. Sering HKBP mengutus pendeta ke daerah Angkola yang tidak mengerti bahasa dan budaya Angkola sehingga orang Kristen Angkola-Mandailing merasa tidak nyaman dengan keadaan itu.
Ketiga, alasan semangat patanakhon Hata ni Debata tu Luat Angkola (memberitakan Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh ke daerah Angkola-Mandailing). Alasan ini yang sangat kuat dalam gerakan kemandirian GKPA. Pelayanan gereja di daerah Angkola dirasakan kurang begitu diperhatikan oleh HKBP pada saat itu. Karena itu, orang-orang Angkola berkeinginan mandiri dalam pelayanan yang prima dan baik kepada orang Angkola oleh orang-orang Angkola dan yang terbeban untuk itu.
Keempat, karena pengalaman pahit. Hanya sedikit orang Angkola-Mandailing yang diberi kesempatan studi di lembaga teologi. Bahkan penerimaan menjadi mahasiswa teologi di lembaga teologi dihambat karena berasal dari Angkola-Mandailing. Pengalaman pahit ini menjadikan semangat untuk menjadi sebuah gereja yang mandiri.
Kelima, karena mundurnya pelayanan. Pelayanan kerohanian di daerah Angkola-Mandailing semakin tahun semakin menurun kualitasnya. Sejalan dengan kemunduran pelayanan di bidang kerohanian ini maka banyak di antara jemaat berada dalam kondisi yang semakin lemah dan akhirnya terpaksa ditutup. Contoh jemaat-jemaat yang tertutup di daerah Angkola yaitu: Pargarutan, Lobu Hatongga, Simapil-apil dan Simatorkis. Untuk meningkatkan mutu pelayanan ini, maka gerakan kemandirian Gereja semakin menguat di kalangan orang Kristen Angkola-Mandailing.

1.5.            Kemandirian (Panjaeon) HKBP-Angkola
Setelah gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing mengalami kegagalan pada 1940-an, maka pada 1970-an, keinginan dan kerinduan kemandirian ini bangkit kembali. Gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.5.1.      Daerah Angkola adalah daerah persemaian Allah yang pertama di Tanah Batak. Hal ini terlihat dalam mukadimah Tata Gereja HKBP-A (1975), yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen Angkola dan Mandailing memahami luat Angkola dan Mandailing menjadi daerah "persemaiam Firman Allah", sejak 1834 oleh Verhoeven di Mandailing, dan 1856 oleh Zending Ermelo di Lumut serta 1857 oleh van Asselt di Sipirok.[6]  Dari mukadimah itu terlihat bahwa kelompok Kristen Angkola-Mandailing menyadari telah tiba saatnya untuk menata-layani sendiri pekabaran Injil di kalangannya dan untuk itu perlu diwujudkan suatu struktur dan organisasi dalam bentuk gereja yang mandiri.[7]
1.5.2.      Daerah Angkola merupakan ujung tombak penginjilan dan perkembangan kekristenan. Tapanuli Selatan menjadi ujung tombak dalam penginjilan dan perkembangan kekristenan di seluruh Tanah Batak dan yang seterusnya meluas ke utara sampai ke Sumatera Utara.[8] Hal ini perlu dilanjutkan dengan memandirikan Gereja Angkola untuk meneruskan semangat penginjilan ini di Tanah Batak Angkola-Mandailing.
1.5.3.      Keadaan dan situasi usaha zending yang memprihatinkan. Gerakan kemandirian ini juga didorong oleh karena keadaan dan situasi usaha zending yang memprihatinkan, sehingga membangkitkan gerakan reaksi di kalangan tokoh-tokoh Kristen Angkola dan Mandailing. Mereka semakin sadar akan tugas panggilannya mewujudkan dan membenahi gerejanya sendiri demi peningkatan misinya. Mereka berhasrat memegang peranan lebih banyak dalam menatalayani Gereja.[9]
1.5.4.      Kebangkitan semangat Nasionalisme. Faktor lain yang mendorong usaha kemandirian HKBP-A adalah “gerakan kebangkitan Nasional” yang juga meresapi tokoh-tokoh Angkola-Mandailing sejak 1910-an. Semangat dan kesadaran ini mendorong mereka percaya pada potensi pribumi untuk menatalayani gerejanya, sekaligus menampilkan sosok gereja yang lebih bercorak kepribadian, budaya dan daerah sendiri.[10]

Dengan didasari beberapa faktor kemandirian di atas, maka umat Kristen Angkola-Mandailing mulai membentuk organisasi-organisasi kemandirian gereja. Organisasi-organisasi inilah kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya HKBP-A, seperti:
(1)               Terbentuknya Persekutuan Angkola[11]
Selama kurun waktu 33 tahun (1941-1974) menanti        perwujudan HKBP-A yang mandiri, semangat dan hasrat mandiri (manjae) senantiasa berkobar, tak padam-padam, yang kemudian terungkap dalam berbagai bentuk. Masyarakat Kristen Angkola-Mandailing di mana saja, khususnya yang diperantauan selalu rindu akan persekutuan dalam lingkungan sendiri yang bersifat khas etnis Angkola-Mandailing, yang mempergunakan bahasa daerahnya dalam kebaktian serta mempergunakan "Buku Ende Angkola" dan Perjanjian Baru bahasa Angkola, yang akrab baginya. Dirasakan melalui pertemuan ataupun partangiangan (persekutuan doa) semacam itu, banyak nilai-nilai positif dan berharga yang dapat diperoleh dan dikembangkan demi tercapainya cita-cita panjaeon HKBP-A.
Karena kerinduan yang mendalam itu, muncul dan tumbuhlah persekutuan-persekutuan Kristen Angkola-Mandailing di Medan Barat pada 1963 yang dinamai Sauduran Kristen Angkola" (SKA), disusul kemudian tahun berikutnya dengan Marsiurupan Kristen Angkola" (MKA) di Medan Timur dan Satahi pada 1967 di Simpang Limun Medan. Badan-badan itu mengadakan persekutuan doa dalam bahasa Angkola, dan kegiatan-kegiatan memupuk rasa persaudaraan etnis, melalui tradisi dan adat daerahnya jika ada siriaon dan siluluton serta mengadakan usaha sosial yang hasilnya diperuntukkan membantu jemaat-jemaat di Bonabulu (kampung halaman). Eksistensi kumpulan-kumpulan itu semakin meluas dan frekwensi kegiatan-kegiatannya semakin ditingkatkan pula. Akhirnya setiap kumpulan itu mengadakan ibadahnya secara rutin setiap Minggu sore. Kegiatan diluaskan pula dengan pengumpulan buku-buku dan terbitan gereja lainnya yang sudah langka untuk diperbanyak (dicetak-ulang) dan dibagikan di kalangan sendiri, baik yang dirantau maupun yang di kampung halaman (Bonabulu).

(2)               Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Medan[12]
Langkah maju berikutnya ialah pembentukan HKA (Hasadaon Kristen Angkola) pada 19 Juli 1967. Hasadaon (kesatuan) ini adalah badan penggabungan atau pengayoman dalam bidang kerohanian dari perkumpulan-perkumpulan: Sauduran, MKA dan Satahi di atas tadi. Ketiga badan itu tetap berjalan sebagai perkumpulan sosial antar anggotanya, tetapi kegiatan bidang rohani telah disatukan penyelenggaraannya dalam HKA - Huria Kristen Angkola. HKA inilah yang kemudian menjadi salah satu bakal jemaat dari HKBP-A di Medan.

(3)               Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan (HKA-TS) di Jakarta[13]
Prihatin atas proses kemunduran kerohanian yang dialami jemaat Angkola-Mandailing di  daerah Tapanuli Selatan, maka masyarakat Kristen Tapanuli Selatan di Jakarta pada September 1969 membentuk wadah persatuan yaitu "Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan" (HKA-TS). Nama semula ialah 'Hasadaon ruas HKBP na ro sian Distrik I" (Tapanuli Selatan). Hasadaon ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, mempersatukan warga gereja asal Distrik HKBP-Angkola dan Mandailing dalam satu wadah persekutuan, yang menyelenggarakan "sermon" setiap sabtu sore. Kedua, menjadi sarana pengumpulan dana bagi kepentingan jemaat-jemaat di Bonabulu antara lain memberi "si palas ni roha" (ucapan syukur) bagi pelayan-pelayan gerejawi di Bonabulu, pemberian beasiswa dan menanggung biaya cetak ulang dari Perjanjian Baru yang diringkaskan dalam bahasa Angkola karya Schutz.

(4)               Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Padangsidimpuan[14]
Perkumpulan HKA Padangsidimpuan ini merupakan perkumpulan ketiga (sesudah Medan, Jakarta). Pembentukan perkumpulan ini pada 7 April 1974, merupakan suatu tindakan keterpaksaan yang harus ditempuh sebagai tindak lanjut "tragedi Padangsidimpuan"[15]. Menindaklanjuti tragedi Padangsidimpuan dilaksanakanlah berbagai pertemuan yang mengarahkan masyarakat  Kristen Angkola dan Mandailing untuk mewujudkan HKBP-A yang berdiri sendiri.
Langkah selanjutnya adalah terbentuknya Badan Persiapan Panjeon (BPP) HKBP-A pada 4 Mei 1973 di Medan yang diketuai oleh St. Baginda Hasibuan dan yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil jemaat di Bonabulu, Medan dan Jakarta. Badan inilah selanjutnya yang mengkoordinir dan mengarahkan perjuangan hingga berdirinya HKBP-A.

1.6.            HKBP-A berdiri sendiri[16]
Pada 26 Okotber 1975 HKBP memberikan kemandirian bagi Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A) dengan menetapkan Pdt. Melanchton Pakpahan sebagai Ephorus, Pdt. Zending Sohataon Harahap sebagai Sekretaris Jenderal, St. Baginda Galangan Siregar sebagai Sekretaris, dan St. Mara Sinaga sebagai Bendahara. HKBP memberikan kemandirian ini berdasarkan Rapat Parhalado Pusat HKBP pada 15-17 Oktober 1975 di Parapat yang memutuskan,
(1)   Memberikan "panjaeon de Facto" kepada Gereja HKBP-A, berlaku terhitung mulai 17 Oktober 1975.
(2)   Panjaeon de Jure akan diberikan pada Sinode Godang HKBP 1976 pada 1 Agustus 1976 di Pematangsiantar.

Penyerahan Panjaeon de Facto HKBP-A resmi dilangsungkan pada 26 Oktober 1975 di Bungabondar, sebagai acara awal dari Pesta Peresmian Panjaeon de Jure HKBP-A. Naskah Panjaeon ini ditandatangani Ephorus HKBP Ds. G. Siahaan, Sekretaris Jenderal Prof. Dr. F.H. Sianipar dan dari pihak HKBP-A, kedua Pimpinan HKBP-A dan  Ketua Umum BPP-HKBP-A, St.Baginda Hasibuan  serta Sekretaris Umum BPP-HKBP-A, St.Arif Hasibuan.

1.7.            HKBP-A/GKPA - Pasca Mandiri (Manjae)
Dalam menjalani masa-masa kemandiriannya, GKPA mengalami dinamika organisasi yang banyak.
1.7.1.      Masa kesukaran
Tahun-tahun pertama HKBP-A manjae, dinyatakan Ephorus Pdt. M. Pakapahan dalam laporannya kepada Sinode Am kedua (pertama sesudah Panjaeon de Jure) yang diselenggarakan di Padangsidempuan pada 30 Oktober - 1 Nopember 1976, sebagai masa hamaolon (kesukaran), keprihatinan dan kekecewaan yang dinyatakan oleh beliau dengan mengatakan:
"Niambang hian do muda dung "manjae" hita, na angkon aman dan tenteram ma pardalanan ni HKBP-A. Hape apala suhar-suhar ni i do na masa, angka na nihadapan, angka na tangkas maralo tu ngolu partondion ni ha-Kristenon. Gabe rundut ma pangkilalaan, kacau-balau pamikirion. Betak beha dung "de Jure" ma sanoli on dapot keamanan i, na parohon hadameon dohot ketenangan bekerja, ninna roha laho pasabamsabam pangkilalan. Hape dung "de Jure"pe, laing nada dapot na niharapkon i, mur nangkok na gariada, ibarat ni dalan siboluson". (Saya kira setelah kita “mandiri”, maka perjalanan kehidupan HKBP-A akan aman dan tentram. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, yang dihadapi adalah hal-hal yang bertentangan dengan kehidupan rohani Kekristenan. Semakin runyam perasaan, kacau-balau pemikiran. Mungkin setelah “de Jure” nanti ketentraman (terjadi situasi yang damai antara HKBP dengan HKBP-A) akan dirasakan, yang mendatangkan kenyamanan bekerja. Itulah yang terbertik dalam hati sanubari untuk menentramkan jiwa. Ternyata setelah “de Jure” pun, tidak didapatkan apa yang dirindukan, malahan semakin tambah persoalannya, bagaikan jalan terjal yang harus ditempuh).[17]

Keluhan Pucuk Pimpinan HKBP-A itu cukup beralasan, karena memang HKBP-A pada waktu itu dihadapkan pada berbagai kendala dan rintangan yang menuntut banyak waktu, energi, kesabaran dan daya-upaya untuk mengatasinya. Semua itu adalah akibat dan ekses dari cara pemberian panjaeon yang kurang memenuhi aspirasi masyarakat Kristen Angkola–Mandailing.

1.7.2.      Kesulitan Dana
Dalam penyerahan kemandirian HKBP-A, HKBP hanya memberikan 22 gereja kecil di pedesaan dan 9 orang pendeta tanpa memberikan fasilitas Kantor Pusat. Hal ini mengakibatkan HKBP-A banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi pembiayaan operasional, seperti: penggajian para pendeta dan karyawan Kantor Pusat, sarana transportasi, gedung kantor pusat, dan alat-alat tulis kantor. Sehingga, pada awalnya Kantor Pusat HKBP-A masih berkantor di Jl.Sipirok No.14 di salah satu rumah seorang jemaat, St.M.Sinaga.


1.7.3.      Persoalan pemakaian bersama gedung gereja
Kemandirian HKBP-A sudah tentu menimbulkan persoalan pelik menyangkut pemakaian dan pemilikan gedung gereja yang pada asalnya adalah "milik bersama". Memang dalam Naskah Panjaeon ditetapkan bahwa "gedung gereja HKBP serta perlengkapannya dapat dipakai bersama, berdasarkan musyawarah dan mufakat". Namun, mufakat atas pengaturan di banyak gereja sering tidak tercapai, sehingga antar jemaat terjadi pro dan kontra yang menimbulkan situasi ''tegang" dan "berseteru" yang berlarut-larut, tanpa tercapai penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengklaim diri sebagai pemilik yang sah. Bahkan persoalan kepemilikan gereja ini harus diselesaikan di depan hukum. Akhirnya, tidak satupun gedung gereja HKBP yang berseteru dengan HKBP-A diserahkan menjadi milik HKBP-A. Padahal, orang Kristen Angkola-Mandailinglah yang membangun gedung gereja itu. Akibatnya jemaat Kristen Angkola-Mandailing yang tergabung dalam HKBP-A, harus membangun gedung gerejanya sendiri lagi.

1.7.4.      Kesukaran yang disebabkan faktor internal
Kesukaran ini terjadi karena aturan-aturan Gereja yang belum ada ataupun belum cukup tersedia sehingga timbul berbagai kesulitan internal dan konflik. Memang HKBP-A memasuki era panjaeonnya hanya memiliki AD dan PRT 1975, yang disusun secara terburu-buru, tidak atau kurang professional dan dalam waktu sangat singkat. Keruwetan itu bertambah parah dengan penafsiran dan tanggapan yang berbeda-beda, malahan sering bertolak-belakang yang satu dengan yang lain. Semua itu menimbulkan persepsi dan tindakan yang berbeda-beda pula, malahan kerap saling bertentangan dan dualistis.
Dalam masa kesukaran internal ini HKBP-A pernah mengalami dinamika management dan kepemimpinan pada periode tahun 1982-1988 yang mengakibatkan perpecahan internal. Akibat perpecahan ini maka muncullah Gereja Protestan Angkola (GPA).

1.7.5.      Masa Konsolidasi
Untuk mengatasi persoalan di atas, maka Sinode Am ke-II/1976 (pertama sesudah panjaeon de Jure) ditetapkan sebagai periode 5 tahun per­tama, 1976-1981 sebagai periode "konsolidasi". Direncanakan sepanjang periode ini, seluruh perhatian dan daya-upaya dikerahkan dan dipusatkan pada penataan dan pemantapan organ-organ dan alat kelengkapan HKBP-A, termasuk sumber daya manusianya. Demikian diharapkan pada periode 5 tahun berikutnya dapat dilakukan usaha-usaha dan program pembangunan, pengembangan dan pertumbuhan menuju perwujudan gereja yang dewasa dan missioner. Berbagai hamaolon (kesukaran) internal maupun eksternal yang diuraikan di atas menjadi kendala utama tidak tercapainya program konsolidasi dimaksud. Tahun-tahun pertama periode 5 tahun kedua, 1981-1986 masih dimanfaatkan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan konsolidasi. Tidak tersedianya dana yang cukup memadai, merupakan faktor penghambat tidak terealisirnya konsolidasi dimaksud tepat pada waktunya. Demikian program pembangunan, pengembangan dan pertumbuhan praktis baru dapat ditangani dan dilakukan mulai periode 5 tahun ketiga: 1986-1991.
Pada masa konsolidasi ini perpecahan internal antara HKBP-A dengan GPA dapat diselesaikan dengan semangat kebersamaan dan pendekatan kekeluargaan maka terjadilah penyatuan kembali antara HKBP-A dengan GPA dengan sebuah nama Gereja baru, yakni: GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA) dalam Sinode Am VIII pada 3 Juli 1988 di Kantor Pusat GKPA Padangsidimpuan.

1.8.            GKPA Sekarang      
Berdasarkan hasil kuestioner, in depth interview, focus group discussion (FGD), wawancara kepada stake holder dan berbagai kalangan, studi dokumen gereja GKPA, maka  keadaan GKPA saat ini berada pada pelayanan yang “tidak maju dan tidak mundur”, dan pelayanan para pelayan GKPA yang perlu ditingkatkan kualitasnya, dan pelayanan GKPA yang masih berorientasi ke dalam. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa indikator di bawah ini:

1.8.1.      Angka Pertumbuhan
Pertumbuhan pesat GKPA dapat dijelaskandengan angka-angka sebagai berikut:
Grafik 1. Pertumbuhan GKPATahun 1975-2015

Angka-angka di atas menunjukkan jelas bahwa selama 20 tahun 1975-1995, jumlah jemaat GKPA telah berkembang dan bertumbuh 700%, berarti peningkatan 35,4 % per tahun. Bagi jumlah anggota, angka pertumbuhan itu adalah 270% atau rata-rata 13.5% per tahun. Menyangkut rumah Ressort terdapat pertumbuhan dari 1 rumah pada 1975 meningkat menjadi 21 rumah pada 1995 ataupun pertumbuhan rata-rata 21 % per tahun. Pada umumnya rumah-rumah tersebut dibangun atas biaya Ressort bersangkutan dengan bantuan insentif dari Kantor Pusat yang jumlahnya sangat terbatas. Hal tersebut menunjukkan betapa besar dan tingginya semangat gotong-royong, kemandirian dan swa-daya warga gereja GKPA. Padahal, HKBP-A mengalami kesulitan baik internal maupun eksternal.
Pertambahan pesat jumlah jemaat, mendorong GKPA untuk menambah pula jumlah Resortnya yaitu dari 6 Resort pada tahun 1975 menjadi 31 Resort pada 2015. Demi penataan dan koordinasi pelayanan yang lebih mantap dan efektif, maka sejak 1995 resort-resort telah pula dikelompokkan atas 4 distrik yaitu Distrik: I Angkola-Mandailing, II Sipirok - Dolok Hole, III: Sumatera Timur dan IV: Jawa-Sumbagsel.
Dari grafik di atas dapat juga ditarik pengertian bahwa pertumbuhan anggota jemaat GKPA menanjak secara signifikan dari 1975-1995, namun mendatar (stagnan) pada tahun 1995-2015. Data ini menantang semua pemangku kepentingan GKPA untuk bertanya mengapa?

1.8.2.      Pelayan Gerejawi
Pertumbuhan jumlah pelayan gerejawi berjalan semakin meningkat, namun belum selaras dengan penambahan jumlah jemaat dan Resort. Dengan kata lain, masih banyak jabatan yang belum dapat diisi maupun terpaksa dirangkap, karena kekurangan tenaga pelayan gerejawi, khususnya tenaga pendeta. Pada masa ini, 2015 - jumlah pendeta GKPA adalah 54 orang. Dibandingkan dengan keadaan 1975, 9 tenaga pendeta, jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 20 % per tahun.
Namun, ironisnya sejak 1996, pertumbuhan gereja tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan padahal jumlah pertumbuhan pelayan sangat siginifikan dan penataan struktur yang semakin bertambah (pertambahan Resort dan pembentukan 4 Distrik).

1.8.3.      Tata Gereja/Tata Laksana
Dalam perjalanan HKBP-A/GKPA sejak manjae de jure, telah 5 kali mengalami penyempurnaan Tata Gereja (TG) dan Tata Laksana (TL). Pertama, TG/ TL yang disahkan oleh Sinode Am ke-I/1975 di Bungabondar, disempurnakan berdasarkan keputusan Sinode Am ke II/l 976 oleh Rapat Majelis Pusat yang bersidang di Medan, 15-16 April 1977 dan tidak pernah dibawakan kepada Sinode Am untuk pengesahan. Selama masa berlakunya TG/TL itulah banyak timbul kesulitan internal disebabkan TG/TL yang kabur dan implementasinya yang tidak atau kurang tepat. Kedua, sesuai dengan keputusan Sinode Am ke-III/1978, TG/TL 1977 diperbaharui dan disahkan menjadi TG/TL 1981 oleh Sinode Am ke-IV/1981 yang bersidang di Padangsidimpuan. Pada TG/TL ini tercantum Pasal 22.3 yang menetapkan bahwa, "Setiap 10 tahun TG dan TL diteliti kembali untuk diadakan perubahan dan penyempurnaan, serta menyesuaikannya dengan situasi dan konsidi waktu itu". Demikian GKPA menginginkan agar TG/TLnya tetap up-to-date dan komprehensip pada wawasan, kondisi zaman. Ketiga, memenuhi ketetapan itu, maka TG/TL 1981, disempurnakan menjadi TG/TL-1991, yang disahkan oleh Sinode Am ke-IX yang bersidang di Padangsidimpuan tanggal 24-30 Juni 1991 dan diberlakukan untuk masa 10 tahun mendatang. Keempat, TG/TL disempurnakan pada Sinode Am XV/2003 di Padangsidimpuan dan kelima, TG/TL disempurnakan lagi pada Sinode Am XVIII/2013 di Padangsidimpuan.
Dari kelima penyempurnaan TG/TL GKPA ini terlihat bahwa GKPA masih sibuk mengatur para birokrat gereja dan bukan mengatur dan menatalayani jemaat yang mampu melakukan Tri tugas gereja dengan baik, yakni: bersekutu, bersaksi dan melayani.

1.8.4.      Pengembangan Masyarakat
Dalam melaksanakan pengabdiannya kepada masyarakat, GKPA telah membuka beberapa yayasan, seperti: Yayasan Manna (1977-1980) yang mengembangkan proyek pertanian di Pulo Pakkat Batang Toru, Proyek Ayam di Medan dan Jakarta serta Training Centre di Silandit Padangsidimpuan, yayasan Sutan Gunung Mulia yang membidangi pendidikan, yayasan Angkola Sejahtera yang membidangi proyek kebun sawit.
GKPA juga membuka proyek ”Partisipasi Pembangunan” (Parpem) yang membidangi pengembangan masyarakat di semua bidang, seperti: pertanian, peternakan, pertukangan, Credit Union, ekonomi, ketrampilan-ketrampilan, Proyek air minum, bidang kesehatan, bidang pelayanan sosial (Panti Asuhan Debora di Silangge), bidang usaha (Kebun Salak, kebun sawit dan Toko Buku Kristen).
Namun dalam perjalanan sejarahnya, yayasan yang dikelola GKPA ini mengalami banyak tantangan dan kendala sehingga pengabdian kepada masyarakat ini tidak dapat dilakukan dengan maksimal dan baik. Bahkan ada beberapa yayasan yang tutup dan unit-unit usaha serta proyek pelatihan mengalami penutupan.

2.                  GKPA Menuju Masa Depan
Berdasarkan penelitian atas data dan fakta di atas, maka sudah saatnya GKPA memiliki visi dan misi yang jelas, sederhana, terarah dan terjangkau untuk membakar semangat semua warga jemaat (stoke holder) GKPA dalam mengembangkan GKPA ke dalam dan keluar.
Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Gereja maju dan bertumbuh, maka GKPA akan melaksanakan beberapa rencana strategis yang disusun secara lima periodik hingga 25 tahun ke depan. Rencana strategis GKPA ini akan diuraikan secara khusus dalam bagian lain dari dokumen ini.




3.                  Kekuatan dan Keunikan
Dalam perjalanan sejarah dan kehidupan pelayanannya di tanah Batak Angkola, GKPA memiliki keunikan yang tidak dimiliki gereja lain, yang dapat menjadi faktor kekuatan dan penguat kelembagaan GKPA.
Pertama, GKPA memiliki pemahaman teologi yang beragam. Hal ini disebabkan karena lembaga misi yang datang ke daerah Angkola memiliki latarbelakang teologi yang berbeda-beda. RMG membawa teologi campuran Lutheran dan Calvinis. Zending Java Comite dan Ermelo membawa teologi Calvinis Zending Mennonit-Anabaptis  (DZV) membawa teologi Mennonit.
Kedua, pemakaian bahasa Angkola-Mandailing sebagai bahasa pengantar dalam ibadah dan kegiatan GKPA. Secara umum, gereja-gereja suku memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan budayanya. Begitu juga dengan GKPA yang mayoritas jemaatnya suku Angkola-Mandailing masih tetap mengharapkan agar bahasa Angkola-Mandailing jangan pernah dilupakan dalam ibadah. Misalnya agenda ibadah, kidung pujian, Alkitab dan lain-lain sudah menggunakan bahasa Angkola-Mandailing.
Ketiga, sikap toleransi dan rukun. Inilah yang membedakan GKPA dari gereja lainnya. GKPA tinggal di tengah-tengah umat Islam yang mayoritas. Warga jemaat GKPA menjalin hubungan yang baik dengan umat Islam. Hal itu disebabkan filosofi orang Angkola yang mengatakan bahwa “Sipirok Nasoli, Banua na sonang” (Sipirok yang indah, tempat yang aman). Masyarakat Angkola-Mandailing telah menjalin kerukunan umat beragama ini ratusan tahun yang lalu. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam rangka membangun rumah ibadah. Umat Islam dan Kristen saling mengunjungi dalam masa-masa hari raya besar agama seperti: Idul Fitri dan Natal. Dalam pelaksanaan adat-istiadat, orang Angkola-Mandailing menggunakan ayam, kambing dan kerbau sebagai makanan yang dikonsumsi pada acara-acara adat.
Keempat, Gereja GKPA dikenal sebagai “Gereja Koum” (Gereja Keluarga). Pada umumnya, jemaat GKPA baik yang ada di desa dan di kota memiliki hubungan keluarga sehingga rasa kekeluargaan sangat menonjol dalam kehidupan bergereja. Gereja koum inilah keunikan GKPA dari Gereja lainnya.
Kelima, GKPA memakai budaya Angkola-Mandailing dalam pelayanan di tengah-tengah Gereja. Misalnya memakai kopiah Angkola-Mandailing dalam kehidupan sehari-hari.
Keenam, GKPA menggunakan bahasa setempat di wilayah pelayanannya sebagai bahasa pengantar dan pelayanan. Misalnya, jemaat yang dominan suku Toba, GKPA memakai bahasa Toba dalam tugas pelayanannya. Demikian juga dengan suku lainnya.
Ketujuh, Gereja GKPA disendingi oleh beberapa lembaga zending. Setidaknya ada lima lembaga zending yang pernah melayani di daerah Angkola-Mandailing, yaitu:  American Board of Com­missioners for Foreign Missions (ABCMF), Jemaat Ermelo, Belanda, “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG), “Java Comitte”, Doopagezinde Zending Vereeniging (DZV).
Kedelapan,orang Angkola-Mandailing memiliki sifat dan berkarakter yang adaptif. Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.

4.                  Konteks Masyarakat Angkola-Mandailing
GKPA sebagai organisasi yang tinggal dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang beradat, berbahasa, berbudaya, dan beragama. Karena itu, seluruh kehidupan beragama dan bermasyarakat, pada umumnya dipengaruhi cara berpikir dan cara hidup dari bahasa dan budaya yang dimilikinya itu sendiri.

4.1.            Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Angkola dan bahasa Mandailing. Bahasa Angkola dan Mandailing dikenal sebagai bahasa Batak yang paling halus, kerena pengucapannya berintonasi lembut. Dari tutur kata ini, masyarakat Angkola-Mandailing mampu menunjukkan sikap hidup yang teduh dan damai sebab bahasa dan tutur kata mereka agak jarang terdengar dengan kata-kata yang kuat dan kasar. Namun dalam kehidupan berjemaat di seluruh GKPA, bahasa yang digunakan adalah beragam sesuai dengan situasi dan kondisi jemaat yang dilayani.

4.2.            Budaya Angkola
Masyarakat Angkola maupun Mandailing merupakan komunitas yang berbudaya. Tiap-tiap kelompok dari masyarakat Angkola dan Mandailing, diatur oleh sistem sosial masing-masing.  Hubungan nilai-nilai sosial dan norma-norma perilaku budaya masyarakat adat Angkola dan adat Mandailing senantiasa bisa menjaga keharmonisan. Namun, ada juga perbedaan yang mencolok antara adat budaya Mandailing dengan adat budaya Angkola yakni pada pakaian adatnya. Pakaian adat Mandailing didominasi warna merah, dengan ornamen yang ramai. Sedangkan pakaian adat Angkola lebih sederhana dan pengantin prianya didominasi warna hitam. Perbedaan lainnya adalah dalam hal alat-alat gondang dan penggunaanya. Di daerah Mandailing ada tambahan yang disebut dengan Gordang Sembilan.

4.3.            Beberapa Prinsip Hidup Masyarakat Angkola-Mandailing
4.3.1.      Memegang prinsip Dalihan Na Tolu[18]
Prinsip hidup Dalihan Na Tolu merupakan prinsip hidup yang sangat kuat dalam kehidupan orang Angkola. Dalihan na tolu sangat besar peranannya di dalam pengambilan keputusan, penataan adat, pemberlakuan hukuman, pembagian harta warisan, dan lain-lain. Hak dan kewajiban setiap unsur dalihan na tolu sangat menentukan warna demokrasi masyarakat Angkola. Pengaruh setiap unsur sangat besar, dihargai sebagai muara penggalangan kerukunan keluarga.
Secara harfiah istilah Dalihan Na Tolu berarti ”tungku nan tiga”. Kebiasan orang Angkola sejak dahulu kala ketika memasak selalu di atas batu yang jumlahnya tiga yang diatur persis seperti segi tiga sama sisi. Ketiga batu yang diatur sama sisi tersebut sama tinggi juga sehingga bisa menahan segala sesuatu yang diletakkan diatasnya dalam rangka memasak apapun sesuai kebutuhan.  Andaikan bentuk satu periuk atau kuali adalah komunitas masyarakat Batak maka yang menjadi tungkunya adalah Dalihan Na Tolu tersebut. Dalihan Na Tolu bagi masyarakat Batak menjadi asas sistem kekerabatan yang mengatur segala aktivitasnya. Oleh karena itu banyak makna filosofis yang terkadung di dalam sistem kekerabatan  Dalihan Na Tolu dimaksud. Menurut Ibrahim Gultom tatanan kekerabatan ini lahir dilatarbelakangi adanya krisis sosial kekerabatan pada generasi ketiga setelah Siraja Batak. Itu artinya bahwa konsep Dalihan Na Tolu terinspirasi dan lahir bertitik tolak dari semangat yang baik untuk menata komunitas orang Batak supaya terhindar dari peristiwa-peristiwa sosial buruk.[19] Kehidupan sosial orang Batak secara umum berlangsung dengan baik, penuh kekerabatan, mempunyai norma-norma adat, memiliki tutur sapa persaudaraan (partuturon) di mana semua tata-cara hidup itu dirangkul dalam sebuah sistem yaitu dalihan na tolu. Sistem hidup ini sangat solid, berpengaruh dan mendominasi kehidupan masyarakat Batak. Ia bagaikan  makhluk ajaib, mampu menjamin keharmonisan di antara masyarakat, oleh karena itu dapat disebutkan bahwa nilai sosial-budaya orang Batak termasuk salah satu pengikat kuat kerukunannya. Kekerabatan ini disebut  sistem kekerabatan yang patrilineal.[20]
Dalam masyarakat Angkola kehidupan Dalihan na Tolu itu dilihat dari hubungan mora, kahanggi dan anak boru. Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (penambah yang kurang dan mengambil yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).[21]
Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora. Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.
Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orangtua senantiasa memberi nasihat untuk manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.
Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam  hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:
1)      Kahanggi: saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka
2)      Anak boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki
3)      Mora: saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka.

4.3.2.      Memegang prinsip Sipirok na Soli Banua na Sonang
Daerah Angkola dikenal dengan sebuah kota kerukunan umat beragama khususnya di Sipirok. Sipirok dikenal sebagai Sipirok  Na Soli Banua Na Sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan). Na soli artinya saleh, taat aturan adat, sentosa, sejahtera dan rukun. Banua artinya daerah atau tempat. Na sonang artinya menyenangkan.[22] Dengan demikian Sipirok merupakan daerah atau tempat yang menyenangkan, aman dan sentosa karena terjamin kesejahteraan dan kerukunan hidup di antara sesama masyarakatnya. Sipirok Na Soli Banua Na Sonang dipahami dalam konteks hubungan antar masyarakat plural yang menyenangkan, membahagiakan karena ada kedamaian dan kerukunan sehingga kelangsungan hidupnya sungguh terjamin. Istilah tersebut sepertinya mampu mengispirasikan keadaan surga yang menyenangkan, membahagiakan masyarakatnya karena penuh kedamaian dan kerukunan.[23] Penekanan inti di dalam julukan itu adalah sikap masyarakat Sipirok yang cinta kedamaian dan kerukunan.[24]
Dalam kehidupan bermasyarakat orang Angkola-Mandailing mengenal falsafah ”jujur mula ni bada, bulus mula ni dame” (merunut masalah awal perseteruan, ketulusan awal kedamaian). Falsafah ini mengajarkan agar setiap masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu diungkit-ungkit lagi tetapi masalah itu harus diselesaikan secara damai dan baik. Orang Angkola-Mandailing harus memiliki sikap yang tulus dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika ada kesalahan teman segera dimaafkan dan diperbaiki demi terciptanya keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian orang Angkola-Mandailing lebih dikenal dengan keramahtamahannya dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.

4.3.3.      Memegang prinsip Kerukunan Umat Beragama[25]
Daerah Angkola-Mandailing khususnya Sipirok dikenal dengan kota kerukunan di Tanah Batak dan bahkan di Indonesia. Inilah salah satu menjadi kekuatan dan keunikan Angkola dari suku Batak lainnya, karena di daerah Angkola-Mandailing masyarakatnya lebih majemuk baik dari segi agama maupun penduduknya.  Kerukunan masyarakat Angkola-Mandailing ini pada umumnya kelihatan pada saat pelaksanaan adat-istiadatnya. Susan  Rodgers, menyebutkan bahwa pihak Islam cukup loyal terhadap adat yang beragama Kristen dan demikian sebaliknya. Dengan alasan ini beliau mengatakan bahwa Islam di Sipirok berbeda dengan Islam yang ada di daerah sekitarnya (tetangganya). Ide Susan itu mau membedakan sikap mental Islam di Sipirok jauh lebih toleran dan rukun jika dibandingkan dengan Islam di Minang Kabau, Melayu Deli atau Islam Aceh yang fanatik. Menurut beliau, hal yang cukup menarik adalah ketika kaum Kristen memberi wejangan dalam upacara adat adalah selalu bernafaskan alkitabiah demikian juga yang Muslim selalu bertitik tolak atas nilai ke Islaman dan selalu mengacu kepada satu kesatuan di antara sesama mereka. Islam-Kristen makin menyatu di dalam adat dan menjadikan hal tersebut menjadi kebanggaannya ketika mengundang kerabat lainnya untuk mengikuti sebuah pesta adat. Konsep dalihan natolunya cukup tinggi nilai toleransinya karena bukan berbasis kepada agama.[26]
Kerukunan itu terlihat ketika pelaksanaan adat Siriaon (Pesta Sukacita), seperti: Anak Tubu (Anak Lahir), Haroan Boru (Menyambut Mempelai Perempuan), Masuk Rumah Baru,dan Pesta Adat Siluluton (Adat dukacita), seperti: kematian, bencana alam, dll.
Kerukunan dan kedamaaian serta keteduhan masyarakat Angkola-Mandailing itu tercipta karena masyarakat Angkola-Mandailing sangat menjaga hubungan yang baik dengan umat beragama lainnya. Untuk menjaga keharmonisan ini, maka di setiap pesta orang Angkola-Mandailing makanan yang disuguhkan adalah makanan ayam, kambing, lembu, sapi dan kerbau. Dalam tradisi masyarakat Angkola-Mandailing tidak mengijinkan daging babi sebagai makanan adat.
Kerukunan itu juga terlihat dari kerjasama yang baik di antara sesama umat beragama. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam membangun rumah ibadahnya. Sikap seperti ini sudah lama dibangun di dalam kehidupan umat beragama.

4.3.4.      Memegang prinsip kekerabatan darah[27]     
Masyarakat Angkola-Mandailing memiliki falsafah hidup yang kuat dalam rangka menjaga hubungan kekerabatan. Filosopi itu dikenal dengan istilah “Alkot Aek, Alkotan do mudar” (sekalipun air pekat tetapi darah lebih pekat)[28]  Istilah ini maknanya merujuk kepada tradisi nenek moyang di Sipirok yang memiliki alur pikiran bahwa adat ada karena dilatarbelakangi oleh tutur sapa atas kekerabatan. Sementara ada pun tutur sapa atas kekerabatan di dalam konteks masyarakat Batak hal itu dilatar bekangi oleh ikatan darah. Oleh karena itu bicara tentang tutur sapa atas kekerabatan berarti sama dengan menelusuri ikatan darah. Dengan lebih sederhana kekerabatan orang Angkola-Mandailing adalah merujuk kepada ikatan darah. Dalam hidup sehari-hari yang berbicara bukan soal paham agama, sosial, emosional kesamaan ilmu teknologi, dan lain-lain, yang diutamakan adalah soal hubungan kekerabatan yang diikat oleh hubungan darah.

4.3.5.      Memegang prinsip Poda na Lima (Lima Nasihat)
Masyarakat Angkola dikenal dengan prinsip Poda na Lima, yaitu:
1)      Paias rohamu (bersihkan hatimu)
2)      Paias pamatangmu (bersihkan badan/ragamu)
3)      Paias bagasmu (bersihkan rumahmu)
4)      Paias pakeanmu (bersihkan pakaianmu)
5)      Paias pakaranganmu (bersihkan pekaranganmu)

4.3.6.      Memegang prinsip Ojak di Bondul na Opat (Tungku yang empat)
Salah satu sifat yang amat menonjol pada orang Batak, adalah ikatan kekeluargaan. Jika 2 (dua) orang Batak bertemu, yang pertama sekali mereka lakukan adalah martutur (bukan saja berarti berkata-kata, tetapi khas berkata-kata tentang hubungan marga dan kekeluargaan). Begitu pentingnya martutur diungkapkan dalam peribahasa berikut: “Ditiptip sanggar baen huru-huruan, jolo ni sapai marga anso binoto partuturan” (Artinya, kita harus menanyakan marga seseorang yang berjumpa dengan kita agar kita tahu kekerabatan kita kepada yang bersangkutan).
Rasa kekeluargaan yang kental, sistem kekeluargaan dalihan na tolu, na ojak di bondul na opat (kahanggi, anak boru, mora dohot hatobangon harajaon ni huta), yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain. Sistem kekeluargaan jelas tidak dapat jalan tanpa sitem marga, sebaliknya sistem marga akan hilang maknanya kalau tidak diterapkan dan dikembangkan dalam sistem kekeluargaan.

4.3.7.      Memegang prinsip Salumpat Saindege, Sabara Sabustak[29] (Kebersamaan dalam suka maupun duka)
Orang Angkola-Mandailing memiliki rasa kebersamaan yang kuat baik dalam masa-masa suka maupun duka cita. Orang Angkola memiliki prinsip yang kuat untuk tetap setia kepada hal-hal yang sudah diputuskan bersama.

4.3.8.      Memegang prinsip ulang loja mambaen na denggan, songon aek paihutihut rura (Jangan lelah melakukan yang baik, seperti air mengalir di bentaran sungai)
Masyarakat Angkola-Mandailing dikenal dengan orang yang tidak jemu-jemu berbuat baik walau kebaikannya itu tidak dihargai oleh orang lain.  

4.3.9.      Memegang prinsip menghargai perempuan di dalam pelaksanaan adat
Dalam  pelaksanaan adat-istiadat, posisi perempuan di dalam adat Angkola-Mandailing sangat dihormati. Kaum ibu selalu diberi ruang dan kesempatan yang pertama untuk menyampaikan kata-kata dan pemikirannya dalam hal pelaksanaan adat.

4.3.10.  Memegang prinsip adaptif
Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.

5.                  Dasar Teologis
5.1.            Dasar Teologis GKPA dalam membangun Jemaat dan Menatap Masa Depan
5.1.1.      Arti dan Dasar Panggilan Gereja
Untuk memahami arti dan panggilan gereja, lebih dulu harus memahami gereja itu sendiri. Kata gereja berasal dari kata igereja (bahasa Portugis) untuk menerjemahkan kata ecclesia (Yunani) yang ada dalam Alkitab. Kata ecclesia diawali dengan preposisi ec yang berarti ”keluar dari” dan kata caleo yang menjelaskan mengenai “dipanggil keluar dari komunitas tertentu”. Dalam Perjanjian Baru (PB) istilah ecclesia menjelaskan beberapa pengertian yang saling berkaitan, yakni:
a.       Gereja yang dipanggil keluar (called out) dari kebiasaan atau dari hidup lama, cara hidup dan berpikir lama kepada hidup baru dalam Kristus.
b.      Gereja dipanggil untuk Allah (called for), dipanggil keluar untuk kepentingan Allah.
c.       Dipanggil untuk bersama-sama bersekutu (called together), mengabdi, beribadah kepada Allah.
d.      Dipanggil kepada (called to) tanggung jawab untuk taat dalam tugas marturia atau penginjilan dan diakonia atau pelayanan sosial.

Berdasarkan pengertian di atas, yang dimaksud dengan ecclesia adalah kehidupan bersama orang-orang yang menanggapi karya penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus, yang dinyatakan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dan mereka secara bersama-sama mengakui pengakuan itu, terikat satu sama lain sebagai suatu kehidupan bersama. Karya dan penyelamatan Allah itu merupakan tindakan Allah dan atas prakarsa Allah sendiri yang diungkapkan melalui kata-kata: Allah memanggil, Allah menyelamatkan, Allah membawa keluar dari kegelapan (bd. 1Ptr. 2:9-10). Dengan adanya panggilan Allah inilah maka kehidupan bersama orang percaya yang disebut gereja itu memiliki aspek ilahi. Artinya, keberadaan mereka merupakan akibat dan adanya karya Allah atau kehendak Allah.
Di samping aspek ilahi, gereja juga memiliki aspek manusiawi yang tampak dalam tanggapan atau jawaban manusia terhadap panggilan atau penyelamatan Allah. Orang-orang yang menanggapi karya Allah itu kemudian bersekutu, membentuk kehidupan bersama sebagai orang-orang yang sama-sama mengalami karya penyelamatan Allah.
GKPA sebagai gereja Allah di dunia dalam menjalani hidup dan karya-Nya tidak secara otomatis menjadi gereja yang benar-benar sesuai dengan kehendak Allah. Karena gereja sebagai komunitas hidup orang percaya tidak dapat melepaskan diri dari cacat manusiawi yang dimilikinya. Cacat manusiawi gereja itu dapat ditemukan dalam  berbagai kekurangan dan keterbatasan gereja. Di samping itu, sebagai persekutuan orang beriman yang hidup di dunia ini, gereja tidak hanya berusaha untuk menggarami dan menerangi dunia, tetapi sebaliknya sering dipengaruhi oleh apa yang sedang terjadi di dunia. Pengaruh itu tidak seluruhnya positif bagi kehidupan orang beriman (Ef. 5:15-21). Itulah sebabnya Paulus mendorong gereja untuk terus-menerus membarui dirinya dengan berbagai upaya agar dalam situasi apapun, gereja berupaya menjadi gereja yang dikehendaki Allah (Ef. 4:1-16).
Gereja, termasuk GKPA membutuhkan transformasi Allah. Kita berpegang kepada motto ecclesia reformata semper reformanda (bahasa Latin: gereja reformasi harus terus menerus direformasi). Motto ini mendorong kita, dalam pembangunan jemaat untuk melepaskan diri dari kekacauan dan stagnasi, sekaligus mendorong kita untuk semakin berperan dalam aktualisasi missio Dei di dunia secara menyeluruh. Untuk mewujudkan pembaruan ini dapat diwujudkan melalui peningkatan penggembalaan, pembinaan warga jemaat, kaderisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Melalui kegiatan ini diharapkan segenap warga gereja diperlengkapi dan dipersiapkan menjalani hidup kesehariannya sebagai orang beriman yang setia. Di samping itu, perbaikan-perbaikan juga dilakukan dengan merumuskan ulang identitas gereja dalam hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya dan penataan organisasi gereja, dengan harapan agar menjadi gereja yang kehadirannya memberi pengaruh positif bagi dunia di mana gereja ditempatkan Allah. Tuntutan pembaruan gereja seperti itulah yang kemudian akan melahirkan apa yang disebut pembangunan jemaat. Harapannya jemaat semakin dimampukan membawa misi Allah di dunia ini.[30]

5.1.2.      GKPA membawa misi Allah
Tujuan utama berdirinya Gereja Kristen Protestan Angkola adalah untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia ini khususnya di tengah-tengah umat Kristen Angkola-Mandailing yang ada di daerah Tapanuli Selatan dan perantauan (bnd. Patanakhon Hata ni Debata tu luat Angkola). GKPA membawa misi Allah bagi semua orang Kristen Angkola-Mandailing agar mereka dapat bertumbuh dalam iman untuk menyaksikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang hidup. Sebagai satu-satunya Sinode Gereja yang berpusat di daerah Angkola-Mandailing, GKPA memiliki tugas membawa misi Allah ke daerah Angkola-Mandailing sekitarnya. Dasar misi GKPA ini digali dari kebenaran Alkitab baik dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). GKPA mengakui kebesaran perbuatan Allah untuk membebaskan umat-Nya dari Mesir ke tanah Kanaan (Kel. 20:2, Ul. 6:20-23). Dengan keyakinan itu GKPA memiliki keyakinan bahwa GKPA mampu bertindak sebagai gereja pembebas di tengah-tengah pergulatan hidup di daerah Angkola-Mandailing.
Allah memakai umat-Nya dalam rangka mewujud nyatakan misi-Nya di tengah-tengah dunia ini. Misalnya, melalui bangsa Israel, Allah mau menyatakan misi-Nya (misio Dei) untuk menyelamatkan umat manusia dan seluruh alam semesta yang telah rusak sebagai akibat dosa (bd. Kej. 3:15). Misi Allah tetap harus dilanjutkan dan dilakukan. Tugas ini akan berakhir sampai langit dan bumi yang baru telah diturunkan Allah di dunia ini. Pada zaman nabi-nabi Misio Dei dihubungkan dengan pekerjaan Mesias dari keturunan Daud sebagai seorang hamba (Yes. 52 dan 53). Demikian bangsa Israel diharapkan sebagai penerus misi Allah dipanggil menjadi hamba Tuhan.Untuk melanjutkan pelaksanaan misi Allah, bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang sudah hidup dalam pemahaman filsafat-filsafat mereka. Bangsa Israel sudah memulai misi keluar dan melibatkan bangsa asing dalam menjalankan rencana Allah untuk membebaskan umat manusia.
Dalam PB misi Allah dimulai dalam diri Yesus. Dengan demikian teologi kepercayaan Israel mengalami peralihan ke dalam dunia non-Yahudi. Dalam Markus 1:1 “Permulaan Injil Yesus Kristus Anak Allah” dipandang sebagai dokumen awal dalam tradisi sinoptik. Dalam Markus 1:10, visi awal dilihat oleh Yesus adalah “Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya”. Visi ini diikuti suara yang menyatakan tentang identitas diri Yesus sebagai Anak Allah (Luk. 4:18-19). Kunci dari misi Yesus adalah Roh Tuhan yang memimpin dan memenangkan Yesus untuk memberitakan Injil. Pemberitaan Injil inilah yang menjadi maksud kedatangan Yesus. “… Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang …” (Mrk. 1:38). Injil Allah berisi tentang penggenapan kedatangan Kerajaan Allah yang diikuti oleh respons pertobatan dan iman oleh manusia yang mendengar dan menerima Injil tersebut.
Berita pertobatan itu diteruskan oleh para murid dengan disertai kuasa pelayanan. Setelah Yesus bangkit dari kubur, kesebelas murid pergi ke Galilea, sesuai dengan yang dikatakan Yesus, yang sudah bangkit kepada Maria Magdalena dan Maria yang lain yang datang ke kubur (Mat. 28:9-10, 16). Yesus menggenapi janji-Nya, Yesus muncul di hadapan kesebelas murid yang sedang berkumpul dalam satu rumah, sebagian dari mereka meragukan-Nya (Mat. 28:17). Ketakutan dan harapan pengikut Yesus di jalan menuju Emmaus, mengatakan kepada Yesus yang sudah bangkit yang menemui mereka, “bahwa Dialah yang akan datang untuk membebaskan bangsa Israel” (Luk. 24:21). Beberapa lama setelah peristiwa ini, para murid dan pengikut Yesus ketika mereka dipenuhi Roh Kudus pada hari Pentakosta, mereka teringat akan perintah Kristus untuk pergi memberitakan Injil dan menjadikan segala bangsa murid-Nya (Kis. 2:4; Mat. 28:18-20).
Seluruh gereja di dunia memiliki tanggungjawab yang sama dan terus berupaya untuk memfungsikan kehidupan keberagamaannya sebagai “pembebas” masyarakat dalam konteks masing-masing, sehingga kehadiran gereja dapat menjadi berkat dan menjadi gereja yang hidup serta mampu memberi jawaban terhadap segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di tempat dia bertumbuh. Gereja tidak boleh tutup mata dan telinga terhadap segala persoalan kehidupan yang dihadapi oleh warga jemaatnya. Hal ini sesuai dengan Amanat Agung yang diperintahkan Tuhan Yesus seperti yang tertulis dalam Matius 28:19-20, Markus 16:15-20, Kisah Para Rasul 1:8.
Dengan kata lain, kehadiran gereja untuk menjalankan tugas dan panggilan sebagai umat Allah dan Tubuh Kristus adalah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah bagi kehidupan segala makhluk di atas muka bumi. Menjalankan tugas dan panggilan kudus ini tidak pernah selesai dan berkesudahan sebelum waktunya tiba, sampai hari kedatangan Allah yang kali kedua. Penentuan atas waktu tersebut tidak diketahui oleh siapapun, bahkan Yesus sendiri tidak mengetahuinya selain Bapa di surga (Mt. 23:14,36, 42, Mrk. 13:32-33). Oleh karena itu, tetaplah berjaga-jaga dan tekun mengerjakan tugas. Orang Kristen yang terhimpun dalam sebuah komunitas iman yang khas, di setiap waktu dan tempat perlu menjelaskan siapa mereka dan akan jadi apa mereka, dalam hubungan dengan Allah dan rencana Allah atas hidup mereka serta orang-orang di luar iman mereka tersebut. Dengan demikian, mereka dapat menemukan makna kehidupan mereka. Inilah yang menjadi dasar teologis misi gereja sepanjang masa, termasuk GKPA.
Salah satu misi gereja adalah penebusan. Tugas ini merupakan tugas utama gereja. Tugas ini hanya diamanatkan oleh Kristus kepada gereja dan tidak bisa dikerjakan oleh pihak manapun yang bukan gereja. Untuk menjalankan misi penebusan ini dilakukan dengan cara memberitakan Injil kepada semua orang. GKPA dalam pengakuan imannya mengaku sebagai gereja yang apostolis. Itu berarti bahwa GKPA adalah utusan Kristus di dalam dunia. Dengan demikian, sebagai utusan Kristus, GKPA harus berperan sebagai instrument (alat) Kristus untuk menyaksikan Kristus, dan menyampaikan Kabar Baik kepada semua orang. GKPA terpanggil untuk berperan aktif sebagai utusan Kristus menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. GKPA menjadi mitra Allah mewujudkan damai sejahtera di dunia ini. Dengan demikian, GKPA menjadi gereja yang sejalan dengan cita-cita panjaeon (kemandirian) GKPA.
Untuk menjangkau para jiwa-jiwa khususnya orang-orang Angkola-Mandailing yang berada di perantauan dan orang-orang yang belum mengenal Yesus di daerah terpencil, maka GKPA seharusnya terus berupaya mendidik dan melatih tenaga-tenaga penginjil dan pendeta.

5.2.            Ajaran Iman GKPA
Secara umum GKPA meyakini ajaran gereja Lutheran. Walaupun pengalaman penginjilan yang diterima GKPA, pengajaran yang ada di GKPA saat ini tidaklah murni Lutheran. Bahkan masih ada jemaat GKPA yang menganut Mennonite. GKPA mengakui Pengakuan Iman Rasuli (PIR), Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasianum.

5.2.1.      Pemahaman tentang Allah
GKPA memahami dan meyakini bahwa Allah itu Esa yang tidak berawal dan tidak berakhir. Allah yang Mahakuasa, yang tidak berubah, Maha adil, dan Mahakasih. GKPA mempercayai bahwa Allah adalah pencipta, yang memelihara, melindungi umat-Nya dan alam semesta. Dia yang menjadi manusia, yang mati dan dikuburkan, bangkit dan naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi kita umat manusia.

5.2.2.      Pemahaman tentang Sakramen
Sakramen merupakan tugas suruhan langsung dari Allah. Sakramen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah orang percaya. Melalui sakramen kita mengerti dan merasakan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 28:19; 1Kor. 11:23-28).
Sakramen adalah suatu ritus atau upacara keagamaan yang dilembagakan dan diakui oleh Yesus Kristus. Ada dua sakramen, yaitu baptisan kudus dan perjamuan kudus. Sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) mendapat kedudukan yang utama di dalam peribadahan gereja mula-mula (Kis. 2:41-42; 10:47; 20:7,11). Melalui sakramen dapat dimaknai bahwa Yesus Kristus membawa umat-Nya ke dalam persekutuan atau ajaran-Nya (Mrk. 10:38-39) dan di dalam pikiran gereja, sakramen adalah sebagai sesuatu yang bermakna spiritual (1Kor. 10:1-5).
Baptisan dan perjamuan kudus merupakan anugerah yang kelihatan akan Firman yang diberitakan di dalam kerygma. Dengan dan melalui baptisan, warga jemaat disadarkan bahwa seseorang yang telah dibaptis akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Kristus. Menurut PB, berita keselamatan yang disampaikan kepada orang percaya pada dasarnya melalui pemberitaan Firman, baptisan dan perjamuan kudus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Firman dan sakramen memiliki hubungan yang sangat erat.
Baptisan merupakan sakramen model Perjanjian Baru yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dengan baptisan seseorang bukan hanya diterima sebagai anggota gereja (pengesahan resmi menjadi pengikut Kristus), melainkan dia juga menjadi satu dengan Kristus (Gal. 3:27; Rm. 3:27), dan pelepasan dari dosa (Mrk. 1:4; Kis. 22:16). Baptisan yang dilaksanan GKPA adalah baptisan anak dan baptisan dewasa yang dilakukan dengan cara percik.

5.2.3.      Pemahaman tentang Manusia
GKPA percaya bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepada manusia itu sendiri. Manusia jatuh ke dalam dosa karena godaan iblis sehingga manusia secara alami menerima dosa turunan.

5.2.4.      Pemahaman tentang Akhir Zaman
GKPA meyakini bahwa Yesus Kristus akan datang pada akhir zaman untuk membangkitkan semua orang yang hidup dan yang mati untuk mewarisi kehidupan yang kekal. Kedatangan Yesus kali kedua tidak seorang pun mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya bagaikan pencuri ( 1 Tes 5:2; Mat 6:4,16).

5.3.            Pemahaman tentang Jemaat
GKPA percaya bahwa yang mendirikan jemaat adalah Yesus Kristus yang memanggil dan mempertemukan orang percaya di dalam jemaat-Nya yang kudus. GKPA bukan didirikan atas kehendak sendiri dan golongan tertentu. GKPA meyakini bahwa pertumbuhan jemaat terjadi jika GKPA memberitakan Injil dengan murni, menjalankan sakramen baptisan dan perjamuan kudus dan melaksanakan hukum siasat Gereja dengan sebaik-baiknya.

5.3.1.      Arti dan tujuan pembangunan Jemaat
Usaha perbaikan hidup dan karya gereja itu secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua tujuan pokok, yaitu: pertumbuhan ekstensif (pertumbuhan keluar) dan pertumbuhan intensif (pertubuhan ke dalam). Pertumbuhan ekstensif tampak melalui adanya pertambahan anggota jemaat baru. Hal ini diinspirasi oleh pengalaman gereja pada zaman para Rasul dalam memberitakan Injil kepada bangsa lain. Usaha itu mengakibatkan munculnya gereja-gereja baru yang menggembirakan, karena ada banyak orang-orang baru yang dibaptiskan (Kis. 2:41). Namun, kegembiraan itu segera disusul oleh adanya keprihatinan di mana tidak adanya kesinambungan pelayanan kepada jemaat baru tersebut. Itulah sebabnya dibutuhkan pertumbuhan yang intensif untuk memberikan pendalaman dan penghayatan iman kepada jemaat yang baru. Paulus mengatakan bahwa dalam rangka pertumbuhan ke dalam, orang yang percaya baru sejak semula harus diperhatikan (1Kor. 14:23-25). Hubungan pertumbuhan ke dalam dan ke luar juga ditegaskan oleh kenyataan bahwa jemaat yang berkembang dengan baik, selalu menimbulkan daya tarik untuk orang luar (bd. Kis. 2:41-47). Dari sisi lain, perhatian ke luar juga penting bagi pembangunan ke dalam. Gereja yang sibuk dengan rutinitas dirinya sendiri, niscaya akan kehilangan daya tariknya. Secara singkat dapat dikatakan dalam rangka memperbaiki kehidupan gereja, perlu usaha serempak membenahi pertumbuhan ke dalam dan juga pengembangan/penginjilan ke luar.
Namun tujuan pembangunan jemaat itu pertama-tama dan terutama bukan demi pertumbuhan ke luar dan ke dalam itu semata. Tujuan pembangunan jemaat agar gereja dalam hidup dan karyanya di dunia sungguh-sungguh menjadi alat Tuhan untuk turut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah atas seluruh umat manusia (Kis. 13:2; 17:18; Mt. 4:18-22; 2Tim. 1:7-9, 2:4).[31]

5.3.2.      Peran Para Pelayan
Untuk mendewasakan dan memperlengkapi warga jemaat dalam rangka pembangunan tubuh Kristus, GKPA menetapkan Pelayan-pelayan Gerejawi yang terdiri dari Pendeta, Guru Parlagutan, Sintua (Penatua), Evangelis, Diakon/Diakones dan Parjamita Ina (Bibelvrouw) serta seluruh anggota Jemaat yang terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam pelayanan Gerejawi tersebut sesuai dengan Firman Allah  (1Ptr. 2:9). Secara umum tugas para pelayan GKPA adalah penginjilan, pelayanan, pembinaan dan pemeliharaan rohani dari warga GKPA.

5.3.3.      Peran Anggota Jemaat
Pembangunan gereja sebenarnya pekerjaan Allah sendiri. Namun dalam rangka melaksanakan pekerjaan-Nya itu, Allah melibatkan orang-orang beriman untuk ikut ambil bagian dalam karya-Nya (1Ptr. 2:5). Hal ini menunjukkan, meskipun orang beriman sebagai manusia memiliki berbagai keterbatasan dan kelemahan, Allah sendiri yang memperlengkapi orang-orang beriman untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya (1Kor. 12:4, 14:12) dan pada akhirnya Allah jugalah yang menyempurnakan pekerjaan orang  beriman dalam pembangunan Gereja-Nya (1Kor. 13:8-12) sehingga Kerajaan Allah semakin terwujud di dunia ini menuju kepada kesempurnaan, yang berlangsung secara bertahap sebagai suatu pertumbuhan (1Kor. 3:6; Why. 21:2).
Dalam rangka pembangunan jemaat yang vital dan menarik, peran serta jemaat sangatlah penting. Karena itu jemaat yang vital dan menarik merupakan dua pengertian yang tidak boleh dipisahkan. Jemaat yang hanya menarik saja cenderung menjadi komunitas nostaligis. Jemaat yang hanya vital saja cenderung menjadi komunitas yang fanatik.[32] Jemaat yang vital dan menarik adalah jemaat yang dengan senang hati berpartisipasi, di mana partisipasi itu membawa hasil bagi mereka sendiri maupun bagi realisasi tujuan-tujuan jemaat[33]. Mengupayakan jemaat yang vital dan menarik, adalah sesuatu hal yang penting dalam perubahan zaman yang akan dihadapi jemaat. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah, umat kristiani ditantang untuk berpartisipasi secara kreatif.[34] Peran jemaat itu juga sangat kuat dipengarui oleh konteks[35] jemaat itu sendiri.
Diharapkan seluruh warga jemaat GKPA setia mendukung pelayanan di seluruh lini GKPA melalui mempersembahkan dirinya sendiri sebagai persembahan yang hidup (Rm. 12:1), persembahan bulanan, persembahan syukuran, persembahan persepuluhan (Mal. 3:10), dan persembahan lainnya. Persembahan ini merupakan sumber keuangan GKPA untuk mewujudnyatakan setiap program yang ditetapkan mulai dari tingkat Pusat, Distrik, Resort dan Parlagutan.

5.3.4.      Faktor Pentingnya pemberdayaan Jemaat
Pemberdayaan yang dimaksud dalam hal ini adalah, mengupayakan agar semua warga jemaat berpatisipasi dalam Gereja. Partisipasi yang diharapkan tentu bukan saja melalui kehadiran dalam kebaktian minggu, tetapi partisipasi dalam rangka, ikut memikirkan dan mengupayakan pelayanan-pelayanan dalam gereja serta semua tindak-tanduk dalam kehidupan gereja. Agar Gereja dapat memberdayakan warga jemaat, tentu terlebih dahulu harus mengenali  bakat, talenta dan potensi yang dimiliki warga jemaat. Dengan demikian, penting ada relasi yang baik di antara pelayan Gereja dan jemaat. Relasi, tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang aktif dalam Gereja, tetapi relasi harus diutamakan kepada jemaat yang jarang ke gereja dan kepada jemaat tamu.
Peran serta anggota jemaat dalam pekerjaan Allah dapat berlangsung secara optimal apabila menjadi gereja yang hidup dan bermakna bagi warganya maupun masyarakat yang ada di sekitarnya.
Ada lima faktor penting dalam rangka pemberdayaan jemaat, yaitu:
a.       Keterlibatan anggota jemaat yang sangat dipengaruhi iklim gereja[36]. Yang dimaksud dengan iklim ialah pengakuan dan perlakuan terhadap setiap anggota jemaat sebagai subyek dalam hidup dan karya Gereja.  Pengakuan dan perlakuan sebagai subyek itu akan terwujud apabila:
-          Talenta dan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap anggota jemaat diakui, dihargai dan didayagunakan secara optimal.
-          Informasi yang benar dan jujur yang diperlukan bagi hidup berkeluarga, bergereja, dan bermasyarakat disebarluaskan kepada setiap anggota jemaat.
-          Hal-hal yang berkenaan dengan hidup dan karya Gereja diputuskan oleh pemimpin gereja dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota jemaat.
b.      Gaya dan sifat kepemimpinan Gereja[37]. Yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah gaya dan sifat kepemimpinan yang dipraktikkan baik oleh pejabat Gereja maupun para pelayan Gereja lainnya dalam menjalankan tugas mereka. Gaya dan sifat kepemimpinan akan memampukan para pemimpin sendiri maupun anggota jemaat yang dipimpinnya apabila:
-          Gaya dan kepemimpinan kolektif-kolegial, partisipatif dan kemampuan anggota jemaat dikembangkan.
-          Pengembangan diri para pemimpin Gereja dan para pelayan gereja lainnya diperhatikan secara memadai
-          Sifat kepemimpinan yang saling melayani/menggembalakan diberlakukan.
c.       Keterlibatan aggota jemaat dalam merumuskan tujuan dan tugas gereja. Yang dimaksud dengan tujuan gereja adalah segala sesuatu yang ingin diraih oleh gereja, sedangkan tugas gereja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan gereja. Tujuan dan tugas gereja akan jelas, relevan, terjangkau, dan menarik apabila:
-          Dirumuskan secara jelas oleh pemimpin Gereja dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota jemaat.
-          Karya gereja dituangkan dalam perencanaan yang mengacu pada visi-misi gereja.
-          Karya gereja memberi peluang bagi anggota jemaat untuk dapat belajar lebih banyak tentang hidup dan karya orang beriman.
d.      Struktur Gereja[38]. Struktur gereja adalah keseluruhan relasi timbal balik antara anggota jemaat secara individual maupun bersama-sama dengan para pejabat gereja dan pelayan gereja lainnya. Relasi itu bisa formal  maupun informal. Struktur gereja akan relevan dengan tuntutan hidup dan karya apabila:
-          Keanekaragaman dan keberadaan anggota jemaat (usia, pekerjaan, minat, aspirasi politik, tradisi bergereja) diakui ditata dalam struktur.
-          Karya kelompok-kelompok anggota jemaat diintegrasikan dengan visi-misi Gereja.
-          Komunikasi dan kerjasama timbal balik saling memampukan antar kelompok anggota jemaat dan antara kelompok anggota jemaat dengan lembaga gerejawi maupun non-gerejawi dijalankan dengan baik.
e.       Identitas diri anggota jemaat.  Yang dimaksud dengan jatidiri dan identitas diri adalah pemahaman yang dihayati oleh setiap anggota jemaat tentang siapa dan apa tugas mereka sebagai orang beriman maupun sebagai gereja. Penghayatan jatidiri/identitas yang baik akan menjadi sumber inspirasi bagi setiap anggota jemaat dalam menjalani hidup dan karya gereja. Penghayatan jatidiri atau identitas diri akan inspiratif apabila:
-          Latarbelakang keberadaan dan tradisi gereja dihayati oleh segenap anggota jemaat.
-          Pemahaman tentang inti gereja dihayati oleh segenap anggota jemaat
-          Konteks di mana anggota jemaat dan gereja menjalani hidup dan karyanya disadari dan dikenal dengan baik oleh segenap anggota jemaat.
-          Panggilan, peran, dan fungsi setiap anggota jemaat sebagai orang beriman dipahami oleh segenap anggota jemaat.

5.4.            GKPA Mewujudnyatakan Panggilannya
GKPA sebagai tubuh Kristus sudah lama melakukan kesaksiannya di Tanah Angkola-Mandailing jauh sebelum kemandiriannya dari gereja induk HKBP. Sebagai orang Kristen yang paling sulung di Tanah Batak, GKPA telah memulai kesaksiannya sejak 1800-an, yakni sejak para misionaris memulai pelayanan misinya di Tanah Batak Selatan. Secara organisatoris, GKPA baru mewujudkan kesaksiannya di tengah-tengah masyarakat Angkola-Mandailing sejak kemandiriannya pada 26 Oktober 1975.

5.4.1.      Bersekutu
Sebagai gereja yang terpanggil untuk bersekutu harus hidup berpadanan dengan Injil dan berdiri teguh dalam satu roh. Sebagai satu tubuh, gereja mewujudkan hidup persekutuannya untuk sehati sepikir, berjuang untuk iman, saling memahami, memperhatikan dan melayani demi kepentingan bersama (Kis. 2:40; Flp. 1:27; 2:2-4; 1Kor. 12:27). Dengan demikian bersekutu dapat diartikan saling membarui, saling membangun dan mempersatukan.
GKPA sebagai bagian integral dari gereja yang Esa, Kudus dan Am dan Rasuli bertanggunjawab juga untuk memberitakan Injil sehingga persekutuan di semua tingkat kepengurusan (jemaat, resort dan distrik) serta badan, dan seksi dapat terbina dengan mantap sebagai perwujudan dari hubungan pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan Firman Tuhan. Untuk peningkatan mutu persekutuan diperlukan pembenahan melalui kegiatan-kegiatan persekutuan yang penuh kasih dan damai.

5.4.2.      Persekutuan orang Percaya
Gereja sebagai Tubuh Kristus yang hadir dan berada di dunia ini perlu terus menerus meningkatkan persekutuannya.Yesus Kristuslah kepala gereja. Oleh karena itu, gereja hidup dan berpusat di dalam Kristus. Gereja adalah milik Kristus dan sebagai duta-Nya di dalam dunia. Sebagai milik-Nya, Gereja termasuk GKPA di dalamnya, dipanggil untuk mengabdikan dirinya kepada Sang Pemilik dengan cara beribadah (latrea), bersekutu dengan sesama orang percaya (koinonia), dibina menjadi jemaat yang berkualitas dan yang siap diutus, peduli dengan masalah dan kebutuhan sosial (diakonia) dan dipanggil ke luar untuk bersaksi sebagai duta Kristus di dunia.
GKPA adalah milik Kristus. Kristuslah kepala Gereja yang telah mempersekutukan kita menjadi satu tubuh. Seperti anggota tubuh yang berbeda-beda namun tetap satu kesatuan. Demikian juga kita dalam Kristus, oleh Roh Kudus, kita menjadi satu dalam iman, kasih, karunia-karunia dan anugerah-anugerah (Ef. 4:15-16; 1Kor. 12L7; Kol. 2:19). Sebagai satu persekutuan, kita sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya, baik secara pribadi maupun bersama, yang memimpin kepada kebaikan, baik dalam hati maupun tindakan (1Tes. 5:11, 14; Rm. 1:11-12; 1Yoh. 3:16-18). Untuk itu semua warga jemaat GKPA mempunyai tanggungjawab untuk memelihara persaudaraan dan persekutuan dalam beribadah kepada Allah, dan melakukan pelayanan-pelayanan rohani yang dapat saling membangun (Ibr. 10:24; Kis. 2:42, 46; 1 Kor. 11:20), saling membantu, saling menopang dan saling menolong dalam kehidupannya.

5.4.2.1.Ibadah
Gereja-gereja Lutheran memahami ibadah sebagai ekspresi iman atau respons dari ciptaan terhadap penciptanya, yakni Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus dan membuat diri-Nya dikenal melalui Roh Kudus. Dalam hal ini ibadah meliputi ekspresi segala pikiran, suara atau tubuh yang dimotivasi oleh Allah Tri Tunggal serta diarahkan menuju pemujian kepada-Nya.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa ibadah dalam pengertian gereja-gereja Lutheran bukan hanya berlangsung setiap hari Minggu di gereja atau di rumah ibadah, tetapi seantero tindakan kehidupan orang beriman merupakan ibadah yang benar dan merupakan puji-pujian bagi Allah. Dan juga harus diketahui bahwa dimensi ibadah orang Kristen tidak mengenal dimensi waktu dan tempat, karena ibadah ini meliputi seantero kehidupannya.
Ibadah dapat diartikan sebagai suatu karya manusia yang tujuannya memuliakan Allah dan menghargai sesama ciptaan. Hal itu berarti bahwa panggilan memuliakan Allah mesti dipantulkan dalam panggilan ke dimensi horizontal (Lk. 10:25; Mt. 5:23-24, Yak. 1:27). Tanpa dasar ini, ibadah-ibadah yang terjadi hanyalah sebuah peziarahan tanpa tujuan pasti.
Dalam bahasa Ibrani untuk menyebut ibadah dipakai kata hishtahawah yang berasal dari kata shaha (meniarapkan diri dan menundukkan kepala), sedangkan dalam PB dipakai kata Yunani froskuneo yang berarti meniarapkan diri sendiri, membungkukkan diri, berlutut, jatuh menyembah dan memuja.
Ibadah dalam bentuk persekutuan bersama dalam GKPA memakai liturgi yang diharapkan sebagai pedoman atau tuntunan sehingga ibadah berjalan dengan khusuk. Kekhusukan ibadah ditentukan oleh bagaimana ibadah itu dimulai dengan pembukaan: umat datang menghadap Allah yang Maha Kudus, sehingga manusia hadir dengan puji-pujian, diisi dengan pengakuan serta janji pengampunan dosa, pengakuan iman, penyampaian Firman Tuhan serta diakhiri pengutusan dan komitmen sesuai dengan prinsip-prinsip ibadah.
Bahasa pengantar dalam ibadah GKPA adalah bahasa Angkola, Mandailing, Toba, Nias dan Bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Angkola-Mandailing diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian sekaligus tindakan antisipasi terhadap kemungkinan punahnya bahasa Angkola. Pemakaian bahasa Toba dan Nias karena di berbagai jemaat ada banyak pengguna bahasa Toba dan Nias. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai sikap bijaksana agar Injil dapat disampaikan dengan baik dalam bahasa yang dipahami jemaat. Di masa mendatang tata ibadah GKPA bukan hanya ada dalam bahasa lokal dan nasional, tetapi perlu juga dipertimbangkan agar mengacu kepada kebutuhan yang ada misalnya bahasa Inggris, dan atau Mandarin.
Dalam perkembangan pelayanan ibadah di GKPA telah disetujui dan disepakati untuk mengembangkan ibadah dengan memakai ibadah alternatif dan melibatkan warga jemaat dalam pelaksanaan ibadah, seperti: membaca Kitab Suci, mengumpulkan persembahan, dan berdoa permohonan dan syafaat. GKPA juga membarui unsur-unsur ibadah Minggu dengan memasukkan nyanyian sebelum dan sesudah pemberitaan Firman Tuhan, dan membacakan ayat-ayat Kitab Suci untuk menghantar dan memotivasi jemaat memberikan persembahan yang terbaik untuk Tuhan. GKPA juga memasukkan nyanyian gereja Mennonite dalam Buku nyanyian Gereja sebagai pembaruan nyanyian jemaat. Ibadah yang dilaksanakan di GKPA selalu didasarkan pada tahun kalender Gerejawi yang telah ditetapkan gereja-gereja secara ekumenikal. GKPA juga melaksanakan ibadah Pesta Gotilon  dan Pesta Zending sebagai pesta syukuran jemaat atas seluruh berkat Tuhan yang telah diterimanya dan diberikan kembali kepada Tuhan sebagai ungkapan syukurnya.
Dalam menata beribadah, GKPA telah menetapkan empat model tata ibadah yang diberlakukan, yakni:
a.       Tata Ibadah Mode “A”, yaitu tata ibadah yang konvensional, yang lazim dipakai setiap ibadah,
b.      Tata Ibadah Mode “B” , yaitu tata ibadah yang lebih singkat dari model “A”,
c.       Tata Ibadah Mode “C”, yaitu tata ibadah yang melibatkan jemaat dengan responsoria, dan
d.      Tata Ibadah Mode “D”, yaitu tata ibadah yang lebih variatif.

5.4.2.2.Kategorial
a.      Sekolah Minggu GKPA
Yesus Kristus mengasihi anak-anak. Ia menyambut dengan penuh suka cita. Orang percaya juga disuruh untuk melayani dan menyambut anak-anak (Mrk. 10:13-16l Mt. 18:1-5). Oleh karena itu, GKPA juga memerhatikan dan  meningkatkan pelayanan kepada anak-anak. GKPA melayani anak-anak ini dalam ibadah anak-anak sekolah Minggu. GKPA tidak mengabaikan pelayanan anak-anak ini sebab mereka juga bagian dari anggota tubuh Kristus. Apalagi 20 tahun ke depan, anak-anak itu akan menjadi pemuda-pemudi dan generasi penerus.

Pada masa ini anak-anak mengalami pembentukan dan perkembangan karakter yang paling menentukan. Karena itu, pembentukan karakter anak-anak harus sungguh-sungguh dipersiapkan agar nantinya mereka menjadi pelaku Firman dalam waktu dan ruang kesibukan mereka. Ada enam pihak yang memainkan peran penting dan sangat berpengaruh dalam menumbuhkembangkan karakter serta spiritualitas anak-anak, yakni:
-          Orangtua anak
-          Gereja (pejabat dan jemaatnya)
-          Pendeta
-          Guru Sekolah Minggu
-          Komisi Anak
-          Pengasuh anak

b.      Remaja (12-16 tahun)
Persekutuan remaja gereja sering disebut sebagai kelas katekisasi yang bertujuan untuk menindaklanjuti pengajaran Firman Tuhan atau iman Kristiani setelah melewati masa anak-anak. Gereja harus lebih memberikan perhatian yang serius kepada kelompok remaja gereja karena pada masa ini mereka mengalami masa pubertas atau transisi yang turut memengaruhi perkembangan mereka secara psikologis. Mereka perlu dikuatkan dengan Firman Tuhan melalui metode yang relevan sesuai keberadaan usianya di dalam menghadapi masa perkembangan biologis dan psikologisnya.

c.       Persekutuan Naposobulung (pemuda)  (17-25 tahun – sebelum menikah)
Pemuda GKPA adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pelasanaan Tri Tugas panggilan gereja. Oleh sebab itu mereka perlu dibekali dan dikuatkan dalam iman untuk menjalankan tugas panggilannya, seperti yang diingatkan Paulus kepada Timotius agar mau melatih diri (1Tim. 4:7b-8). Di setiap jemaat GKPA membuka pelayanan kepada pemuda dengan nama “Persekutuan Naposobulung GKPA (PN-GKPA). Melalui PN-GKPA ini GKPA membekali para pemuda Gereja untuk bertumbuh dan berkembang baik secara iman maupun ilmu pengetahuan. GKPA menyadari mereka nantinya adalah penerima alih “tongkat gembala” kepemimpinan di Gereja.

Pemuda hidup dalam berbagai dinamika kehidupan. Oleh sebab itu, dengan peningkatan pelayanan kepada pemuda, mereka semakin dibentengi dari segala dampak negatif perkembangan zaman, seperti pengaruh negatif globalisasi dan yang lainnya. Dengan pembekalan spiritualitas berbasis Alkitab, mereka akan semakin dewasa di dalam iman, pengharapan, dan kasih (1Kor. 13:13).

d.      Persekutuan Perempuan GKPA (PP-GKPA)
GKPA memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kaum perempuan GKPA mengambil bagian dalam pelayanan di tengah-tengah Gereja. Pelayanan kepada kaum perempuan ini disebut dengan pelayanan Persekutuan Perempuan GKPA. Kegiatan ini biasanya diisi dengan pembekalan firman Tuhan lalu diikuti dengan latihan koor dan paduan suara. Selain itu kaum perempuan GKPA juga aktif dalam kegiatan sosial di tengah-tengah gereja dan masyarakat. Pelayanan ini dilakukan karena GKPA menyadari bahwa seorang ibu juga berperan sebagai imam (Ul. 6:7-10). Pendidik pertama dalam hidup seorang anak adalah ibu. Karena itu, peran seorang ibu sangat signifikan baik dalam perkembangan kognitif – afektif, maupun religiositas (pengenalan agama-agama di sekitarnya) dan spiritualitas seorang anak. Peran seorang ibu sungguh penting dalam mempersiapkan anak-anak warga gereja kita – dalam pertumbuhan spiritualitas mereka 20 tahun ke depan.

Seorang ibu adalah seorang isteri. Sebagai seorang isteri, ia wajib menolong suaminya dan berhak mendapat kasih dari sang suami. Ibu sebagai pribadi yang mandiri memiliki harapan, keceriaan dan persoalan-persoalan tersendiri. Ia adalah seorang ibu, seorang isteri dan satu pribadi yang selalu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat di mana ia berada. Diharapkan ia mampu menjadi garam dan terang bagi lingkungannya.

e.       Persekutuan Ama (Bapak) GKPA (PA-GKPA)
GKPA menyadari bahwa peran kaum Ama (bapa) di tengah keluarga dan gereja menduduki posisi yang sangat penting. Seorang bapa memiliki peran sebagai imam (Ul. 6:7-10). Dalam masyarakat paternalistic, seorang bapa memiliki otoritas tersendiri dalam rumah tangga. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, seorang bapa tidak harus didengar semua yang diucapkannya. Sebagai seorang kepala keluarga, perannya dalam menciptakan suasana yang baik dan membahagiakan dalam keluarga begitu penting. Tidak berlebihan bila dikatakan seorang bapa dalam keluarga merupakan tokoh sentral. Karena ia adalah seorang imam dan teladan yang bertanggungjawab membawa anak dan isterinya lebih dekat lagi kepada Tuhan.

Karena itu, GKPA melayani kaum bapa ini dalam pelayanan Persekutuan Ama GKPA yang membekali mereka dengan sharing Firman Tuhan, latihan koor dan kegiatan sosial lainnya. Seorang bapa adalah juga seorang suami. Sebagai suami, ia wajib mengasihi istri dan ditolong oleh isterinya. Seorang bapa juga suatu pribadi – dengan segala harapan, kecerahan dan juga persoalan-persoalannya. Ia adalah seorang bapa dan suatu pribadi yang selalu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat di mana ia berada.

f.       Persekutuan Lanjut Usia (Lansia > 60  tahun)
GKPA sebagai gereja yang dipanggil untuk menyatakan kasih Kristus kepada semua orang tidak dapat mengabaikan orang yang lanjut usia (Yak. 1:27). Terlebih lagi dalam rangka meningkatkan kepedulian dan kesejahteraan kehidupan mereka. Semua itu bertujuan untuk mewujud-nyatakan kasih dan kepedulian Kristus dalam kehidupan keseharian jemaat dan warga masyarakat. Mereka yang sudah purna bakti dari pelayanan masyarakat akan terus mendapat perhatian dan pelayanan dari Gereja sebab karena jasa-jasa merekalah keberadaan gereja saat ini.

5.4.2.3.Ekumene
GKPA adalah bagian dari gereja yang Esa, kudus dan Am serta yang rasuli. Oleh sebab itu, GKPA tidak dapat terpisahkan keberadaan dan arti kehadirannya dengan gereja lainnya di dunia ini. Untuk itu, GKPA harus memberi waktu dan pikirannya serta partisipasinya dalam kegiatan ekumenis.
GKPA sebagai gereja terus membangun kerjasama dengan berbagai denominasi gereja baik dalam aras nasional, regional, dan internasional. GKPA turut aktif dalam semua kegiatan lembaga ekumenis untuk mendorong persekutuan yang Am di semua umat Kristen. Hubungan kerjasama dengan berbagai denominasi ini dalam rangka menyatakan kebersamaan dalam tugas panggilan dan misi Gereja di tengah-tengah dunia ini.

5.4.3.      Bersaksi
Panggilan dan tanggung jawab untuk bersaksi dan mengabarkan Injil adalah penugasan dari Kristus yang diembankan kepada jemaat. Melalui kesaksian jemaat secara pribadi dan secara bersama-sama diharapkan menghadirkan kesukaan yang membebaskan, yaitu:
·         Memberitakan Kristus yang disalib (1Kor. 1:17, 23),
·         Berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang disediakan bagi manusia (Mrk. 1:15),
·         Pengampunan dosa dan keselamatan (Lk. 24:27),
·         Kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan kepada segala bangsa (Lk. 4:18-21), kepada segala makhluk (Mrk. 16:15), di seluruh dunia sebagai kesaksian bagi semua bangsa (Mt. 24:14) sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8), di seluruh alam di bawah langit (Kol. 1:23), dan sampai akhir jaman (Mt. 28:20), sebagai bagian dari karya menyeluruh Yesus Kristus (Ef. 1:10, Yoh. 21:24, 2Tim. 4:2).

GKPA dalam kesaksiannya terpanggil untuk senantiasa berpartisipasi secara positif, kreatif, kritis dan realistis dalam mendukung pembangunan dan kesatuan bangsa. GKPA sebagai tubuh Kristus, telah banyak melakukan kesaksiannya di tengah-tengah orang Kristen Angkola-Mandailing dan masyarakat pada umumnya. Hal itu dilaksanakan sebagai pewujudnyataan Misio Dei.

5.4.3.1.Lembaga Pendidikan
GKPA telah mendirikan lembaga pendidikan di beberapa tempat untuk menolong warga masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat. GKPA telah mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama Kristen Protestan (PGAK-P) di Sipirok pada 1980-an. GKPA juga mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Berkat di Aek Bingke sejak 1984. Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Hutaraja Tanotombangan sejak 1992. GKPA menyadari bahwa pembangunan jemaat Kristen, salah satu yang paling pokok adalah masalah pendidikan. Hal ini dikaitkan dengan suatu pemahaman bahwa, tujuan pendidikan adalah untuk memulihkan keadaan manusia pada kodratnya. Pendidikan adalah salah satu alat untuk mengembalikan citra manusia yang telah hilang karena dosa. Dengan artian pendidikan bertujuan memulihkan manusia sehingga kembali menjadi segambar dan serupa dengan Allah. Pemulihan melalui pendidikan meliputi akal budi, jasmani dan rohani. Berdasarkan pada prinsip untuk memulihkan citra manusia, maka pendidikan harus dilakukan oleh gereja. Gereja memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, karena gereja dan sekolah tidak dapat dipisahkan. Gereja dan sekolah memiliki hubungan yang erat, sehingga dapat diibaratkan seperti keping mata uang. Hal ini didasarkan pada pemahaman, bahwa pendidikan tidak hanya mencerdaskan manusia secara rasional, tetapi juga memiliki spiritualitas kristiani. Pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana untuk melindungi anak-anak dari nafsu duniawi, sekaligus membimbing ke arah hidup yang dikehendaki Allah. Pendidikan yang didirikan oleh gereja akan menghasilkan manusia yang mempunyai kepribadian Kristiani.

5.4.3.2. Balai  Pengobatan Kesehatan Masyarakat (BPKM), Panti Asuhan, dan Asrama-Asrama
Dalam tri tugas gereja salah satu tugas dan panggilan gereja di tengah-tengah dunia adalah diakonia. Model diakonia gereja bersifat karitatif dan transformatif. Pelayanan rumah sakit, panti asuhan dan asrama-asrama merupakan bentuk-bentuk diakonia yang dilakukan oleh GKPA dengan tujuan untuk menolong warga masyarakat. Selain sebagai bentuk diakonia sosial, keberadaan Balai Pengobatan Kesehatan Masyarakat, Panti Asuhan maupun asrama sebagai wujud kesaksian gereja di tengah masyarakat. GKPA mendirikan BPKM Muara Sipongi pada 1981 sebagai alat kesaksian GKPA kepada masyarakat yang mayoritas muslim.
GKPA mendirikan Panti Asuhan Debora di Silangge Sipirok atas dasar menolong mereka yang terabaikan dan para yatim piatu. Hal itu sesuai dengan teologi kitab Yakobus yang menyatakan ibadah yang sejati adalah mengunjungi para janda dan yatim piatu (Yak. 1:27). Sebagai bentuk kesaksian di tengah-tengah dunia, gereja tidak berpangku tangan dengan masalah-masalah sosial di sekitarnya.

5.4.3.3. Mengembangkan Penginjilan berbasis Jemaat
Penginjilan adalah memberitakan kabar sukacita kepada orang lain. Gereja sebagai pengikuti Kristus mendapat mandat untuk menyampaikan berita sukacita ini (Mrk. 16:15-20). Oleh karena itu GKPA tidak boleh mengabaikan tugas pokok ini, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Penginjilan adalah keharusan bagi Gereja (bd. 2Tim. 4:2, 1Kor. 9:16). Penginjilan ini disampaikan sesuai dengan konteks di mana Injil itu diberitakan.
GKPA dalam pemberitaan Injil tidak boleh puas dengan pendekatan yang dilakukan selama ini. Tanda kesetiaan kepada Raja Gereja, yaitu Kristus Yesus, tugas ini kita jalankan bukan hanya melalui kegiatan yang sifatnya rutinitas saja, tapi perlu program yang jelas dan terukur untuk menjalankan penginjilan ke dalam dan ke luar. Dengan demikian kehadiran GKPA di tengah-tengah dunia ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi lingkungannya, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Tanggung jawab menjalankan misi ini adalah tanggung jawab seluruh anggota jemaat GKPA, bukan hanya tanggung jawab pendeta, guru jemaat, bibelvrow, diakones dan sintua. Penginjilan berbasiskan jemaat yang artinya jemaatlah sebagai ujung tombak pelaksanaan program penginjilan itu, bukan hanya tanggung jawab Pucuk Pimpinan GKPA. Pucuk Pimpinan GKPA berperan sebagai penggerak, motor, perumus kebijakan, pemikir dan Pembina. Dengan dukungan penuh jemaat GKPA akan sangat menentukan keberhasilan tugas penginjilan. Untuk itu dibutuhkan kesadaran setiap warga GKPA baik secara pribadi maupun bersama-sama dalam tugas panggilan ini. Mereka diharapkan mampu menjadi insan-insan missioner untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.
GKPA bertanggung jawab dalam melaksanakan penginjilan ke luar, tidak hanya berpusat ke dalam (Mt. 28:19-20).GKPA dipanggil untuk membuka diri terhadap tanggung jawabnya pergi ke luar, ke tempat di mana Injil itu belum pernah diperdengarkan. Oleh karena itu, GKPA sudah saatnya menjadi gereja dewasa, bukan hanya memikirkan tetapi juga berbuat dalam penginjilan ke luar.
Untuk merealisasikan hal ini GKPA perlu memikirkan sarana yaitu membentuk Tim, komisi, atau Seksi Pekabaran Injil di lingkungan GKPA. Mereka bertugas memikirkan dan merencanakan langkah-langkah kongkrit kegiatan Pekabaran Injil  di lingkup GKPA maupun di luar GKPA.

5.4.3.4.Pelayanan Pastoral/Penggembalaan
Gembala dalam arti hurfiah adalah seorang yang ditugasi menggembalakan ternak (kambing, domba). Pekerjaan ini mengemban panggilan yang banyak tuntutannya, misalnya mencari rumput dan air di daerah yang kering dan bebatuan (Mzm. 23:2), melindungi kawanan domba gembalaannya terhadap cuaca buruk dan binatang buas (Am. 3:12), mencari dan membawa kembali setiap domba yang sesat (Yehz. 34:8; Mt. 18:12).
Gembala upahan bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas domba yang hilang (Kej. 31:39), kecuali ia berhasil mengajukan pembelaan yang membuktikan, bahwa suatu peristiwa benar-benar telah terjadi di luar pengetahuannya atau kemampuannya (Kej. 22:10-13).
Dalam PL Allah sering digambarkan sebagai gembala Israel (Kej. 49:24). Dalam PB tugas Mesias disebut sebagai Gembala, bahkan Gembala Agung (Ibr. 13:20; 1Ptr. 5:4; 2:5). Mengacu kepada Yohanes 10 yang rinciannya sepadan dengan Yehezkiel 34, disebutkan bagaimana gembala yang sesungguhnya, gembala yang baik, dan tugas inilah yang diamanatkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya termasuk kepada rasul Petrus (Yoh. 21:15-18), yang diterjemahkan sebagai bentuk pelayanan pastoral atau penggembalaan, pelayanan pribadi, pendampingan, dan topangan lewat doa bagi setiap warga jemaat ketika mereka mengalami suka cita maupun dalam menghadapi berbagai persoalan.

5.4.4.      Pelayanan
Gereja sebagai perwujudan tubuh Kristus dipanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mrk. 10:45). Pelayanan gereja bukan hanya dialamatkan kepada manusia, tapi juga terhadap ciptaan yang lain (Kej. 1:26-28; 2:15; Mzm. 8), sehingga keadilan dan kesejahteraan sebagai wujud kasih Allah bagi dunia menjadi milik bersama seluruh ciptaan, tanpa membedakan suku, ras, agama, dan budaya (Yer. 22:3; Ams. 5:15-24). Pelayanan gereja menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang sedang berada dan berkarya, sekaligus menantikan kesempurnaan kehadiran-Nya kedua kali yang penuh dengan kebenaran dan kemuliaan (Luk. 4:18-21; 2Ptr.3:13).

5.4.4.1.Jemaat yang diakonal
Salah satu tugas pokok panggilan gereja adalah diakonia. Tugas ini berhubungan erat dengan gereja sebagai persekutuan dan kesaksian. Diakonia merupakan kesaksian nyata tentang kasih Allah terhadap dunia ini, kesaksian gereja yang bersekutu sebagai tubuh Kristus. Tentang diakonia ini tentu ada dasar teologisnya. Dengan dasar itulah kita dapat membedakan bentuk-bentuk pelayanan dengan yang dilakukan lembaga-lembaga lainnya di dunia ini.
Diakonia dalam jemaat adalah melayani sesama manusia berdasarkan kehidupan Yesus Kristus. Kehidupan Yesus Kristus menjadi model dalam pelayanan kita, dengan jemaat sebagai perpanjangan tangan Yesus Kristus. Singkatnya, diakonia adalah Injil yang dioperasionalkan. Diakonia tidak hanya ditujukan ke dalam dan ke luar, tapi ke dunia, kepada sesama manusia yang menderita dan membutuhkan. Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain dan menempatkannya pada posisi yang benar di hadapan Allah dan sesama manusia serta memedulikan keberadaan umat manusia secara utuh, yaitu memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan kebutuhan sosial serta ekonomi. Pelayanan ini menjadi bagian yang integral dalam kehidupan GKPA.
Hidup diakonia  inilah salah satu bukti bahwa jemaat GKPA adalah gereja yang peduli dan menjadi pembawa keteduhan dan kenyamanan di tengah-tengah dunia ini. Untuk merealisasikan bidang ini hendaknya jemaat-jemaat GKPA membentuk komisi diakonia atau seksi dengan progam-program yang tidak hanya sekedar Serikat Tolong Menolong (STM), tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menjawab pergumulan warga jemaat dan masyarakat sebagaimana Yesus Kristus kehendaki.

5.4.4.2. Pelestarian Lingkungan Hidup
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Kristus dan Roh Kudus hadir di dalam ciptaan, mengikat semua manusia dan seluruh ciptaan sehingga menjadi baik dan satu (Kej. 1). Gereja memahami dirinya sebagai hamba, pelayan dan penatalayan ciptaan. Gereja terpanggil untuk menghormati, menghargai, mengasihi dan berkarya untuk memperbaiki serta menyembuhkan cipataan sebagai pendahuluan dan petunjuk arah kepada persekutuan di dalam Kristus (Ef. 1:10).
Dengan aturan sabat, tahun sabat dan tahun Yobel, Kitab Suci menunjukkan bagaimana mendamaikan ekonomi dan ekosistem, bagaimana menciptakan tatanan baru manusia dan masyarakat (Kel. 23; Im. 25). Secara efektif, ekonomi dan penatalayanan sumber-sumber alam digabungkan, hukum dan kemurahan, disiplin dan keadilan sosial saling melengkapi. Jelaslah bahwa visi Kitab Suci tentang hubungan ekonomi dan ekosistem adalah hubungan yang tidak terputuskan.
Tugas gereja terhadap kehidupan semua ciptaan, selaku persekutuan orang-orang yang telah ditebus adalah tanda ciptaan baru dalam Kristus. Dipanggil oleh Allah untuk berperan dalam pembaruan ciptaan. Dengan dikuatkan oleh Roh Kudus, orang-orang Kristen dipanggil untuk bertobat dari penyalahgunaan dan perlakuan kejam terhadap alam. Perlu juga merefleksikan secara kritis pemahaman Kitab Suci dan sistem teologi yang telah digunakan untuk membenarkan penyalahgunaan dan perlakuan buruk terhadap alam tersebut. Suatu apresiasi terhadap teologi tentang ciptaan dan kesadaran yang segar akan tanggung jawab orang Kristen terhadap seluruh ciptaan, termasuk melestarikan lingkungannya, dapat, memperdalam iman dan memperkaya kehidupan gereja.
Gereja perlu terus menerus berpihak kepada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (KPKC). Roh Kudus membuka mata gereja untuk melihat ketidakadilan dunia, memperkokoh gereja untuk menentang dan berjuang melawan penindasan serta perusakan ciptaan Allah. Roh Kudus memanggil gereja untuk bekerja bersama ke arah sistim sosial yang adil dan ke arah lingkungan yang berkelanjutan. Bekerja ke arah keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan akan menolong gereja memahami tugasnya di dunia ini.
Pembaruan dapat dilakukan melalui hubungan yang benar dengan seluruh ciptaan. Kehadiran Ilahi dari Roh Kudus dalam ciptaan mengikat gereja dengan seluruh umat manusia dan seluruh kehidupannya. Ada salah kaprah yang menuntut adanya pengembangan teologi baru tentang ciptaan. Semua ini telah tersurat dalam Firman Allah. Bagaimana gereja berperan secara aktif di dalam membarui ciptaan sebagai bagian dari misinya dan sebagai suatu pemahaman ekumenis baru tentang hubungan ekologi dan ekonomi.

5.4.4.3. Melestarikan Budaya Angkola-Mandailing
Gereja yang hidup dan berkarya di tengah-tengah dunia adalah sungguh-sungguh menjadi gereja Tuhan Yesus, sebab Gereja adalah buah karya penyelamatan Allah yang difungsikan oleh Allah untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah atas seluruh umat manusia (baca Mt. 4:18-22, Kis. 13:2, 17:18; 2Tim. 1:7-9, 2:3). Dengan demikian usaha yang dilakukan di dalam dan oleh Gereja senantiasa mengacu pada karya penyelamatan Allah dalam relasi dinamis dengan konteks kehidupan manusia untuk menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini. Untuk pencapaian karya dan tugas ini, gereja yang bertumbuh dalam kebudayaannya tidak boleh tercabut dari akar budaya itu dan juga tidak boleh bersifat eksklusif dan introvert (tertutup terhadap orang lain atau dunia luar). Hal seperti ini dalam sejarah misi gereja disebut dengan kontekstualisasi teologi. Gereja hadir sesuai konteksnya.
Dalam sejarah gereja dan misi penginjilan di dunia, salah satu tantangan terbesar adalah melihat budaya sebagai kekafiran yang harus diberantas. Penolakan terhadap Kristus diakibatkan karena sifat dan sikap para penginjil tersebut yang terlalu anti pati kepada budaya masyarakat setempat di mana penginjilan itu dilaksanakan.
Kontekstualisasi itu menjadi hal yang sangat penting dalam rangka misi Injili Gereja dengan tujuan mampu mendaratkan teks dengan konteks. Kontekstualisasi teologi adalah bagaimana teologi bersikap terhadap kebudayaan dan adat istiadat sehingga memberikan sumbangan pemikiran bagi masalah-masalah yang dihadapi warga di tengah-tengah kehidupan yang serba majemuk. Tetapi gereja tidak boleh mengarah kepada sinkritisme  teologi. Memuji Tuhan dengan cara setempat dan alat yang dimiliki masyarakat sesuai dengan budaya yang ada di setiap daerah adalah sah-sah saja . Hal ini tidak bertentangan dengan Kitab Suci. Ada baiknya jika kita dapat menggali semua unsur budaya “Angkola” dan “Mandailing” untuk kepentingan misi gereja. Sosial budaya dapat dipakai secara positif di dalam mengemban tugas misi gereja sepanjang masa. Ini merupakan peluang bagi gereja. Biarlah semua cara dan alat yang kita pakai dikuduskan oleh Firman Tuhan, sebagaimana Timotius menjadi perabot rumah yang mulia, yang telah dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya (bd. 2Tim. 2:21).

5.4.4.4. Membangun kerjasama dengan Mitra
GKPA adalah bagian integral dari gereja-gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia. Ia tidak terpisahkan dari masyarakat di mana warganya hidup dan berada. Gereja dipanggil dari dunia dan ditempatkan di dalam dunia. Di dunialah gereja dipanggil untuk menyatakan kasih Allah (Luk. 10:25-37; Gal. 6:10). Dalam bidang ini peran serta warga sangat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
GKPA bermitra dalam rangka mewujudnyatakan panggilannya bersama dengan lembaga ekumene, pemerintah dan lembaga lainnya. Ini dapat dilakukan jika GKPA dan warganya mampu meningkatkan hubungan yang baik dengan warga masyarakat yang plural ini, termasuk dengan agama lain. Di dalam bermitra tentu diharapkan juga mampu bersikap kritis, realistis, konstruktif dan dinamis serta mampu menjadi garam dan terang dunia. Itu berarti GKPA sebagai gereja harus mampu dan berani menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Warga jemaat selaku orang percaya dapat menunjukkan bahwa kehadirannya di tengah-tengah masyarakat adalah sebagai tangan Tuhan untuk menyatakan kasih serta menyuarakan kebenaran dan keadilan.

5.4.5.      Optimalisasi Sumberdaya (Dukungan Pelaksanaan Program)
Dalam merealisasikan tugas panggilan-Nya, GKPA membutuhkan manajemen (Yak. 4:14-17). Yang dimaksud manajemen adalah keseluruhan upaya yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, dan perbaikan dari berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan kaidah serta tata nilai yang ada.  Sumber daya yang menjadi perhatian adalah “manusia”, teknologi (perangkat lunak dan keras), dana, lahan, informasi, sarana prasarana, dan jejaring kerja. Semua itu menjadi faktor pendukung utama dalam melaksanakan visi misi GKPA. Semua harus diperhatikan, sebab jikalau salah satu terputus akan mengganggu yang lain. Semua sumber daya saling terkait. Dalam pelaksanaannya sumber daya manusialah faktor utama dan yang paling strategis dalam melaksanakan suruhan dan panggilan gereja itu. Itulah sebabnya perlu diprogramkan usaha dan cara untuk meningkatkan peran dan partisipasi aktif seluruh warga jemaat GKPA.

5.4.5.1.      Meningkatkan Sumber Daya Manusia (Kualitas dan Kuantitas)
Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang sangat penting dan strategis (Ams. 1:7, 9:10). Para pelayan GKPA dan juga warga jemaat tanpa terkecuali sebagai bagian dari tubuh Kristus di dunia ini terpanggil dalam merealisasikan visi misi GKPA (bd. 1Ptr. 2:9). Agar hal ini tercapai diperlukan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dengan menjalankan fungsi tujuh P (Perencanaan, Penerimaan, Pengembangan, Pembudayaan, Pendayagunaan, Pemeliharaan dan Purna Bakti).
Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia perlu perhatian yang serius, begitu juga dalam memberdayakan potensi jemaat. Diperlukan perencanaan SDM, analisis rancang bangun pelayanan GKPA. Rekrutmen dan seleksi pelayan serta pegawai (1Kor. 9:13). Dalam peningkatan SDM ini harus tetap bersifat teologis alkitabiah di dalam takut akan Tuhan sebagai pemilik dan kepala Gereja.

5.4.5.2.      Meningkatkan pengelolaan dana
Gereja sebagai organisasi pada umumnya membutuhkan dana dalam menjalankan semua kegiatan operasionlanya. Sumber dana tersebut berasal dari persembahan jemaat, bantuan mitra, hasil usaha dan lain-lain. Dana tersebut harus dikelola dengan sebaik-baiknya sebagai perwujudan tugas dan panggilannya (Mt. 25:21). Dalam pengelolaan tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
·                     Pengadaan dana bagi pelaksanaan tugas panggilan gereja (1Kor. 16:1)
·                     Manjemen keuangan.
Perencanaan keuangan gereja dilaksanakan berdasarkan penghayatan terhadap Firman Allah sebagaimana tertulis dalam Lukas 14:28-30 tentang perlunya perencanaan anggaran, baik untuk penerimaan ataupun pengeluaran (belanja). Dalam pengelolaannya diperlukan sistim administrasi yang efisien dan efektif sebagai alat dalam menjalankan siklus akuntansi (Luk. 16:1 dst), sehingga segala transaksi dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan keuangan yang diakui oleh publik, khususnya warga jemaat (Flp. 4:10-20; Mt. 25:12). Untuk mengurangi tingkat ketidakefisienan pengelolaan keuangan diperlukan juga pengawasan baik yang bersifat  reguler maupun insidental.

5.4.5.3.      Meningkatkan pengelolaan sarana dan prasarana
Gereja di dalam menunaikan tugas dan panggilan-Nya di dunia ini membutuhkan sarana prasarana. Yang dimaksud sarana di sini terdiri dari bangunan, tanah atau lahan, serta peralatan-peralatan kerja. Sedangkan prasarana meliputi metode administrasi, rapat-rapat, sinode dan sidang-sidang dalam berbagai kepengurusan.
Sarana dan prasarana dibutuhkan sebagai faktor penunjang pelaksanaan program. Pengadaan dan pengelolaannya penting untuk menunjang keberhasilan visi misi GKPA. Dalam setiap program perlu jelas upaya pengadaan, pemeliharaan atau perawatan serta peningkatan mutu seluruh sarana prasarana tesebut.

5.4.5.4.      Meningkatkan dan mengelola Organisasi
Dalam rangka mencapai visi GKPA perlu ada aktivitas pengorganisasian. Pengorganisasian ini merupakan proses menciptakan hubungan-hubungan antara fungsi-fungsi, personalia, atau daya, dana, sarana dan faktor-faktor fisik lainnya agar kegiatan dapat dilaksanakan, disatukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan bersama GKPA. Pengorganisasian yang ada selama ini perlu terus menerus ditingkatkan dan dibenahi, supaya seluruh petugas dan warga jemaat menjadi satu kekuatan yang kompak serta harmonis dalam mengemban tugas tanggungjawabnya kepada Yesus Kristus Raja Gereja.
Pengorganisasian pada dasarnya telah diatur dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA, demikian juga dengan peraturan lainnya seperti, seksi, badan, dll. Oleh karena itu, untuk menjalankan misi Allah di dunia ini, setiap warga, para pelayan dan petugas di GKPA wajib berpedoman kepada Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA serta peraturan lainnya. Jika Tata Gereja dan Tata Laksana, peraturan badan seksi dan peraturan lainnya ternyata membutuhkan peninjauan, hal itu dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada. Visi dan misi GKPA yang telah ditetapkan juga membutuhkan evaluasi agar tetap relevan dengan semangat ecclesia reformata semper reformanda.

5.4.5.5.      Meningkatkan Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi dan Pengawasan
Gereja juga merupakan sebuah organisasi. Gereja bertugas untuk bersekutu, bersaksi dan melayani. Untuk menjalankan ketiga tugas pokok ini, gereja memerlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang saling berkoordinasi dan evaluasi yang berfungsi memperbaiki kualitas dari ketiga unsur utama tersebut secara terus-menerus. Allah seperti yang kita ketahui dalam sejarah kehidupan dan perjalanan bangsa Israel selalu menguji bangsa-Nya; apakah mereka setia pada perencanaan yang mereka sepakati bersama sejak zaman nenek moyang mereka. Jika mereka setia pada kesepakatan mereka bersama Allah maka bangsa itu akan sejahtera. Begitu juga sebaliknya (Kej. 1:31; 11:4; Kel. 41:35-36; Yer. 22:16; Ams. 6:6-8; Neh. 2:11-20; 1Taw. 22:1-19; Luk. 14:25-33; 2Tim. 4:7-8).
GKPA selaku gereja terlibat dalam misi Allah di dunia ini. Misi Allah adalah menghadirkan Kerajaan Allah dalam sejarah dunia ini yang memuncak pada peristiwa kelahiran, penderitaan, kematian, kebangkitan Yesus dan terus berlangsung sampai pada kedatangan-Nya kali kedua. Misi Allah ini mencakup beberapa aspek, seperti:
Ø  pemulihan seluruh ciptaan,
Ø  aspek pembebasan manusia dari segala belenggu ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, penderitaan dan kebodohan.
Ø  aspek perdamaian serta rekonsiliasi dengan Allah dan sesama manusia,
Ø  aspek solidaritas dalam pergumulan kehidupan manusia.

Penginjilan adalah bagian integral dari misi Allah. Gerejalah yang mendapat mandat untuk pemberitaan firman Allah ini. GKPA adalah bagian dari perwujudan gereja Kristus untuk terlibat menjalankan misi Allah di dunia ini, yaitu di tengah-tengah realitas dan konteks tertentu. Untuk inilah GKPA perlu memperlengkapi warga jemaat dalam menjalankan panggilan dan suruhan-Nya.

BAB II
GAMBARAN UMUM
GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA

3.1.            Gambaran Kinerja  Gereja Kristen Protestan AngkolaTahun 2011-2015
Untuk dapat merekam pencapaian prestasi Gereja Kristen Protestan Angkola di semua aspek sebagai suatu keutuhan lembaga, disusunlah instrumen khusus dengan 8 (delapan) faktor yang dijabarkan menjadi 36 (tigapuluh enam) variabel dan 111 (seratus sebelas) pertanyaan indikator sebagai berikut:
Tabel 1. Uraian Faktor dan Variabel [39]
No.
Faktor
Variabel
1.
 Fokus Kepada Jemaat (mencakup kapasitas Gereja Kristen Protestan Angkola dalam pelayanan kepada anggota jemaatnya, perumusan kebijakan dan visi ke depan)
1.1. Penampung aspirasi jemaat
1.2. Penanganan keluhan jemaat
1.3.Komunikasi Pimpinan Gereja Kristen Protestan Angkola  dengan jemaatnya
1.4. Pusat data keberadaan jemaat
1.5.Upaya pengembangan & pembelajaran jemaat
1.7. Pembenahan organisasi dan hubungan kerjasama
2.
 Kepemimpinan
(mencakup kapasitas Gereja  Kristen Protestan Angkoladalam menggerakkan anggota untuk mencapai tujuan pendidikan Kristen)
2.1. Memotivasi jemaat
2.2.  Mensosialisasi ide-ide antisipasi ke depan
2.3. Menganalisis masalah
2.4. Membuat keputusan yang relevan
3.
Manajemen Sumberdaya (mencakup kapasitas Gereja  Kristen Protestan Angkoladalam mendayagunakan sumber-daya yang tangible maupun intangible)
3.1. Pengelolaan aset (harta milik)
3.2. Pengelolaan keuangan
3.3. Pengelolaan Sumberdaya Manusia
3.4. Pengelolaan citra positif lembaga
4.
Good Governance (mencakup kapasitas Gereja  Kristen Protestan Angkoladalam mengelola semua proses manajemennya)
4.1 Tranparency (Keterbukaan)
4.2. Independency (Kemandirian)
4.3. Acountability (Tanggunggugat)
4.4. Responsibility(Tanggungjawab)
4.5. Fairness (Keadilan)
5.
Mengelola Perubahan (mencakup kapasitas Gereja  Kristen Protestan Angkoladalam mengantisipasi perubahan dan membuat perubahan ke arah yang postif)
5.1. Adaptasi
5.2. Daya Inovasi
5.3. Daya antisipasi terhadap perubahan masa depan
5.4. Membangun Jejaring Kerja
5.5. Menyiapkan perubahan-perubahan positif dalam  tubuh Gereja Kristen Protestan Angkola
6
Penyelenggaraan Persekutuan
(mencakup kapasitasGereja  Kristen Protestan Angkola dalam mememenuhi kebutuhan persekutuan jemaatnya)
6.1. Kebaktian Minggu
6.2. Aktivitas Kategorial (Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Wanita, Bapa, Usia Lanjut)
7
Penyelenggaraan Kesaksian
(mencakup kapasitas Gerja  Kristen Protestan Angkoladalam melaksanakan aktivitas kesaksian sebagai gereja “misi”)
7.1. Membangun hidup yang sesuai firman Tuhan
7.2. Membangun jemaat yang bersaksi dan  
       memberitakan injil
7.3. Aktivitas penggembalaan
7.4. Membangun partisipasi warga Jemaat dalam hidup berbangsa dan bernegara
8
Aktivitas Pelayanan
(mencakup kapasitas Gereja  Kristen Protestan Angkoladalam melaksanakan aktivitas pemeliharaan dan perhatian khusus serta pengembangan kualitas jemaat)
8.1. Lingkungan hidup
8.2. Pendidikan dan Pengajaran
8.3. Peningkatan Kesejahteraan
8.4. Aksi Kasih
8.5. Budaya






Dari studi yang ada, delapan faktor di atas mengandung unsur: (1) syarat mendapatkan sertifikasi kualitas manajemen standard internasional, (2) prinsip-prinsip pengelolaan dan kepengurusan organisasi yang baik (good  governance), (3) kemampuan organisasi mengantisipasi masa depan, serta (4) penyelenggaraan panggilan utama lembaga gereja (tri tugas panggilan gereja).
Selanjutnya berdasarkan instrumen yang sudah berbentuk kuesioner, diberikan kesempatan bagi masing-masing pihak yang mewakili stakeholders (pemangku kepentingan)  Gereja Kristen Protestan Angkola untuk  memberikan penilaian. Dari kuesioner yang masuk dan telah mewakili responden di semua wilayah pelayanan Gereja Kristen Protestan Angkola bahkan ada juga dari Pemangku Kepentingan Eksternal, didapat suatu data seperti tercantum dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola [40]
No
Faktor yang dinilai
Nilai (skala 0-5)
1
Fokus Kepada Jemaat
2.54
2
Kepemimpinan
2.39
3
Manajemen Sumberdaya
2,71
4
Pengelolaan Lembaga Yang Baik (Good Governance)
2.80
5
Mengelola Perubahan
2,72
6
Penyelanggaraan Persekutuan
3,13
7
Penyelenggaraan Kesaksian
2,56
8
Penyelenggaraan Pelayanan
2,41

Rata-rata
2,66

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa angka rata-rata penilaian pemangku kepentingan terhadap kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola  di tahun 2015 ini adalah  dari skala 0-5. Nilai ini menunjukkan masih di bawah  angka cukup (3). Untuk lebih memaknai angka-angka tersebut, berikut adalah bentuk grafiknya.
Grafik 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola
Dari grafik di atas tampak  bahwa kinerja yang dimiliki Gereja Kristen Protestan Angkola  di mata pemangku kepentingannya rata-rata 2,66, masih di bawah nilai “cukup” (skor = 3).  Ada satu faktor yang dinilai di atas “cukup” yaitu Penyelenggaraan Persekutuan (3,13). Ke tujuh faktor lain dinilai masih “kurang dari cukup”.  Berdasarkan urutannya kelima faktor yang dinilai kurang dari cukup adalah: Pengelolaan Lembaga Yang Baik (2,80), Mengelola Perubahan (2,72), Manajemen Sumber daya (2,71) Penyelenggaraan Kesaksian (2,56), Fokus Kepada Jemaat (2,54),  Penyelenggaraan Pelayanan (2,41), dan Kepemimpinan (2,39).
Dengan fakta yang ada di atas maka dapat dikatakan bahwa mayoritas faktor di dalam Gereja Kristen Protestan Angkola membutuhkan pembenahan, agar dapat memenuhi harapan Pemangku Kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola  karena masih kurang dari nilai “baik sekali” (skor = 5). Kalaupun sudah ada satu faktor yang dinilai cukup, namun masih dibawah nilai Baik (skor = 4) maupun Baik Sekali (skor = 5).
Untuk dapat memahami lebih mendalam apa saja hal-hal yang diharapkan oleh Pemangku Kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola  maka berikut adalah ringkasan dari hasil kompilasi Kuesioner, Fokus Diskusi Kelompok (Focus Group Discussion – FGD) dan Wawancara Mendalam (In dept Interview).[41]
3.2.            Harapan-harapan Pemangku Kepentingan Terhadap Gereja Kristen Protestan Angkola
Dari semua masukan Pemangku Kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola , baik internal maupun eksternal maka dapat diidentifikasi harapan-harapan mereka seperti terlampir. Secara keseluruhan harapan-harapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
3.2.1.      Umum:
Pada umumnya pemangku kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola  sangat mengharapkan adanya pembaruan  kualitas secara signifikan dari eksistensi Gereja Kristen Protestan Angkola  agar dapat lebih optimal menjalankan tugas dan panggilannya sebagai Gereja di tengah-tengah zaman ini. Tri Tugas Panggilan Gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani) diharapkan dapat dioptimalkan lebih berkualitas dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di eksternal. Pemangku kepentingan juga berharap agar GKPA dapat bangkit dan berperan di tengah-tengah masyarakat melalui pelayanan yang holistik, sehingga pada gilirannya GKPA dapat menjadi gereja yang berdampak positif.
3.2.2.      Aspek Spiritual:
Pemangku kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola  mengharapkan adanya pengembangan teologi khas GKPA. Sangat perlu penekanan penggunaan Alkitab, Konfesi, Ruhut-ruhut Parmahanion dohot Pamincangon (RPP) GKPA, dan Liturgi di semua jemaat GKPA, sehingga bisa menjawab persoalan yang timbul, akan tetapi juga untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang tidak perlu.
3.2.3.      Aspek Arahan Organisasi:
Diperlukan adanya Visi Gereja Kristen Protestan Angkola  yang teologis namun lebih “membumi” dan dapat diukur dalam rentang waktu yang jelas. Dengan demikian semua pemangku kepentingan yang mayoritas bukan dari kalangan teologi akan lebih paham, yakin dan semangat untuk bersatu dan secara bersama-sama mencapai Visi tersebut. Juga dibutuhkan rumusan Misi yang lebih mudah dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan sebagai payung atau induk berbagai kebijakan organisasi dan tetap dalam koridor teologis Gereja.
3.2.4.      Aspek Jabaran Misi:
Pemangku kepentingan merasakan kebutuhan mendesak agar ada jabaran Misi yang selama ini kurang di eksplisitkan, yaitu: Tata Nilai dan Strategi Utama lembaga Gereja Kristen Protestan Angkola. Hal ini dimaksudkan agar semua telenta yang dimiliki dapat disatukan untuk bersinergi dan dioptimalkan demi mencapai Visi bersama.
3.2.5.      Aspek Kepemimpinan:
Di semua aras dari Jemaat dan juga lembaga-lembaga di bawah naungan Gereja Kristen Protestan Angkola  dirasakan masih sangat membutuhkan pemimpin yang kuat, berintegritas, profesional dan berhati gembala. Juga dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan strategis yang mumpuni serta berorientasi kepada visi (strategic and vison driven leadership). Menghadapi tantangan ke depan, Gereja Kristen Protestan Angkola  memerlukan para pelayan (penuh waktu dan paroh waktu) yang tangguh dan handal.
3.2.6.      Aspek Infrastruktur Organisasi:
Melihat pertumbuhan jemaat yang relatif lamban maka perlu dipikirkan program pembinaan dan missi untuk percepatan pertumbuhan jemaat. Pemangku Kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola  juga menekankan aspek perlunya pengelolaan semua sumberdaya dengan efektif dan efisien termasuk di dalamnya sumberdaya internal dan eksternal Organisasi. Sumberdaya internal, baik yang berwujud (Keuangan, Sumber Daya Manusia, Teknologi, Tanah, Gedung, Alat Transportasi, Badan Usaha, dll.) maupun yang tidak berwujud (Pengajaran Teologi, Kebijakan, Struktur Organisasi, Tata Nilai, Nama Baik, Manajemen, Keterpercayaan, Keahlian, Budaya Kerja, Panggilan, dll.) harus terus menerus dioptimalkan dengan profesional dan penuh integritas di dalam semangat ke-Kristenan. Begitu juga dengan sumberdaya eksternal berwujud (Mitra, Donor, Masyarakat) maupun sumberdaya eksternal tak berwujud (Jejaring, Rasa Percaya Pihak Lain, Keamanan & Kesejahteraan Negara) harus pula dioptimalkan secara bertanggungjawab untuk mendukung pencapaian Visi bersama.






BAB III
TATA NILAI GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA

Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, dihargai, diinginkan, berguna atau dapat jadi objek kepentingan. Nilai adalah yang memberi makna bagi hidup. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut perbuatan atau tindakan. Tata nilai adalah pola cara berpikir atau aturan-aturan yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah laku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pada cara berpikir itu tumbuh berkembang dan kokoh sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam tatanan kehidupan adat Batak Angkola-Mandailing menganut sistem garis keturunan patrilineal, yakni anak yang lahir laki-laki atau perempuan memperoleh marga dari bapak. Satu ciri suku Batak Angkola-Mandailing ialah sistem kekeluargaan yang disebut Dalihan Natolu (Tungku nan Tiga). Sistem kekeluargaan ini merupakan tiga tungku/unsur yang merupakan lambang sistem sosial Batak. Ketiga tungku/unsur itu ialah: 1. Kahanggi (abang-adik) yaitu pihak semarga turunan laki-laki dari satu kakek. 2.Anak boru (boru) yaitu semua anak perempuan dari marga laki-laki (saudara perempuan kahanggi) beserta suaminya dan semua klen suami (wife receiving party). 3. Mora (mertua) yaitu orang tua dan saudara laki-laki dari istri. Dalam setiap pelaksanaan adat Batak ketiga unsur ini mutlak harus hadir. Ketiga unsur ini masing-masing pula punya kewajiban dan tanggung jawab. Untuk mencapai tujuan kekeluargaan maka ketiga unsur ini menjadi tatanan yang harus dijalankan oleh setiap orang Batak Angkola-Mandailing dalam kehidupan sehari-hari.
Daerah Angkola dikenal dengan sebuah kota kerukunan umat beragama khususnya di Sipirok. Sipirok dikenal sebagai Sipirok Na Soli Banua Na Sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan). Na soli artinya saleh, sentosa, sejahtera dan senang. Banua artinya daerah atau tempat. Na sonang artinya menyenangkan.[42] Dengan demikian Sipirok merupakan daerah atau tempat yang menyenangkan, aman dan sentosa karena terjamin kesejahteraan dan kerukunan hidup di antara sesama masyarakatnya. Sipirok Na Soli Banua Na Sonang dipahami dalam konteks hubungan antar masyarakat plural yang menyenangkan, membahagiakan karena ada kedamaian dan kerukunan sehingga kelangsungan hidupnya sungguh terjamin. Istilah tersebut sepertinya mampu mengispirasikan keadaan surga yang menyenangkan, membahagiakan masyarakatnya karena penuh kedamaian dan kerukunan.[43] Penekanan inti di dalam julukan itu adalah sikap masyarakat Sipirok yang cinta kedamaian dan kerukunan.
Dalam kehidupan bermasyarakat orang Angkola-Mandailing mengenal falsafah ”Jujur mula ni bada, bulus mula ni dame” (merunut masalah awal perseteruan, ketulusan awal kedamaian). Falsafah ini mengajarkan agar setiap masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu diungkit-ungkit lagi tetapi masalah itu harus diselesaikan secara damai dan baik. Orang Angkola-Mandailing harus memiliki sikap yang tulus dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika ada kesalahan teman segera dimaafkan dan diperbaiki demi terciptanya keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian orang Angkola-Mandailing lebih dikenal dengan keramahtamahannya dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.
Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) tinggal dan hidup di daerah Angkola-Mandailing. Dengan demikian tata nila budaya Angkola-Mandailing ini sangat kuat mempengaruhi cara kerja dan pelayanan di GKPA.  Tata  Nilai (Values) merupakan nilai-nilai yang telah ada dalam setiap warga jemaat GKPA yang terintegrasi dari tata nilai budaya Angkola-Mandailing itu sendiri. Tata nilai ini merupakan perwujudan dari sikap dan perilaku  seluruh warga jemaat GKPA yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian Tri Tugas Gereja secara baik dan benar. Tata Nilai merupakan fondasi untuk mengintegrasikan pelayanan Tri Tugas Gereja ke dalam suatu kerangka kerja berorientasi hasil (results-oriented frame work) yang kemudian dijadikan basis untuk bertindak dan memberi atau menerima umpan balik. Tata Nilai mengacu kepada prinsip-prinsip tuntunan dan perilaku yang melekat di dalam cara GKPA dan para pelayan Gerejawi melayani seperti yang diharapkan. Tata Nilai mencerminkan dan memperkuat budaya yang diinginkan oleh GKPA. Tata Nilai mendukung dan menuntun pengambilan keputusan setiap pelayan Gerejawi, membantu GKPA dalam melaksanakan misinya dan mencapai visinya dengan cara yang memadai.  
Tata Nilai GKPA ini telah dipelajari, diteliti, didiskusikan melalui studi teologi, bahkan melalui forum diskusi kelompok yang melibatkan unsur pimpinan tingkat Distrik 1-4, Rapat Majelis Pendeta, Rapat Majelis Pusat GKPA, serta Tim kerja penyusunan Visi dan Misi GKPA. Dari hasil studi ini maka tata nilai yang menggerakkan pelayanan di GKPA untuk mencapai visinya melalui misi-misinya adalah:
1.      Tata Nilai Ideal :
Tata Nilai Ideal ini adalah tata nilai yang sudah ditetapkan dalam Sinode Am GKPA seperti Konfesi GKPA, Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA, Ruhut-ruhut Parmahanion/Pamincangon (Hukum Siasat) GKPA, dan Peraturan-peraturan GKPA lainnya. Tata Nilai Ideal yang menjadi sumber Tata Nilai Incremental dan Operasional.

2.      Tata Nilai Tambahan (Incremental):
2.1. Sola Scriptura, Sola Fidei dan Sola Gratia.
Sola Scriptura adalah doktrin GKPA yang mengakui bahwa Kitab Suci adalah "sumber otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam menentukan, untuk semua doktrin dan praktek (iman dan moral)" dan bahwa "Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada lagi yang lain- yang diperlukan untuk iman dan moral."[44] Ajaran ini merupakan ajaran Luther yang diterapkan dalam tugas pelayanan di GKPA.

Hanya Alkitab sajalah otoritas yang infalibel (yang-kalis-dari-kesesatan) yang manusia butuhkan. Alkitab merupakan asas tunggal tanpa ada yang lain dalam hidup menggereja, berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Pada dirinya sendiri Alkitab cukup memberikan kepada Gereja kepastian tentang semua kebenaran ilahi.Dalam konteks ini, tidak ada hubungan antara tra­disi dan kepengantaraan Gereja dengan kuasa mengajar (magisterium), sehingga bagi Luther terbukalah jalan untuk menguji atau menafsirkan secara bebas. Alkitab menjadi tempat pengungsian yang terakhir. Alkitab adalah batu karang, di mana tiada badai dan bencana insani mampu menggoyahkannya.
       2.2. Patanakhon Hata ni Debata tu Luat Angkola (Menanamkan dan memberitakan Firman Allah ke daerah Angkola)
Semangat kemandirian dan pelayanan GKPA sangat kuat digerakkan oleh slogan dan motto, “Patanakhon Hata ni Debata tu Luat Angkola” (Menanamkan dan memberitakan Firman Allah ke daerah Angkola). Dengan motto ini, GKPA mengalami pertumbuhan yang pesat sejak berdirinya hingga tahun 1990-an. Dalam setiap pelayanan dan persekutuan, warga jemaat selalu digerakkan oleh semangat ini, sehingga GKPA bisa eksis hingga saat ini.
      2.3.  Hormat Marmora, Manat Markahanggi, Elek Maranak Boru (Hormat kepada pihak keluarga mertua, hati-hati dengan saudara semarga, dan peduli kepada pihak putri kita).
Falsafah ini sangat kuat mempengaruhi persekutuan dan pelayanan di tengah-tengah warga jemaat GKPA. GKPA tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan adat istiadat masyarakat Angkola-Mandailing. Dalam menjalankan tugas pelayanan Tri Tugas Gereja, GKPA sangat menghormati keputusan-keputusan Sinode, saling menghargai sesama warga dan pelayan GKPA serta memberikan pelayanan yang prima bagi seluruh warga jemaat GKPA.  
Dalam perkembangan pelayanan di GKPA, penerapan prinsip-prinsip budaya Angkola dilaksanakan secara dinamis khususnya dalam pelakasaan pesta dan perayaan gereja.
2.4. Sipirok na soli Banua na sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan)
Kearifan lokal masyarakat Angkola, yakni: Sipirok na soli Banua na sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan) ini menjadi sebuah gaya hidup orang Angkola. Dalam kehidupan bergereja, warga jemaat GKPA membawa dan mewujudkan kerukunan dan kedamaian. Sifat dan karakter orang Angkola-Mandailing yang menyenangkan menjadi kekuatan utama dalam persekutuan sesama warga jemaat dan masyarakat lainnya.
3.      Tata Nilai Operasional
Dalam rangka mewujudnyatakan Tata Nilai ini, GKPA melakukannya dengan sikap TEDUH. TEDUH itu adalah Tangguh, Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat. Rumusan ini menjadi rumusan penyimpul, bahwa tata nilai Gereja Kristen Protestan Angkola sebagai pedoman melaksanakan semua aktivitas individu, kelompok dan organiasi diwarnai dengan Tangguh, efektif & Efisien, Damai, Unggul dan Hormat.
a.            Tangguh: GKPA TANGGUH dalam menjalankan pelayanannya dan selalu termotivasi untuk TANGUH dan tidak mengenal lelah untuk menegakkan keadilan, transparan dan bebas dari benturan kepentingan.
b.            Efektif/Efisien: GKPA EFEKTIF & EFISIEN melayani warga jemaat dan masyarakat lainnya dengan bertindak Efektif dan Efisien serta komunikatif sehingga menyenangkan semua orang.
c.             Damai: GKPA DAMAI dalam menjalankan seluruh pelayanannya dan tetap berpegang kepada prinsip “Dalihan Na Tolu” serta menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal  “Sipirok na soli banua na sonang”.
d.            Unggul: GKPA UNGGUL dalam memberikan pelayanan kepada warga jemaat dan masyarakat baik dalam hal ajaran Agama, adat Budaya, kerjasama dengan orang lain dengan motto “Salumpat Saindege”.
e.             Hormat: GKPA HORMAT terhadap seluruh warga jemaat dan masyarakat, serta kepelbagaian suku, ras, agama yang ada. GKPA terus berjuang dan melaksanakan hidup rukun, ramah dan sopan kepada seluruh umat manusia.







BAB IV
ANALISIS STRATEGIS TOWS

Metode analisis yang sering dan lazim dipakai dalam rangka menyusun strategi lembaga adalah SWOT Analysis. Namun untuk lebih menekankan kepada prioritas strategis tantangan eksternal dan internal yang sungguh-sungguh riil dihadapi Gereja Kristen Protestan Angkola, maka di bawah ini dipilih analisis TOWS: External Strategic Factors Analysis Summary (ESFAS), dan Internal Strategic Factors Analysis Summary (ISFAS). Dengan analisis jenis ini diharapkan aspek strategis terhadap situasi eksternal dan internal lebih mewarnai strategi yang akan dipilih.
Hasil kompilasi dari ESFAS & ISFAS analysis yang didapatkan dari penyebaran kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion) dan wawancara mendalam (in depth interview) kepada pemangku kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola adalah seperti tampak dalam dua matrik dan dua grafik berikut ini.
Matriks 1.Internal Strategies Factors Analysis Summary (ISFAS)
NO.
URAIAN
BOBOT
RA
TING
Bobot x Rating

A.     KEKUATAN  (STRENGTHS)
(1,0 – 0,0)
(1–4)

1
Budaya angkola: lembut, bahasa, kekerabatan kepedulian, dan kebersamaan
0,15
2
0,30
2
Mudah bergaul, adaptif dan toleran (rukun)
0,10
3
0,30
3
Penyelenggaraan seluruh ibadah terlaksana secara rutin
0,15
3
0,45
4
Semangat kemandirian
0,05
2
0,10
5
Kepemilikan aset gereja
0,05
2
0,10

B.     KELEMAHAN (WEAKNESS)

(4-1)

1
Kepemimpinan yang lemah di semua level dan kurangnya pengkaderan.
0,10
1
0,10
2
Kurangnya  penginjilan atau misi keluar baik secara langsung atau melalui program khusus melalui aspek budaya, politik, ekonomi, lingkungan, dll.
0,10
1
0,10
3
Kurangnya Fanatisme dan partisipasi jemaat untuk memajukan GKPA
0,10
1
0,10
4
Manajemen GKPA kurang efektif dan efisien
0,10
1
0,10
5
Kebijakan, keputusan dan program GKPA  kurang menjawab kebutuhan jemaat 
0,10
1
0,10

JUMLAH
1,00

1,75
Matriks 2.External Strategies Factors Analysis Summary (ESFAS)
NO.
URAIAN
BOBOT
RA
TING
Bobot x Rating

A.    PELUANG (OPPORTUNITIES)
(1.0-0.0)
(1 – 4)

1
Kemitraan lokal, nasional dan internasional
0,15
4
0,60
2
Hadirnya suku lain ke GKPA
0,05
2
0,10
3
Pemekaran daerah Angkola
0,10
3
0,30
4
Wilayah penginjilan masih terbuka
0.10
3
0,30
5
Penggunaan Teknologi
0,10
2
0,20

B.     ANCAMAN (TREATS)


(4-1)

1
Perkembangan sekte, aliran kepercayaan, gereja  lain  beraliran  karismatik yang pesat.
0,08
1
0,80
2
Perubahan dunia yang cepat, dan perkembangan berbagai paham, serta globalisasi di segala bidang.
0,08
2
0,16
3
Kesenjangan sosial masyarakat dan dekadensi moral seperti pornografi, seks bebas, miras, dan narkoba, kriminalitas dan premanisme
0,12
1
0,12
4
Masuknya budaya lain yang merusak kerukunan antara GKPA dengan kelompok muslim
0,10
2
0,20
5.
Islamisasi terselubung, perda syariah, SKB 3 Menteri untuk pendirian rumah ibadah
0,12
1
0,12

JUMLAH
1,00

2,9

            Diagram 1. Kompilasi TOWS AnalysisGKPA[45]:ESFAS & ISFAS GKPA
Diagram 2. Kompilasi TOWSAnalysis GKPA[46]:Faktor Eksternal & Internal
Dari dua matriks dan diagram di atas nampak bahwa pilihan strategi yang lazim dilakukan oleh sebuah lembaga yang memiliki peluang dari luar yang lebih dominan dari pada ancaman, dan kelemahan dari dalam yang lebih besar dari pada kekuatan adalah STRATEGI PEKA & FOKUS DALAM MEMANFAATKAN PELUANG SEKALIGUS MEMBENAHI KELEMAHAN YANG ADA. Hal ini dikarenakan kondisi empiris dan obyektif  lembaga dalam situasi yang BANYAK PELUANG dan BANYAK  KELEMAHAN.
Kondisi empiris di atas dapat dipakai sebagai masukan untuk menyusun strategi utama GKPA menuju 2041yang akan diuraikan pada Bab VIII.
Dalam metodologi penyusunan strategi berbagai Organisasi, dengan SWOT Matriks ini dirasa masih sempit dan kurang komprehensif cara pandangnya bagi suatu lembaga, juga bagi Gereja Kristen Protestan Angkola dalam melangkah ke masa depan. Metode ini lebih menekankan analisis masa lalu dan masa kini. Dibutuhkan metode yang lebih menekankan aspek antisipatif ketimbang hanya melihat kondisi masa lalu dan masa kini, yaitu metode skenario. Untuk melengkapi data-data antisipatif yang dibutuhkan dalam implementasi metode skenario, bab berikut ini akan menyoroti secara khusus tren perubahan 25 tahun mendatang.






BAB V
TREN PERUBAHAN 25 TAHUN MENDATANG

1.      Tren Perubahan Global dan Internasional 25 Tahun Mendatang
Hasil identifikasi dan analisis menunjukkan bahwa globalisasi (proses interaksi antar manusia ke arah mendunia) sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum tahun Masehi. Perjalanan sejarah manusia meninggalkan bekas-bekas bangunan, arsitektur, pakaian, karya sastra, peralatan rumah tangga, kebijakan suatu kerajaan dan pola perdagangan yang memadukan unsur-unsur budaya saling berlainan. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah melakukan interaksi, baik yang bersifat budaya, ekonomi maupun politik di luar batas-batas kedaulatan wilayah mereka.  
Gelombang globalisasi yang saat ini dan di masa-masa mendatang akan semakin intensif, ekstensif dan cepat, dapat diidentifikasi kecenderungannya, antara lain:
1.1         Dunia tidak berbatas wilayah. Faktor-faktor yang berhasil meraih posisi sangat efektif dalam hal tanpa batas-batas negara adalah  4 C (communication, capital, corporation dan consumer).  Konsekuensi dari keadaan tanpa batas ini adalah peluang-peluang dan tantangan juga dapat melampaui batas-batas negara. Apa yang terjadi di luar negeri (ekonomi, bisnis, permodalan, politik, perkembangan teknologi, perilaku masyarakat, bencana alam, dll.) akan langsung memengaruhi keberadaan dalam negeri Indonesia.
1.2         Bergesernya kekuatan dunia. Keterbukaan China membawanya menjadi kekuatan baru di dunia. Prestasi yang diraih  pada tahun 2007 kekuatan ekonomi China (Product Domestic Brutto = PDB) sama dengan Inggris, tahun 2008  sama dengan kekuatan Jerman dan tahun 2010 menjadi nomor 2 setelah Amerika. Dari sisi teknologi ruang angkasa China adalah negeri ketiga setelah Uni Soviet dan Amerika, setelah mampu meluncurkan roketnya pada 23 Oktober 2003. Pada 2008 China membuktikan kedigdayaannya (keperkasanaannya) melalui penyelenggaraan olimpiade yang sangat spektakuler. Konsekuensi dari hal ini adalah kemungkinan besar peradaban dan norma-norma China akan lebih mewarnai pelosok dunia.
1.3         Amerika Serikat dan Uni Eropa bukan lagi sumber kekuatan ekonomi utama dan sebagai barometer dunia. Ada kekuatan-kekuatan negara berkembang yang terus meningkat misalnya  India[47] yang berpotensi seperti China. Brasil dan Argentina juga memiliki potensi yang sama. Pengaruh non Amerika akan banyak mewarnai peradaban dunia. 
1.4         Jumlah umat Kristen di dunia yang terbesar di era mendatang adalah penduduk China. Dari kecenderungan ini akan membawa dampak kepada jumlah misionaris terbesar di dunia juga dari China. Penduduk China yang dikenal sebagai penduduk yang memiliki etos keuletan dan kegigihan ditambah dengan militansi kekristenan akan membawa dampak positif bagi pengembangan semangat misi kekristenan. Konsekuensinya ada peluang bagi pengembangan “misi Kristen” sekaligus menimbulkan tantangan baru bagi kelompok-kelompok penganut agama lain.[48]
1.5         Peran perempuan semakin menonjol. Banyak keputusan-keputusan penting dalam hidup yang berhubungan dengan konsumsi ditentukan oleh perempuan. Pemenuhan kebutuhan perempuan mendominasi aktivitas bisnis di segala industri.[49] Semakin banyak pemimpin di lembaga-lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan yang berasal dari kaum perempuan. Konsekuensi dari hal ini adalah potensi semangat kesetaraan dan keadilan gender akan terus berlanjut. Dunia semakin feminist.
1.6         Dampak  serangan 11 September 2001. Peradaban  Islam di dunia menjadi kekuatan yang selalu  bersinggungan dengan peradaban Barat (direpresentasikan Amerika dan sekutunya yang  mayoritas memeluk agama Kristen & juga sekuler) dan cenderung semakin berhadapan langsung. Konsekuensinya adalah di negara pluralis seperti Indonesia akan semakin merasakan ketegangan akibat benturan peradaban tersebut.
1.7         Pertambahan pemeluk agama Islam di Eropa dan Amerika akan semakin signifikan karena semangat dakwah Islam ke manca negara bersamaan dengan migrasi umat Islam dari Timur Tengah dan Asia ke Eropa dan Amerika. Begitu juga fenomena ini terjadi di Australia. Konsekuensinya daya pengaruh kekuatan Islam akan berdampak kepada kebijakan negara-negara Eropa, Amerika & Australia serta akan memengaruhi juga kebijakan mitra-mitra kerja gereja di Indonesia.
1.8         Teknologi yang akan dominan dalam perkembangannya adalah komputerisasi, bioteknologi dan nanoteknologi (Kelly E., 2006). Konsekuensinya akan semakin berkembang akses-akses antar pribadi warga dunia, semakin banyak alternatif pengembangan energi dan semakin berkembang aspek pemeliharaan hidup manusia.
1.9         Pemanasan global. Dalam satu abad terakhir suhu bumi telah meningkat rata-rata 1º Celcius.  Awal tahun ini Mc.Kinsey melakukan kajian bahwa ongkos bagi upaya dunia untuk menurunkan 2º C suhu bumi akan membutuhkan sekitar 350 miliar euro per tahun – setara dengan Rp. 4.900 trilliun pada tahun 2030.[50] Konsekuensi dari ini adalah terjadi perubahan iklim yang berdampak terutama pada aktivitas pertanian dan produktivitas kerja pada umumnya.
1.10     Krisis pangan dunia. Menurut perhitungan United Nations (Perserikatan Bangsa Bangsa) sampai akhir Januari 2009, secara global kenaikan harga makanan mencapai 35 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang, di mana 50 sampai 60 persen pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan, sedangkan di negara-negara maju, hanya 10-20 persen saja. Menurut ketua Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) itu, sedikitnya ada 37 negara di dunia yang saat ini mengalami krisis pangan.[51] Konsekuensi dari gejala ini adalah negara miskin masih harus berjuang keras mengatasi krisis pangan dunia di masa yang akan datang.
1.11     Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang bersifat non renewabel disebabkan  dari semakin menipisnya cadangan minyak bumi. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini memicu kenaikan biaya hidup dan naiknya  biaya produksi. Meskipun banyak negara telah mengupayakan energi alternatif, namun eksploitasi energi fosil masih terus berlanjut di negara-negara berkembang. Konsekuensinya dapat menimbulkan krisis energi di masa datang. Namun bila ditemukan alternatif energi terbarukan dengan harga terjangkau, maka penduduk dunia akan tertolong dari krisis energi tersebut.
1.12     Sekularisasi & relativisme. Tantangan bagi organisasi gereja adalah perilaku manusia modern yang cenderung sekuler dan menganggap segala hal menjadi relatif. Konsekuensi dari hal ini adalah lembaga-lembaga keagamaan menjadi lembaga yang diragukan relevansinya bagi kehidupan sehari-hari.
1.13     Perubahan semakin cepat dalam segala aspek kehidupan manusia akibat dari pesatnya perkembangan teknologi infomasi, transportasi dan komputerisasi. Konsuekuensi dari perubahan ini semua lembaga dan individu dituntut untuk memiliki daya adaptasi dan kesiapan dalam menghadapi segala macam perubahan.
1.14     Gerakan demokratisasi melanda seluruh wilayah Arab dan Timur Tengah. Di masa depan hal ini akan membawa dampak kepada kebijakan pengelolaan sumberdaya minyak yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh para penguasa negeri penghasil minyak dunia. Proses transaksi sumberdaya minyak memiliki peta yang berbeda dengan era sebelum ada demokratisasi di wilayah Timur Tengah. Konsekuensi dari hal ini adalah dinamika politik akan semakin tinggi di wilayah Timur Tengah dan memberikan dampak kepada ekonomi global.
1.15     Jumlah penduduk dunia dengan usia tua (59-70) semakin meningkat karena kesehatan yang membaik.[52]  Produktivitas manusia lebih panjang dan kebutuhan serta aspirasinya terus bertambah.
1.16     Tren perdagangan bebas ASEAN dan dunia. Tren globalisasi yang menghilangkan batas-batas Negara juga diikuti di bidang ekonomi khususnya perdagangan dan keuangan. Tren ini teraktualisasi dalam perdagangan bebas di wilayah tertentu dan di dunia. Di kawasan Eropa (MEE) telah benar-benar dilakukan bahkan menghasilkan mata uang tersendiri, yaitu Euro. Pada akhir 2015 akan berlaku perdagangan bebas ASEAN dan CHINA. Ini akan membawa konsekuensi bagi perekonomian negara yang tergabung di dalamnya. Bagi bangsa yang siap bersaing, pasar bebas akan  menjadi peluang besar karena peluang pasar yang meluas bagi produk-produk dan jasa-jasa yang dimilikinya. Bagi negara yang belum siap, pasar bebas akan menjadi ancaman bagi produk dan jasa dalam negeri karena kalah bersaing. Secara umum Indonesia tergolong belum siap menghadapi pasar bebas baik secara ASEAN-CHINA, maupun perdagangan bebas dunia.  Artinya akan ada banyak kesulitan yang dialami para pelaku ekonomi Indonesia dalam menghadapi situasi ini.
Keenambelas hal di atas[53] membawa dampak negatif bagi pihak yang tidak bisa memanfaatkannya, namun akan membawa dampak positif bagi semua pihak yang dapat memanfaatkan peluang yang ditimbulkannya. Perubahan global tersebut dapat menjadi ancaman bagi keberadaan Gereja Kristen Protestan Angkola namun sekaligus memunculkan banyak peluang untuk ”melompat” ke arah unggul di level nasional dan internasional.
2        Tren Perubahan Nasional 25 Tahun Mendatang
Agar lebih tajam dalam mengidentifikasi dan menganalisis masa depan yang langsung memengaruhi keberadaan Gereja Kristen Protestan Angkola, kita perlu melihat ulang kecenderungan-kecenderungan 25 tahun ke depan yang terjadi di tingkat nasional. Beberapa yang bisa disebutkan diantaranya adalah:
2.1         Desentralisasi (otonomi daerah) akan terus berlanjut.
Banyak kalangan yang meyakini bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh desentralisasi tidak bisa dijawab dengan resentralisasi tapi justru harus ditambah bobot desentralisasinya. Pemerintah daerah semakin memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur banyak aspek kehidupan di wilayahnya. Pemekaran-pemekaran wilayah di Indonesia masih akan terus berlangsung sejalan dengan aspirasi-aspirasi politik yang ada. Bagi Gereja Kristen Protestan Angkola  yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia akan memunculkan banyak peluang sekaligus juga ancaman.
2.2         Kecenderungan demokratisasi.
Meskipun secara empiris Indonesia telah terbukti: (1) berhasil menyelenggarakan pemilihan Presiden secara langsung dan tidak menimbulkan kerusuhan, (2) berhasil menyelenggarakan lebih dari 500 pemilihan kepala daerah secara langsung tanpa menimbulkan gangguan yang signifikan, dan (3)  dunia mulai menyoroti  Indonesia sebagai negara yang nomor empat terbanyak penduduknya di dunia dan mayoritas muslim yang dapat menjadi model negara yang mampu berdemokrasi dengan baik. Namun dari aspek pemberian tempat yang proporsional bagi kebhinekaan dan kehidupan yang majemuk atau plural, secara empiris juga terbukti masih ada kecenderungan kurang demokratis.[54]
2.3         Kemampuan ekonomi.
Dengan syarat desentralisasi mampu berjalan dengan baik, penegakan hukum berjalan dengan konsisten dan keamanan terjaga secara kondusif, maka penggerak ekonomi berupa masuknya investasi luar negeri akan dapat meningkatkan ekonomi Indonesia. Disamping itu konsumsi dan sektor riil dalam negeri juga akan semakin meningkat pertumbuhannya. Kekuatan sektor informal menjadi ciri khas tersendiri bagi Indonesia. Sektor ini adalah sektor yang terbukti tahan terhadap krisis ekonomi dunia. Di satu sisi sektor informal adalah merupakan kekuatan Indonesia, namun perhatian terhadap sektor ini oleh pemerintah dinilai masih sangat terbatas. Keterkaitan dengan kondisi ekonomi global masih berpengaruh signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan saling-ketergantungan (interdependensi) ekonomi di semua negara di dunia semakin kuat untuk saling memengaruhi.
2.4         Redefinisi Indonesia.
Semangat sektarian atau sebaliknya semangat kesatuan Indonesia akan lebih mewarnai Indonesia ke depan. Menguatnya intensitas interaksi dengan dunia luar melahirkan peluang Indonesia menjadi negeri yang pluralis dan tidak terjebak dalam sektarian. Namun melihat kecenderungan banyak pemerintah daerah melalui peraturan daerahnya lebih didominasi oleh aspirasi lokal dengan kecenderungan sektarian, maka negeri yang damai dengan ciri pluralis bisa tidak terwujud. Ada banyak kekecewaan di berbagai wilayah Indonesia oleh karena banyaknya kasus dan masalah yang tidak kunjung dapat diselesaikan juga dapat memunculkan semangat kedaerahan yang kontraproduktif terhadap kesatuan Indonesia.
2.5         Sumberdaya alam Indonesia semakin terkikis.
Pengelolaan yang tidak bijaksana membawa dampak semakin berkurangnya persediaan sumber daya alam di Indonesia. Perkembangan industri pertambangan sumber daya  alam yang hanya semata-mata bersemangat eksploitasi alam dan mengabaikan kelestaian lingkungan semakin mengancam terkikisnya alam Indonesia. Di sisi lain ada semangat yang tidak padam untuk mengoptimalkan segala sumber daya alam secara bijaksana agar mampu menjadi keunggulan Indonesia. Tarik menarik kepentingan terus menerus berlangsung yang pada akhirnya akan membawa dampak kepada pengabaian orientasi jangka panjang dan kesinambungan kesejahteraan bersama.
2.6         Dampak kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi yang tidak dapat terbendung akan banyak memengaruhi pengelolaan sektor publik, sektor privat bahkan sampai masuk pada pengelolaan rumah tangga dan individu warga Indonesia. Utamanya adalah teknologi informasi yang sangat membawa kemudahan dalam komunikasi antar pribadi dengan biaya yang semakin terjangkau. Namun demikian abad teknologi informasi ini juga membawa dampak negatif yang salah satunya berupa IAD (Internet Addictive Disorder) atau ketergantungan/kecanduan kepada internet yang dapat merusak struktur otak manusia. Di sisi lain interaksi langsung antar pribadi lebih banyak diwarnai dengan interaksi melalui teknologi informasi. Kemajuan teknologi yang semakin cepat dan intensif menuntut adanya kemajuan-kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung oleh manusia. Bukan manusia yang mengendalikan teknologi, tapi sebaliknya kemajuan teknologi mengendalikan manusia Indonesia pada umumnya.
2.7         Sosial kemasyarakatan.
Dengan kondisi demografi penduduk Indonesia yang mengarah kepada usia produktif  lebih banyak ketimbang usia non produktif  akan memberikan peluang bagi kekuatan pengembangan produktivitas nasional. Namun di sisi lain bila di masa datang “bonus demografi” ini tidak termanfaatkan dengan optimal, akan dapat mengakibatkan kontra produktif secara nasional. Di sisi lain disparitas antara daerah yang “maju” dan daerah yang “kurang maju” masih berjarak cukup signifikan.
2.8        Konflik agraria
Konflik yang berhubungan dengan tanah atau lahan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi Indonesia sekarang dan masa datang.[55]  Tanah tidak bertambah, jumlah manusia terus bertambah. Akan menjadi pergumulan dan persoalan yang membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak untuk mengatasi hal ini.
Kecenderungan-kecenderungan perubahan yang terjadi dalam skala nasional seperti terungkap di atas, akan membawa dampak bagi kebijakan pemerintah Indonesia pada umumnya dan pengaturan kehidupan umat Kristen pada khususnya. Agar analisis pengaruhnya lebih tajam dan langsung ke arah kehidupan keagamaan di Indonesia, maka perlu diidentifikasi dan dianalisis secara khusus tren kehidupanumat beragama secara nasional 25 tahun mendatang.
3.  Tren Kehidupan Umat Beragama Secara Nasional 25 Tahun Mendatang
Hasil identifikasi yang mengacu pada berbagai dokumen dan analisis kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di masa mendatang, maka dalam kehidupan keagamaan di Indonesia dapat disebutkan beberapa hal sebagai berikut:
3.1         Politisasi Agama.
Kebijakan pemerintah terhadap umat beragama nasional selalu diwarnai dengan semangat tarik menarik kepentingan antar kekuatan kelompok dan golongan. Kelompok atau golongan yang paling kuatlah yang akan banyak memengaruhi kebijakan dan berbagai aturan dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan umat beragama nasional.
3.2         Tantangan kebijakan  bernuansa pluralis menyangkut kehidupan umat beragama secara nasional.
Pemerintah Indonesia telah memiliki perundangan dan peraturan kehidupan umat beragama di Indonesia yang bernuansa pluralis.  Namun dengan kapasitas dan kapabilitas pemerintah yang serba terbatas serta rentang kendali yang begitu luas, maka penerapan serta pencapaianya akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah di atasi di masa-masa mendatang.
3.3         Desentralisasi.
Semangat otonomi daerah atau desentralisasi memungkinkan semakin banyak peraturan daerah bernuansa semangat kedaerahan. Kebijakan  di daerah akan terus diwarnai ciri khas dan solusi-solusi pergumulan masing-masing daerah. Sangat terbuka kemungkinan muncul berbagai warna atau “semangat agama tertentu” dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di wilayah Indonesia.
3.4         Globalisasi keagamaan.
Desakan global akan semakin memengaruhi kebijakan nasional. Interaksi global akan memberikan pengaruh terhadap: penerapan prinsip-prinsip hak azasi manusia, interaksi dengan berbagai aliran keagamaan global yang masuk ke berbagai wilayah Indonesia. Tesis-tesis global akan melahirkan sintesis yang tercermin dalam kebijakan nasional. Selanjutnya akan muncul antitesis-antitesis yang dapat memberikan nilai positif atau bisa juga negatif terhadap kebijakan nasional.
3.5         Gelombang sekularisasi dan relativisme dunia.
Gelombang ini akan membawa dampak bagi pemeluk agama di Indonesia. Terutama bagi penduduk di wilayah perkotaan yang lebih mudah berinteraksi dengan dunia luar melalui teknologi informasi. Gelombang sekularisasi dan relativisme dunia dengan mudah akan memengaruhi penduduk perkotaan. Kekuatan sekularisasi dan relativisme dimungkinkan akan banyak mewarnai kehidupan kaum perkotaan.
3.6         Isu-isu terorisme.
Isu ini  dan pandangan dunia terhadap Islam akan terus berpengaruh kepada suasana hubungan antar negara di dunia. Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia akan terus memengaruhi dan dipengaruhi oleh pergumulan pencarian hubungan harmonis antar peradaban Islam dan Barat. Situasi ini akan memengaruhi juga terhadap lahirnya kebijakan-kebijakan nasional dalam hal kehidupan umat beragama.
3.7         Dinamika umat Kristen di Indonesia.
Jumlah denominasi umat Kristen di Indonesia yang tidak kurang dari 320 denominasi (data Bimas Kristen Departemen Agama RI, 2007) yang terdaftar dalam kelompok KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia – Katolik), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia),  PGPI (Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia) dan PGLII (Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia) akan semakin membawa dinamika hubungan antar denominasi. Belum termasuk  denominasi lain yang tidak terdaftar. Ada dampak gesekan-gesekan di lapangan karena berbagai kepentingan antar denominasi tersebut. Gerakan ekumene menghadapi tantangan yang semakin nyata. Dominasi lembaga PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) semakin tidak signifikan lagi pengaruhnya bagi umat Kristen di Indonesia karena munculnya beberapa lembaga sejenis dengan aliran yang berbeda. Namun demikian terbuka juga ruang dialog yang mementingkan isu-isu kebersamaan dalam kehidupan beragama.
3.8         Primordialisme.
Tantangan primordialisme agama maupun suku di Indonesia masih perlu mendapat perhatian sehubungan dengan kondisi keanekaragaman suku dan agama yang ada. Kondisi ekonomi dan pendidikan yang masih terus ada kesenjangan semakin memiliki potensi memperkuat tantangan primordialisme ini. Tantangan ini utamanya bagi penduduk yang bermukim di wilayah pedesaan dan golongan ekonomi lemah.
3.9         Praktek sinkretisme agama.
Keberadaan praktek sinkretisme agama di pelosok pedesaan maupun di perkotaan Indonesia masih tetap berlangsung. Hal ini karena akar budaya nenek moyang yang kuat dan tata nilai tradisional terus terpelihara di masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga keagamaan Kristen di Indonesia.
3.10  Ketidakpuasan umat akan pelayanan gereja
Kecenderungan umat Kristen yang memiliki aspirasi tinggi terhadap kriteria-kriteria pelayanan mengakibatkan perpindahan warga jemaat ke lain gereja. Pencarian tempat beribadah dengan fasilitas yang lebih nyaman dan lebih sesuai dengan aspirasinya akan terus berlangsung sehubungan dengan kemunculan banyak aliran denominasi Kristen di Indonesia.
Kesepuluh tren kehidupan umat beragama secara nasional di atas akan sangat memengaruhi keberadaan umat Kristen di Indonesia pada umumnya serta Gereja Kristen Protestan Angkola  pada khususnya. Dengan mengoptimalkan daya  kreatif dan inovatif maka akan terlihat berbagai tantangan sekaligus peluang ke depan yang dapat dimanfaatkan demi eksitensi dan keunggulan umat Kristen serta Gereja Kristen Protestan Angkola .











BAB VI
SEMBILAN SKENARIO GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA DI MASA MENDATANG

Kecenderungan-kecenderungan global (internasional), nasional dan lokal seperti telah diuraikan di bab V di satu sisi menimbulkan dampak negatif atau ancaman namun di sisi lain juga membawa dampak positif berupa banyaknya peluang bagi Gereja Kristen Protestan Angkola. Untuk mengembangkan daya antisipatif ke depan bagi Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dipilih metodologi yang mampu melahirkan strategi yang paling relevan untuk jangka panjang. Metode yang banyak dipakai oleh lembaga-lembaga global dalam menyusun strategi jangka panjang adalah metode skenario (Ringland G., 2002). Skenario bukan merupakan alat prediction (prediksi kepastian masa depan). Skenario adalah alat  prevention (pencegahan), dimana kemungkinan masa depan yang buruk, harus dicermati dan dihindari, sedangkan masa depan yang positif dianggap sebagai peluang untuk dimanfaatkan. Selain itu juga mampu mengidentifikasi kekuatan penggerak  (driving forces) dan pertanyaan-pertanyaan krusial  (focal concern) yang dapat memengaruhi perubahan masyarakat di masa depan. 
Metode skenario dirasakan lebih mampu memberikan horison berjangkauan jauh ke depan dibanding dengan metode analisis TOWS  yang lebih menggambarkan keadaan saat ini. Dengan metode skenario bisa dibuat matriks pilihan keberadaan Gereja Kristen Protestan Angkola di masa depan. Secara lebih jelas akan ada 9 (sembilan) pilihan, yaitu:
Diagram 3. Skenario Masa Depan Gereja Kristen Protestan Angkola
PROSPEK PENGEMBANGAN GKPA
TREN PERUBAHAN GLOBAL, NASIONAL & LOKAL
Positif
Status Quo
Negatif
Positif
1. UNGGUL MELAYANI
2. EKSIS
3. MARTIR
Status Quo
4. LAMBAN
5. STAGNAN
6. MENGECIL
Negatif
7. MUNDUR
8. DARURAT
9. TUTUP



Penjelasan secara rinci masing-masing skenario di atas adalah :
1.      Menjadi lembaga Gereja yang UNGGUL MELAYANI (prospek pengembangan GKPA positif dan tren perubahan global & nasional positif). Artinya secara internal upaya yang dilakukan GKPA berjalan positif dan kondisi eksternal, tren perubahan global, nasional & lokal, memberikan dukungan secara positif dengan berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan oleh GKPA. Tren perubahan global, nasional dan lokal bisa saja tidak sepenuhnya positif, namun dapat diidentifikasi suatu kecenderungan total yang positif dan dimanfaatkan peluangnya secara positif pula. Pengembangan GKPA adalah menunjuk  kepada upaya pengembangan lembaga secara positif mulai dari visi, misi, strategi, pengelolaan sumberdaya, penerapan nilai-nilai sampai kepemimpinan. Menjadi lembaga yang UNGGUL MELAYANI artinya GKPA akan mampu menjalankan tugas dan panggilannya dan menjadi lembaga berkarakter positif (memenuhi kriteria lembaga gereja yang berkualitas unggul) serta kompeten dalam menguatkan dan membawa pembaruan lingkungan sekitarnya. GKPA juga akan mampu menjadi pelopor, motivator, inovator dan fasilitator seluruh JEMAAT dan SESAMANYA dalam meningkatkan kualitas hidup sebagai umat Kristen dan Indonesia pada umumnya.
2.      Menjadi lembaga yang EKSIS (prospek pengembangan GKPA positif  dan tren perubahan global & nasional sama seperti sekarang). Artinya secara internal upaya yang dilakukan GKPA berjalan positif dan kondisi eksternal, tren perubahan global, nasional & lokal, berjalan seperti sekarang (status quo) dengan lebih banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh GKPA. Tren perubahan global, nasional dan lokal bisa saja tidak sepenuhnya positif, namun dapat diidentifikasi suatu kecenderungan total yang positif dan dimanfaatkan peluangnya secara positif pula. Menjadi lembaga yang EKSIS artinya GKPA mampu menjalankan tugas dan panggilannya dengan semua pengembangan positif yang ada pada dirinya.
3.      Menjadi MARTIR (prospek pengembangan GKPA positif dan tren perubahan global, nasional & lokal negatif). Upaya pengembangan internal GKPA yang berjalan positif tidak dibarengi dengan faktor eksternal yang justru memiliki tren negatif. Segala upaya pemberdayaan lembaga menghadapi ancaman yang sangat kuat dan nyaris tak ada peluang positif, sehingga menghasilkan skenario MARTIR. Dalam kondisi ini GKPA selalu siap maju untuk mencapai visinya dengan konsekuensi bisa menjadi martir demi menjalankan “misi”nya.
4.      Menjadi LAMBAN (prospek pengembangan GKPA hanya seperti sekarang sedangkan tren perubahan global, nasional & lokal positif). Secara kelembagaan upaya yang dilakukan GKPA hampir tidak signifikan, hanya melakukan hal-hal rutin saja, sedangkan tren perubahan global, nasional & lokal positif. Skenario ini dapat terjadi bila secara kelembagaan reformasi GKPA tidak terjadi. Tren kondisi eksternal yang mengarah kepada banyak aspek positif hanya menjadi kesia-siaan yang akhirnya membuat  STAGNAN dan tidak ada kemajuan yang berarti.
5.      Menjadi STAGNAN (prospek pengembangan GKPA seperti sekarang dan tren perubahan global, nasional & lokal juga seperti sekarang). Ini adalah skenario yang menggambarkan situasi sekarang dan tidak ada perubahan berarti ke masa depan. Ada konflik terus dibiarkan berlarut tanpa ada rekonsiliasi yang berarti. Situasi dan kondisi eksternalpun tidak ada perubahan-perubahan yang berarti.
6.      Menjadi MENGECIL (prospek pengembangan GKPA seperti sekarang dan tren perubahan global, nasional & lokal negatif). Ini adalah skenario buruk yang bisa terjadi karena faktor internal tidak melakukan apapun dan faktor  ekternal memiliki tren negatif. Eksistensi GKPA bisa terancam karena tidak ada upaya sama sekali untuk menghadapi situasi yang banyak ancaman. Ada banyak bukti bahwa organisasi Gerejapun bisa tutup karena faktor internal yang tidak melakukan apa-apa sementara faktor eksternal semakin mengancam.
7.      Menjadi MUNDUR (prospek pengembangan GKPA seperti negatif dan tren perubahan global, nasional & lokal positif). Ini adalah skenario dimana faktor internal justru mengarah ke negatif sedangkan faktor eksternal memiliki tren positif. GKPA mengalami kemunduran yang nyata karena semata-mata hanya ditopang oleh kondisi eksternal yang masih memiliki aspek positif (peluang-peluang). Namun semua peluang yang dimiliki GKPA menjadi sia-sia dan GKPA kehabisan energi karena kondisi internal yang terus mengarah ke negatif. Kemunduran menjadi bagian hidup GKPA.
8.      Menjadi DARURAT (prospek pengembangan GKPA negatif dan tren perubahan global, nasional & lokal kondisinya seperti sekarang). Ini adalah skenario yang akan terjadi apabila GKPA secara internal mengalami perkembangan negatif sedangkan faktor ekternal kondisinya seperti sekarang (masih ada peluang meski terbatas). Bercermin dari kondisi yang saat ini berlangsung,  maka GKPA bisa mengalami kehancuran apabila tidak memanfaatkan sama sekali peluang yang ada dan terus sibuk dengan dirinya sendiri. Peluang-peluang yang terbatas bisa menjadi ancaman serius karena bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak internal untuk kepentingan dirinya dan mengakibatkan GKPA secara kelembagaan semakin negatif dan mengarah ke tutup.
9.      Menjadi TUTUP  (prospek pengembangan GKPA negatif dan tren perubahan global, nasional & lokal juga negatif). Ini adalah skenario terburuk yang bisa terjadi karena faktor internal maupun ekternal sama-sama memiliki tren negatif dan eksistensi GKPA akan menjadi benar-benar hilang secara cepat. Sejarah membuktikan bahwa organisasi Gerejapun bisa TUTUP.  Di Alkitab Perjanjian Baru juga diungkapkan beberapa jemaat di Asia Kecil (sekarang Turki) tidak dapat bertahan dan tutup oleh karena kondisi seperti skenario empat ini (internal yang lemah dan kondisi eksternal yang negatif).
Di masa depan GKPA bisa  memasuki variasi kondisi kesembilan alternatif skenario di atas. Namun secara keseluruhan dapat dilihat kecenderungan yang sangat umum dan mengarah ke satu skenario tertentu. Diharapkan dengan analisis yang tepat dan cermat terhadap kecenderungan faktor-faktor internal dan eksternal, maka  GKPA dapat mengupayakan secara serius perbaikan-perbaikan internal dan memanfaatkan kecenderungan positif eksternal, sehingga  akan memiliki skenario satu ke arah menjadi lembaga gereja yang UNGGUL MELAYANI dalam kualitas pengelolaan lembaga dan kinerjanya serta mampu memancarkan dampak positif bagi lingkungannya.
Untuk dapat mengarahkan semua sumberdaya dan upaya menuju skenario UNGGUL MELAYANI, maka tahap berikutnya dibutuhkan analisis isu-isu (persoalan-persoalan) strategis yang dapat dipakai sebagai bekal prioritas pergumulan utama guna menyusun VISI, MISI, Tata Nilai dan Strategi Utama GKPA menuju 2041.













BAB VII
ISU-ISU STRATEGIS

Untuk dapat mengimplementasikan metode skenario dengan pilihan UNGGUL MELAYANI maka perlu diidentifikasi isu-isu atau persoalan-persoalan strategis yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi optimalisasi prospek pengembangan GKPA di masa depan. Isu-isu ini bila tidak diberikan perhatian secara serius dan konsisten akan berdampak jangka panjang terhadap eksistensi GKPA.
Dari kompilasi data yang ada melalui metode studi dokumentasi dan kepustakaan, kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion), serta wawancara mendalam (in depth interview) diperoleh banyak sekali isu-isu strategis yang riil dihadapi oleh GKPA baik secara internal maupun eksternal. Dengan pertimbangan agar terjadi fokus dan mampu memberikan pengaruh perubahan yang optimal, maka perlu dibuat prioritas utama terhadap isu-isu yang teridentifikasi. Setelah semua isu-isu yang teridentifikasi dianalisis maka ada empat isu strategis yang memiliki bobot utama dan berdimensi internal serta eksternal:
1.      PELAYANAN YANG “TIDAK MAJU DAN TIDAK MUNDUR”
GKPA yang memiliki sejarah panjang dalam pelayanan membutuhkan terobosan dan ide-ide kreatif untuk menjalankan semua tugas pelayanannya. Dari data-data yang ada dan dari aspirasi para pemangku kepentingan tampak bahwa dalam beberapa tahun terakhir GKPA menghadapi situasi yang “statis dan jalan di tempat” dan tidak tampak pertumbuhan yang signifikan. Banyak perubahan eksternal yang harus direspon dengan positif dan kreatif agar GKPA mampu menjawab semua tantangan yang ada. Kualitas kotbah para pelayan perlu mendapatkan peningkatan kualitas agar mampu menjawab persoalan-persoalan konkret umat. Kepedulian kepada umat juga membutuhkan peningkatan kuantitas dan kualitasnya.
2.   KUALITAS PELAYAN YANG KURANG
Organisasi yang dianut GKPA adalah Episkopal Sinodal dimana Pemimpin memiliki peranan yang cukup sentral di semua tingkatan, maka bobot kuantitas dan kualitas kepemimpinan sangat perlu untuk selalu ditingkatkan. Kepemimpinan strategis, berkarakter dan visioner menjadi syarat utama yang perlu mendapat perhatian serius agar fungsi kepemimpinan dapat berjalan secara optimal. Kualitas sumber daya manusia yang unggul menjadi prasyarat bagi kesiapan melahirkan pemimpin-pemimpin strategis di GKPA. Aspek kepemimpinan strategis juga tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas profesionalisme pengelolaan sumber daya. Semua sumber daya baik sumberdaya internal (berwujud  & tidak berwujud) mupun sumberdaya eksternal (berwujud  & tidak berwujud) haruslah dioptimalkan secara sinergis dengan profesional serta dengan hati yang bijaksana. Data empiris menunjukkan aspek sinergitas masih pengelolaan sumber daya GKPA belum dioptimalkan secara profesional dan bijaksana.
- Pembenahan
- Rekrutment
- Pemberdayaan SDM
3.   PEMBARUAN TEOLOGI GKPA
Manajemen sangat berhubungan dengan metode kerja yang terus membutuhkan pembaruan sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru. Metode pengelolaan organisasi bukan suatu cara atau ilmu yang dapat berlaku seterusnya. Segala masukan ide-ide baru dan pengaruh positif dari berbagai pihak termasuk dari organisasi yang lebih baik kualitasnya sangat dibutuhkan agar manajemen dapat lebih efisien dan efektif. Manajemen juga berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia di GKPA. Dibutuhkan program-program pemberdayaan dan pengembangan yang lebih terstukrtur dan konsisten terus menerus agar peningkatan kualitas dapat terjamin.
4.   ORIENTASI LEBIH BANYAK KE DALAM
GKPA yang memiliki arah  teologi yang mengembangkan “kesaksian keluar” yang artinya menerangi dan menggarami komunitas di luar GKPA, mengalami hal yang sebaliknya. Dari hasil analisis yang  ada menunjukkan bahwa GKPA masih terus sibuk dan  berorientasi ke dalam. Dibutuhkan suatu kesadaran bersama dan terobosan-terobsan terbaik agar GKPA mampu menjalankan peran garam dan terang dunia.











BAB VIII
VISI, MISI & STRATEGI UTAMA GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA MENUJU 2041

Berbasis pada studi dokumentasi, memerhatikan aspirasi pemangku kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola, hasil identifikasi dan analisis faktor eksternal serta internal saat ini,  kecenderungan dua puluh lima tahun masa mendatang, juga penyusunan skenario Gereja GKPA di masa depan serta identifikasi isu-isu strategis, maka dapat ditetapkan Visi, Misi, Tata Nilai dan Strategi Umum Gereja Kristen Protestan Angkola  menuju 2041 adalah sebagai berikut:
7.1.       Visi Gereja Kristen Protestan Angkola 2041:
“GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM KEBERSAMAAN”
(Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap Sauduran)
(“The church who excellent service in togetherness”)
Visi tersebut memiliki arti dengan indikator-indikator:
    Gereja             :    umat yang dipanggil keluar (Ef. 5:8; 1Kor. 1:2; 1Pet. 2:9)
    Unggul            :    lebih baik, lebih cakap, dan lebih berkualitas.
    Melayani         :    menyelenggarakan kesaksian (marturia), persekutuan (koinonia), pelayanan (diakonia) untuk sesama ciptaan Allah.
    Kebersamaan  :    gotong royong, partisipatif antara warga jemaat dan seluruh pelayan, kesehatian (salumpat saindege), saling membantu, setara dan kompak.
7.2.       Misi Gereja Kristen Protestan Angkola  Menuju 2041 :
Untuk dapat mencapai Visi di Tahun 2041 Gereja Kristen Protestan Angkola  membutuhkan rumusan Misi yang dapat menjadi induk semua tata nilai, strategi, kebijakan dan keputusan-keputusan dalam pengelolaan lembaga dan program kerja.
Dari hasil kompilasi masukan-masukan berbagai pemangku kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola baik internal maupun eksternal melalui studi dokumentasi dan kepustakaan, kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion - FGD),dan wawancara mendalam (in depht interview) lahirlah Misi Gereja Kristen Protestan Angkola menuju 2041:
“MENINGKATKAN DAN MENGEMBANGKAN  KESAKSIAN, PERSEKUTUAN, PELAYANAN  DENGAN SEMANGAT PEMBARUAN DAN KEBERSAMAAN”
(“Padenggankon dohot pahirbangkon hasaksian, parsaoran, pangkobasion di bagasan roha haimbaruon dohot harentaon”)
(To increase and develop marturia, coinonia, deaconia with the spirit of reform/renew  and togetherness)

7.3.       Strategi Utama GKPA Menuju 2041
Langkah-langkah kunci dan utama (strategi) Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dirumuskan secara konkret dalam rangka mencapai Visi 2041. Dengan strategi utama ini GKPA diharapkan mampu menyikapi berbagai pengaruh dan perubahan eksternal yang semakin intensif, ekstensif dan cepat. Strategi Utama GKPA menuju 2041 berpedoman pada lima tahap yang dilakukan secara menyeluruh, paralel[56] dengan penekanan atau fokus yang berbeda, yaitu:
7.3.1.      2016-2021 – “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI
7.3.2.      2021-2026 – “Penguatan kebersamaan dan kerukunan” – REFORMASI
7.3.3.      2026-2031 – “Pengembangan Semangat Inovatif” -  INOVASI
7.3.4.      2031-2036 – “Pembaruan  secara terpadu.” – OPTIMALISASI
7.3.5.      2036-2041 – “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI
Secara sederhana strategi utama Gereja Kristen Protestan Angkola  menuju 2041 dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.
Diagram 4. Strategi Utama Gereja Kristen Protestan Angkola  Menuju 2041
Semua tahapan Strategi Utama di atas adalah satu kesatuan tahapan yang terpadu. Unsur dari semua tahapan selalu dilaksanakan di setiap tahapan lima tahunan namun dengan fokus yang berbeda di masing-masing tahapan. Setiap tahapan adalah juga suatu proses berkesinambungan dan suatu prasyarat bagi pelaksanaan tahapan berikutnya.
Setiap tahapan Strategi Utama di atas perlu dijabarkan dalam kebijakan dan program-program yang memiliki keluaran (output) dengan delapan kriteria kinerja: (1) fokus kepada anggota, (2) kepemimpinan yang kuat, (3) pengelolaan lembaga yang baik, (4) manajemen sumberdaya yang profesional, (5) mengelola serta menciptakan perubahan-perubahan secara efektif, (6) penyelenggaraan persekutuan yang menghidupkan, (7) penyelenggaraan kesaksian yang berorientasi seimbang keluar dan ke dalam, (8) penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas. Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Angkola akan dapat memberikan manfaat (outcome) nyata dan positif bagi lingkungan dimana jemaat Gereja Kristen Protestan Angkola berada serta menyebarkan dampak (impact) positif demi mendorong pencapian visi “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan.”
7.3.1.      Tahap I   (2016 – 2021) : “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI
Strategi ini menekankan kepada konsolidasi Gereja Kristen Protestan Angkola  sebagai Gereja yang memiliki tugas dan panggilan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia ini. Dari data empiris tampak bahwa Gereja Kristen Protestan Angkola secara internal memiliki kelemahan lebih banyak dibandingkan dengan kekuatannya. Sedangkan secara eksternal menunjukkan bahwa Peluang lebih besar dibandingkan Ancaman. Ini menggambarkan bahwa eksistensi Gereja Kristen Protestan Angkola berada di dalam situasi yang kurang dapat mengoptimalkan dirinya.
Konsolidasi haruslah berorientasi kepada pembenahan internal yang eksistensial untuk memanfaatkan banyaknya peluang eksternal. Gereja Kristen Protestan Angkola  yang berdiri atas pengakuan teologis dan diikuti oleh penatalayanan yang kontekstual perlu memprioritaskan penguatan diri dalam penyelenggaraan semua tugas dan panggilannya sebagai gereja di tengah-tengah komunitas yang majemuk.
Penguatan aspek kapasitas dan kapabilitas teologis kontekstual yang mampu menjawab segala persoalan kehidupan masa lalu, masa kini dan di masa mendatang yang berbasis kepada Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menjadi keharusan pada tahap lima tahun pertama ini. Aspek penatalayanan dengan memanfaatkan ilmu-ilmu pengembangan organisasi modern dan teknologi informasi terbaru juga perlu dioptimalkan.
Dalam pencapaian Visi 2041 dan menjalankan Misi Gereja Kristen Protestan Angkola  harus juga mengkonsolidasikan aspek manajerial (strategi tahunan dan optimalisasi seluruh infrastruktur  Organisasi) serta aspek kepemimpinan (implementasi tata nilai dan gaya kepemimpinan pelayan yang profesional serta bijaksana[57]). Indikator profesional[58] antara lain: menguasai bidang pekerjaannya, memiliki dedikasi dan integritas, berlaku etik dan moral serta patuh terhadap hukum yang berlaku.
Tahapan Konsolidasi haruslah sudah mampu mengkaji, menganalisis dan memberikan solusi bagi persoalan-persoalan strategis, seperti: Pelayanan yang  tidak maju dan tidak mundur, kualitas pelayan yang kurang, diperlukan pembaruan teologi yang tepat, dan juga orientasi yang hanya ke dalam.
Pada akhirnya semua aktivitas utama Gereja Kristen Protestan Angkola  (persekutuan, kesaksian dan pelayanan – marturia, koinonia dan diakonia) harus dikonsolidasikan secara eksistensial dengan mengembangkan pula aspek pemuridan (mystagogia) sebagai jawaban atas kebutuhan semua pemangku kepentingan.
7.3.2.      Tahap II   (2021 – 2026) :  “Penguatan kebersamaan dan kerukunan” – REFORMASI
Pada tahap kedua ini fokus kepada Reformasi perlu dioptimalkan setelah fokus Konsolidasi pada lima tahun tahap pertama berjalan dengan baik. Reformasi berarti pembaruan dengan menata ulang apa yang ada. Reformata Semper Reformanda, gereja reformasi harus terus melakukan reformasi tanpa henti. Begitu amanah refomator mula-mula.
Penguatan kebersamaan dan kerukunan adalah fokus khusus dalam strategi tahap kedua ini- Reformasi. Dengan kondisi yang banyak kelemahan secara internal tentu kebersamaan dan kerukunan akan menjadi faktor penguat yang sangat signifikan. Pada tahap ini secara khusus Tata nilai GKPA harus segera dikuatkan implementasinya di segala lini. Tata nilai tersebut adalah:  TEDUH. TEDUH itu adalah Tangguh, Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat. Rumusan ini menjadi rumusan penyimpul, bahwa tata nilai Gereja Kristen Protestan Angkola sebagai pedoman melaksanakan semua aktivitas individu, kelompok dan organiasi diwarnai dengan Tangguh, efektif & Efisien, Damai, Unggul dan Hormat. (1) Tangguh: GKPA TANGGUH dalam menjalankan pelayanannya dan selalu termotivasi untuk TANGUH dan tidak mengenal lelah untuk menegakkan keadilan, transparan dan bebas dari benturan kepentingan. (2) Efektif & Efisien: GKPA EFEKTIF & EFISIEN melayani warga jemaat dan masyarakat lainnya dengan bertindak efektif dan Efisien serta komunikatif sehingga menyenangkan semua orang. (3) Damai: GKPA DAMAI dalam menjalankan seluruh pelayanannya dan tetap berpegang kepada prinsip “Dalihan Na Tolu” serta menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal  Sipirok na soli banua na sonang”. (4) Unggul: GKPA UNGGUL dalam memberikan pelayanan kepada warga jemaat dan masyarakat baik dalam hal ajaran agama, adat budaya, kerjasama dengan orang lain dengan motto “Salumpat Saindege”. (5) Hormat: GKPA HORMAT terhadap seluruh warga jemaat dan masyarakat, serta kepelbagaian suku, ras, agama yang ada. GKPA terus berjuang dan melaksanakan hidup rukun, ramah dan sopan kepada seluruh umat manusia.
Tata  nilai operasional Gereja Kristen Protestan Angkola sebagai pedoman utama dalam meningkatkan kebersamaan dan kerukunan harus dijemaatkan dan diimplentasikan secara konsisten dan penuh komitmen. Di tahap lima tahun kedua ini Tata nilai Gereja Kristen Protestan Angkola  sudah harus menjadi jiwa semua anggota jemaat Gereja Kristen Protestan Angkola  tanpa kecuali. Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Angkola  akan mampu menjawab keprihatinan-keprihatinan internal dan eksternal dengan nyata serta berdampak positif secara signifikan.
7.3.3.      Tahap III  (2026 – 2031):  “Pengembangan Semangat Inovatif” -  INOVASI
Untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi secara intensif, ekstensif dan semakin cepat dibutuhkan peningkatan gerakan inovasi tanpa henti. Organisasi yang tidak mau melakukan pembaruan adalah organisasi yang tidak akan dapat menjalankan tugas panggilannya dan tidak mampu mempertahankan eksistensinya secara kontekstual. Pembaruan terus menerus dalam skala kecil (improvement) dan secara konsisten dikumulatifkan akan dapat menjadi pembaruan dalam skala besar (inovasi).
Dalam tahap lima tahun ketiga ini budaya kreativitas yang merupakan bibit pembaruan dan inovasi perlu mendapatkan tempat dan penekanan secara proporsional. Pemberdayaan semua personel di semua aras organisasi GKPA harus diarahkan kepada semangat untuk menemukan pembaruan-pembaruan agar mampu menjawab tantangan terkini dan mengantisipasi perubahan-perubahan mendatang.
Semangat inovasi tidak cukup hanya dalam skala individu tapi perlu menjadi suatu budaya organisasi secara keseluruhan sehingga memberikan kontribusi signifikan kepada kinerja organisasi. Dibutuhkan pendekatan kelembagaan yang siap menopang dan menghidupkan kultur inovasi di segala bidang ini dan menyusun program-program yang secara kinerja inovasinya dapat terukur. Semua langkah harus diawali dengan memperbarui konsep teologi (semua unsur dalam persekutuan, pelayanan, kesaksian dan pemuridan GKPA) yang sesuai dengan konteks dan pergumulan zaman serta memperbarui sistem manajemen dan kepemimpinan yang lebih strategis sesuai kebutuhan dan tantangan yang ada.
Secara kelembagaan GKPA sudah harus mampu menjalankan standar-standar manajemen modern dengan didukung oleh teknologi sistem informasi yang terkini. Semua sistem kerja sudah berorientasi kepada kinerja yang terukur dan berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan seluruh anggota jemaat serta semua pemangku kepentingan.
Dengan strategi mendorong inovasi ini maka Gereja Kristen Protestan Angkola  memiliki kemungkinan menjadi pelopor  pembaruan dan memberikan inspirasi positif bagi seluruh pemangku kepentingan dan bahkan bagi seluruh masyarakat secara umum.
7.3.4.      Tahap IV (2031 – 2036):   “Pembaruan  secara terpadu” - OPTIMALISASI
Strategi umum tahap keempat ini memiliki arti mengekspresikan semua potensi dan kapabilitas yang dimiliki lembaga Gereja Kristen Protestan Angkola  untuk bermakna bagi pihak lain. Arti pembaruan secara terpadu adalah Gereja Kristen Protestan Angkola  tidak lagi berorientasi pada diri sendiri tapi sudah dan harus selalu memberikan perhatian, kepedulian dan kemampuan kepada pihak lain di luar dirinya.
Segala kelemahan dalam pelayanan GKPA sudah harus selesai perbaikannya secara menyeluruh dan meningkat tahapannya menjadi memperbarui segala aspek. Baik aspek manajemen maupun kepemimpinan di semua level harus sudah memiliki agenda untuk pembaruan segera. Semua sumberdaya yang dimiliki baik secara internal GKPA harus dioptimalkan untuk menjawab semua tantangan yang ada.
Makna kehadiran GKPA di tengah-tengah pergumulan zaman terwujud dalam pembaruan-pembaruan yang dihadirkan oleh seluruh aras organisasi GKPA yang memunculkan suatu kualitas pelayanan yang tidak hanya jelas output (keluaran)-nya, namun juga outcome (manfaat) dan impact (dampak positif)-nya bagi masyarakat sekitar.
Optimalisasi membutuhkan upaya-upaya dengan menetapkan sasaran-sasaran yang selalu menantang, terukur dan relevan sesuai tuntutan situasi saat ini maupun saat mendatang. Pemberdayaan semua potensi sumberdaya juga harus mengacu kepada hal-hal yang dapat menumbuhkan transformasi eksternal sebagai konsekuensi dari Gereja yang unggul melayani dalam kebersamaan.
7.3.5.      Tahap V   (2036 - 2041):  “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI
Pada tahap lima tahun terakhir dalam jangka panjang dua puluh lima tahun ke depan, dibutuhkan strategi transformasi. Situasi kondisi pada saat itu masih belum dapat digambarkan secara eksplisit dan terukur oleh karena begitu cepatnya perubahan yang sedang dan akan terus terjadi. Namun demikian tanda-tanda dan tren masa depan sudah dapat diidentifikasi sehingga Gereja Kristen Protestan Angkola  harus menetapkan langkah strategis yang relevan.
Transformasi adalah semangat memancarkan berkat keluar bagi semua pihak tanpa kecuali sebagai hasil keunggulan pelayanan dalam kebersamaan.  Setiap anggota Gereja Kristen Protestan Angkola  harus menyadari bahwa transformasi yang sudah dirasakan di masing-masing dirinya harus dibagikan sebagai berkat bagi sesama. Kecintaan kepada Allah dipancarkan kepada sesama dan kepada keutuhan ciptaan sehingga membawa dampak yang positif, inilah esensi perwujudan transformasi.
Sesuai dengan perjalanan lima tahap dalam lima tahunan yang sudah dilewati, maka formulasi ulang terhadap penyatuan dan optimalisasi semua potensi dan kapabilitas antar badan, wilayah, sumberdaya, jejaring kerja, sarana dan prasarana lembaga perlu dijalankan. Semua dimensi Gereja Kristen Protestan Angkola  perlu ditata ulang agar dapat dipastikan pencapaian dan perwujudan visi: “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan. Identifikasi dan pendeteksian aspek-aspek internal dan eksternal Gereja Kristen Protestan Angkola  harus dilakukan ulang sesuai dengan segala perubahan yang terjadi. Sinergi antar hirarki semua badan dalam keseluruhan lembaga menuju pencapaian visi perlu ditransformasi (perubahan bentuk yang sama sekali baru tanpa meningggalkan pengakuan, Tri Tugas Panggilan dan aspek esensial GKPA).
Pembentukan Tim Penyusun Visi Misi Gereja Kristen Protestan Angkola  dua puluh lima tahun berikutnya harus dilakukan dan diberdayakan dengan dukungan keahlian multi dimensi dan berasal dari multi disiplin ilmu. Daya antisipasi dan semangat menjawab tantangan di masa depan menjadi prioritas utama. Sesuai dengan tren dua puluh lima tahun ke depan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan saling berkaitan, maka Gereja Kristen Protestan Angkola  juga harus mengantisipasi hal tersebut dengan menjawab pendekatan kajian yang dilakukan serba multi dimensi.


















BAB IX
POKOK-POKOK PROGRAM 2016-2021       


Pokok-pokok program 2016-2021 ini tercantum dalam Rencana Strategis GKPA 2016-2021 yang termaktub dalam buku tersendiri dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Visi Misi GKPA menuju 2041 ini.
Renstra ini akan disusun secara bertahap mulai dari tahap pertama hingga tahap kelima. Renstra ini merupakan penjabaran dari strategi tahap pertama (2016-2021) GKPA, yaitu “Peningatan Kapasitas dan Kapabilitas – KONSOLIDASI.” Berdasarkan strategi tersebut maka dilakukan analisis dan identifikasi persoalan-persoalan strategis yang dirasakan GKPA selama lima tahun terakhir.




















BAB X
PENUTUP
Demikianlah dokumen Visi Misi GKPA 2016-2041 dan Rencana Strategis 2016-2021 ini disusun demi memudahkan pemangku jabatan dan stake holder mencapai cita-cita mulia GKPA 25 tahun ke depan. Dokumen ini Visi Misi GKPA 2016-2041 ini merupakan sebuah panduan dan peta perjalanan (road map) pelayanan GKPA yang harus diwujudnyatakan oleh semua pihak di berbagai lini untuk mencapai tujuan bersama, yaitu Gereja yang Unggul Melayani dalam Kebersamaan.
Dokumen ini juga bukanlah sebuah harga mati melainkan sebuah petunjuk dan pengarah yang selalu mengalami dinamika seturut dengan perkembangan situasi dan kondisi pelayanan. Lebih jelasnya, dokumen visi misi ini lebih bersifat sebagai alat kepemimpinan dan manajerial yang bisa saja dalam pengimplementasiannya memerlukan kebijaksanaan serta penyesuaian-penyesuaian taktikal seturut dengan konteks dimensi waktu, tempat dan sumberdaya yang ada. Itu sebabnya diperlukan kemampuan dan kompetensi para pelayan dan pemangku jabatan di semua lini GKPA yang kuat dan tangguh serta unggul untuk mengimplementasikan program-program strategis GKPA dengan sungguh-sungguh.
Dengan selesainya dokumen visi misi GKPA ini akan membawa manfaat yang positif bagi pertumbuhan dan perkembangan GKPA yang signifikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Visi misi ini mampu menciptakan pola pelayanan yang kongkrit, yang sudah ditargetkan secara spesifik sehingga setiap pelayan dan warga jemaat memiliki arah tujuan yang jelas dan pasti. Disamping itu, melalui dokumen ini juga diharapkan menjadi landasan perencanan pelayanan yang unggul yang akan dikembangkan secara terus-menerus di semua lini pelayanan GKPA.
Semoga dokumen Visi Misi dan Renstra GKPA ini dapat menginspirasi setiap orang untuk memberikan pelayanan yang unggul dengan TEDUH dan bersahaja demi kemuliaan Allah dan membawa damai sejahtera bagi seluruh dunia.






PUSTAKA PENDUKUNG

A, Brown. & E, Weiner.         Future Think, Prentice Hall, New Jerse, 2006.
Franklin, Daniel & Andrews, John. Megachange The World In 2050, London: The Economist, 2012.
Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences, Grand Rapids: Baker, 1995.
Gultom, Ibrahim                     Agama Malim di Tanah Batak, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Hendriks, Jan.                         Jemaat Vital dan Menarik, Yogyakarta:Kanisius, 2002.
Hutauruk, J.R.                         “Makna Sejarah Gereja masa kini: Suatu analisa historis tentang sejarah kekristenan di luat Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed.), Bunga Rampai:Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola, Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2011.
Kessel, Rob Van.                    Enam Tempayan Air  Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat, Yogyakarta:Kanisius, 1997.
L, Brigitta Isworo.                  Merekayasa Atmosfer hingga Politik Global, Harian Kompas Rabu 22 April 2009.
Marpaung, Adolv Bastian.      Jiwa Kerukunan Masyarakat Sipirok, L-SAPA STT HKBP: Pematangsiantar, 2010.
Marpaung, Sabam Parulian.    Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok-Angkola, Sipirok: Panitia Pesta Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991.
P. Yun & Hattaway,               The Heavenly Man (Manusia Surgawi), alih bahasa: N. Willem Tode, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2006.
Rajadhyaksha, Niranjan.         The Rise of India, alih bahasa Natalia Ruth Sihandrini, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008.
Rodgers, Susan.                      “A Modern Batak Horja: Innovation In Sipirok Adat Cermoinial”, dalam http:// ethnomucicscape.de/ Batak%20horja.pdf.,
Siregar, J.U.                            Dari Gereja Zending ke GKPA, Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1999.
Siregar, Parningotan.               Alkot Aek Alkotan Do Mudar”, bahan makalah Seminar Sehari GKPA,  tt. Di Kantor Pusat GKPA.
Situmeang, Doangsa P.L.       Sistem Kekerabatan Masyarakat BatakToba, Jakarta: Jambatan, 2003.
Stott, John.                              Isu-Isu Global, Menantang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2005. Wahid, KH Abdurahman. Ilusi Negara Islam, The Wahid Institute, Jakarta, 2010.







LAMPIRAN







[1] Kata Pernyataan berarti sebuah maklumat GKPA yang harus dimaknai secara bersama-sama.
[2] Misionaris yang pertama, seperti: Gerrit van Asselt [Ermelo (1857)], Dammerboer, van Dalen, Betz, Koster [Ermelo (1858)], Heine, Klammer [RMG (1861)] dan I.L.Nommensen [RMG (1862)].
[3] Lih. J.R.Hutauruk, “Makna Sejarah Gereja masa kini: Suatu analisa historis tentang sejarah kekristenan di luat Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed.), Bunga Rampai:Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 2011, hl.26.
[4] Tanggal itulah yang kemudian dijadikan "hari-jadi" Gereja Mennonit di Mandailing. Gereja Mennonit Mandailing ini akhirnya bergabung dengan GKPA pada 26 Maret 1976.
[5] Lih. J.R.Hutauruk, “Makna Sejarah ..., hl.27.
[6] Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 1999, hl. 177.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hl.178.
[9] Ibid., hl.179.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hl. 185.
[12] Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja ... hl. 186.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hl. 187.
[15] Tragedi Padangsidimpuan adalah suatu peristiwa penolakan pendeta Angkola (Pdt.Z.S.Harahap) yang ditugaskan di HKBP Resort Padangsidimpuan oleh sekelompok orang yang tidak suka dengan gerakan panjaeon HKBP-A.
[16] Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja ... hl. 187.
[17] Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja ... hl. 203.
[18]Bnd. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa …, hl. 91-105.
[19] Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)., hl. 59. Peristiwa buruk dimaksud khususnya perlakuan kawin incest yang sudah kerap terjadi dikalangan masyarakat Batak.
[20] Doangsa P.L.Situmeang, Sistem Kekerabatan Masyarakat BatakToba, (Jakarta: Jambatan, 2003), hl. 1.
[21]Lih.https://margasiregar.wordpress.com/budaya/
[22]Sabam Parulian Marpaung, Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok-Angkola, (Sipirok: Panitia Pesta Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991)., hl. 40.
[23]Ibid., hl. 40.
[24]Lih. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa Kerukunan Masyarakat Sipirok, (L-SAPA STT HKBP: Pematangsiantar, 2010), hl.25-26.
[25] Ibid.,hl.105-110.
[26] Susan Rodgers, “A Modern Batak Horja: Innovation In Sipirok Adat Cermoinial”, dalam http:// ethnomucicscape.de/Batak%20horja.pdf., hlm. 110. Diakses tgl. 19 Januari 2009.., hl. 115.
[27]Bnd. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa …, hl.123-124.
[28]Parningotan Siregar Gelar Baginda Hasudungan Siregar, ”Alkot Aek Alkotan Do Mudar”, bahan makalah Seminar Sehari GKPA,  tt. Di Kantor Pusat GKPA, hl. 1-3,5, 12, 15.
[29]Gambaran filosofi ini dilihat dari gerak langkah kaki kuda. Kaki belakang kuda akan menginjak jejak kaki depan kuda saat melompat.
[30] Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, (Yogyakarta:Kanisius, 2002), hl. 20.
[31] Jan Hendriks, Jemaat …, hl. 20.
[32]Jan Hendriks, Jemaat …, hl. 20.
[33]Ibid.
[34] Rob Van Kessel, Enam Tempayan Air  Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat, (Yogyakarta:Kanisius, 1997), hl. 1.
[35] Yang dimaksud dengan konteks adalah situasi sekarang yang ditentukan oleh banyak faktor, masa lalu, sekarang dan masa depan, termasuk faktor perubahan nilai dan segala kekaburan yang menjadi akibatnya.
[36] Jan Hendriks, Jemaat.., hl. 48-64.
[37] Ibid., hl. 92-93, 120-123.
[38] Jan Hendriks, Op. Cit..hl. 92-93, 120-123.
[39] Uraian secara rinci pertanyaan-pertanyaan indikator dari ketigapuluh enam variabel yang dinilai, tercantum dalam lampiran 3. Kuesioner Penyusunan Visi Misi Gereja Kristen Protestan Angkola.
[40] Secara lebih rinci hasil kompilasi beserta berbagai masukan dari pengisi dapat dilihat pada lampiran 4. Kompilasi Hasil Kuesioner.
[41]Secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 3.
[42]Sabam Parulian Marpaung, Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok-Angkola, (Sipirok: Panitia Pesta Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991)., hl. 40.
[43]Ibid., hl. 40.
[44]Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker, 1995).
[45] Secara lebih rinci hasil kompilasi TOWSAnalysisdapat dilihat pada lampiran5. Matriks Analisis TOWS:ESFAS & ISFAS.
[46] Secara lebih rinci hasil kompilasiTOWSAnalysisdapat dilihat pada lampiran 4. Kompilasi Hasil ESFAS & ISFAS.
[47]Lebih lanjut lihat: Niranjan Rajadhyaksha, 2008,  The Rise of India, alih bahasa Natalia Ruth Sihandrini, Elex Media Komputindo, Jakarta.
[48]Lebih lanjut lihat:Yun & Hattaway P., 2006, The Heavenly Man (Manusia Surgawi), alih bahasa: N. Willem Tode, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta.
[49]Survey dan prediksi Brown A. & Weiner E., 2006,dalam Future Think, Prentice Hall, New Jersey.
[50]Brigitta Isworo L, 2009, Merekayasa Atmosfer hingga Politik Global, Harian Kompas Rabu 22 April 2009 hl. 15, Jakarta.
[51] http://infoindonesia.wordpress.com/2008/04/17/mengisolir-krisis-pangan-dunia-larang-pengusaha-besar-dari-sektor-pangan/
[52] Daniel Franklin & John Andrews, 2012, Megachange The World In 2050 (London: The Economist), Page 6.
[53] Bisa dikembangkan juga dengan mengacu pada buku: John Stott, 2005, Isu-Isu Glonal, Menantang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta.
[54] Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragaman di Indonesia 2010, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Juga: KH Abdurahman Wahid, 2010, Ilusi Negara Islam, The Wahid Institute, Jakarta.
[55] Lina A. Alexandra dalam Shafiah F. Muhibat, Untuk Indonesia 2014-2019 Agenda Sosial Politik dan Keamanan (Jakarta: CSIS), halaman 95.
[56] Paralel dilakukan secara bersama-sama
[57] Amsal 2:11
[58]IICD, 2003, The 1st Batch Professional Director Program, Materi Pelatihan, Indonesian Institute for Corporate Directorship, Jakarta.IID, 2005, Director Professionalism, Materi Pelatihan, The Indonesian Institute of Directors, Jakarta.