VISI MISI
GEREJA KRISTEN
PROTESTAN ANGKOLA (GKPA)
TAHUN 2016 – 2041
Ringkasan Eksekutif
Pintu masuknya kekristenan di daerah Angkola-Mandailing
pada awalnya dimulai dengan berakhirnya perang Padri pada 1833. Sejak itu
Belanda menempatkan Mayor Eilers sebagai komandan pasukan yang berkedudukan di
Pakantan, Mandailing bersama Verhoeven, seorang tentara yang sekaligus pendeta
dan berhasil membaptiskan Ja
Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen sekitar tahun 1834. Namun, perkembangan kekristenan di daerah Mandailing tidak begitu
menggembirakan.
Selanjutnya, perkembangan kekristenan di Tanah Batak dimulai
lagi dengan kehadiran Gerrit van Asselt di Parausorat, Sipirok (Angkola) pada 1857. Dari “Luat (daerah) Angkola” Firman Allah disebarkan ke seluruh pelosok pulau
Sumatera dan
daerah ini menjadi daerah “Persemaian Firman Allah”. Kemudian sekitar 1940-an umat Kristen Angkola-Mandailing berkeinginan untuk berdiri sendiri
dalam satu Badan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Namun keinginan itu belum terwujud berhubungan karena menghadapi
banyak rintangan.
Gerakan kemandirian
ini baru menjadi kenyataan pada 26 Oktober 1975, HKBP memberikan mandat kemandirian untuk orang Kristen Angkola dalam
wadah Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A). Seturut dengan
perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi, HKBP-A mengalami skisma dan lahirlah Gereja Protestan Angkola (GPA) pada 1980-an. Skisma ini
diatasi dengan rekonsiliasi di antara HKBP-A dan GPA dengan mengubah nama
gereja menjadi GKPA pada 3 Juli 1988. GKPA berbentuk Badan Hukum yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat
kedudukan di Sipirok (1975) kemudian 1987 pindah ke Kota Padangsidimpuan,
Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Untuk dapat mengoptimalkan
tugas dan panggilannya sebagai lembaga yang menjalankan Missio Dei, GKPA menatap ke masa depan tanpa melupakan sejarahnya.
Untuk itu GKPA menyusun Visi Misi, Tata Nilai-nilai,
Strategi dan program-program
utamanya, sebagai penuntun menuju masa depan yang lebih jelas agar dapat memenuhi tuntutan
perubahan serta harapan-harapan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).
Setelah melalui
langkah-langkah studi dan analisis internal, eksternal serta meneropong
kecenderungan perubahan 25 tahun mendatang, di bawah terang Firman Tuhan, ditetapkanlah Visi GKPA
2016-2041 yaitu: “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan”( Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap
Sauduran –[“The Church who excellent
service in togetherness”]).
Sedangkan misi GKPA untuk
mencapai visi tersebut adalah: “Meningkatkan dan Mengembangkan
Kesaksian, Persekutuan, Pelayanan
dengan Semangat Pembaruan dan Kebersamaan”(“Padenggankon dohot
pahirbangkon hasaksian, parsaoran, pangkobasion di bagasan roha haimbaruon
dohot harentaon” – [“To increase and develop marturia, coinonia, deaconia with the spirit of reform/renew and
togetherness”]).
Di bawah tata nilai ideal dan inkremental yang berbasis
pada teologi dan tradisi GKPA, maka ditetapkan tata nilai operasional dalam rangka
membangun budaya kerja dan pelayanan GKPA, yaitu: TEDUH (Tangguh,
Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat).
Langkah-langkah kunci utama (strategi) Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dirumuskan secara
konkrit dalam rangka mencapai Visi
Tahun 2041. Dengan strategi utama ini GKPA
diharapkan mampu menyikapi berbagai
pengaruh dan perubahan eksternal yang semakin intensif, ekstensif dan cepat.
Strategi Utama GKPA menuju 2041 berpedoman pada lima tahap yang dilakukan secara menyeluruh, paralel dengan penekanan
atau fokus yang berkaitan, yaitu:
I.
2016-2021 – “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”-
KONSOLIDASI
II.
2021-2026 – “Penguatan Kebersamaan dan Kerukunan” – REFORMASI
III.
2026-2031 – “Pengembangan Semangat Inovatif” - INOVASI
IV.
2031-2036 – “Pembaruan
secara terpadu.” - OPTIMALISASI
V.
2036-2041 – “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI
Dalam penjabaran strategi tahap I (2016-2021) – KONSOLIDASI – sebagai
fondasi bagi langkah-langkah tahap
berikutnya, dijabarkan program-program prioritas yang merupakan
agenda implementasi berbasis pada isu-isu strategis yang harus segera dijawab.
KATA PENGANTAR
Gereja
Kristen Protestan Angkola sudah memiliki sejarah perjalanan yang sangat panjang
dalam menunaikan tugas dan panggilannya sebagai “rekan kerja” Allah di dunia
ini dalam menghadirkan kerajaan-Nya di Indonesia. Perjalanan ini akan terus berlanjut dan selalu
membutuhkan pimpinan-Nya. Di samping itu secara bersamaan, akal budi yang telah Tuhan
berikan, juga perlu dioptimalkan untuk menyusun perencanaan ke depan dengan
metode akademis dan praktis yang telah terbukti efektif.
Visi
Misi GKPA 2016-2041 dan Rencana Strategis 2016-2021 disusun dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan melalui kuesioner, focus group discussion (FGD),
in depth interview, studi dokumentasi, dan berbagai masukan aspirasi
pemangku kepentingan dapat teridentifikasi secara komprehensif. Dari berbagai
masukan tersebut Tim Visi Misi melakukan analisis dengan data-data yang menggambarkan
kondisi GKPA terkini.
Secara
bertahap tim Visi Misi telah melalui 13 (tiga belas) langkah dalam
menyusun dokumen ini, yaitu: (1) Menetapkan Tim
Penyusun Visi Misi GKPA Menuju 2041 dengan SK Pucuk Pimpinan GKPA, (2) Studi
dan kajian terhadap semua dokumen GKPA dan surat-surat Keputusan GKPA yang
berhubungan dengan visi misi dan strategi GKPA selama ini, (3) Penyusunan
instrument (kuesioner) pengukuran kinerja GKPA 5 tahun terakhir untuk
mengidentifikasi profil GKPA secara obyektif, (4) Penyebaran kuesioner kepada
semua stake holder GKPA untuk
mendapatkan gambaran obyektif tentang kondisi GKPA saat ini dan mendapatkan apa
harapan mereka terhadap GKPA di masa depan, (5) Focus group discussion (FGD) yang melibatkan pemangku kepentingan
inti GKPA (Pucuk Pimpinan, Majelis Pusat, Praeses, Pendeta Resort, Guru Jemaat (Parlagutan), Penginjil Perempuan (Parjamita
Ina), Bibelvrouw, Penatua (Sintua),
Pelaksana Harian Distrik,
Resort, Parlagutan, dan jemaat), untuk mengidentifikasi masukan dan harapan-harapan
mereka terhadap GKPA di masa depan, (6) Indepth interview yang melibatkan pemangku kepentingan luar GKPA
(tokoh-tokoh gereja, LSM, akademisi, donor, BKAG Tapsel dan Kota Padangsidimpuan, GAMKI Kota Padangsidimpuan, Perwakilan
Pemerintah dan FKUB
Tapsel dan Kota Padangsidimpuan),
untuk mengidentifikasi masukan dan harapan-harapan mereka terhadap GKPA di masa
depan, (7) Membuat analisis TOWS (Threats,
Opportunities, Weaknessess, Strength) GKPA, (8) Membuat analisis kecenderungan
eksternal global, nasional, dan regional 25 tahun ke depan, (9) Menetapkan
visi GKPA 2041 dan merumuskan misi GKPA untuk mewujudkan visi tersebut, (10) Mengidentifikasi isu-isu strategis dan merumuskan strategi
umum GKPA Menuju 2041, (11) Mempresentasikan visi, misi, isu-isu strategis dan strategi kepada pemangku
kepentingan inti GKPA untuk mendapatkan masukan-masukan akhir, (12) Menyusun
Garis-garis Besar Program GKPA 2016-2021 yang
berisi Pokok-pokok Program Tahunan yang merupakan Block Building untuk mencapai visi 2041, (13) Menyusun laporan final rencana strategis GKPA berdasarkan
koreksi dan masukan-masukan akhir.
Proses
kerja dimulai pada 17 Oktober 2012 yang targetnya
selesai di akhir 2013. Namun di perjalanan Tim Visi Misi mengalami berbagai hambatan
yang membuat penyelesaian pekerjaan akhirnya mundur sampai awal 2016. Ini
menunjukkan bahwa komitmen bersama untuk menyusun panduan perjalanan lembaga
GKPA ke masa depan tidak surut meskipun banyak hambatan yang harus dihadapi.
Sesudah
tersusunnya Visi Misi GKPA ini, langkah berikutnya adalah mewujudnyatakan
dengan konsisten. Untuk itu dibutuhkan 4
(empat) K, yaitu (1) Komitmen, (2) Kompetensi, (3) Koordinasi
dan (4) Keberanian dari semua
pemangku kepentingan GKPA.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua stake holder, instansi pemerintah dan swasta, para pemuka agama dan
lembaga-lembaga keumatan, pribadi-pribadi yang telah memberikan idea, pemikiran,
dan gagasan-gagasan dalam rangka penyelesaian rancangan visi misi GKPA ini. Juga terimakasih kepada Pucuk Pimpinan GKPA yang telah
mempercayakan
tim untuk menyusun visi misi GKPA. Secara khusus buat fasilitator bapak Drs.
Sigit Triyono,MM yang telah bersedia
memberikan pemikiran, tenaga, dan waktunya dalam membimbing dan mengarahkan
seluruh anggota tim untuk bisa menyelesaikan penyusunan visi misi GKPA.
Terakhir kepada semua anggota tim yang telah memberikan yang terbaik dalam
rangka menuntaskan penyusunan visi misi GKPA ini. Kiranya hasil yang telah
dicapai ini dapat menghantar “GKPA MENJADI GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM
KEBERSAMAAN”. Semoga Tuhan
memampukan kita!
Padangsidimpuan, Medio April
2016
Tim Penyusun Visi Misi GKPA 2016-2041
Pdt.Agus H.J.Sibarani,S.Th. (Ketua merangkap Anggota)
Ir.Surung Siregar,Dip.HE. (Wakil Ketua merangkap Anggota)
Pdt.Guswin P.Simbolon,S.Th. (Sekretaris merangkap
anggota)
Pdt.Rosanna Pasaribu,S.Th. (Bendahara merangkap
anggota)
Pdt.Saud A.Sigalingging,S.Th. (Anggota)
Pdt.Ramos B.B. Simanjuntak,S.Th. (Anggota)
Pdt.Josep P.Matondang,M.Th. (Anggota)
Pdt.Bernard Nainggolan,M.Th. (Anggota)
Pdt.Anton Pakpahan,S.Th. (Anggota)
Pdt.Ramli SN Harahap,M.Th. (Anggota)
Drs.Sigit Triyono,MM (Fasilitator)
KATA SAMBUTAN
Melalui pergumulan yang
panjang dan membutuhkan pikiran, waktu dan materi akhirnya visi misi GKPA untuk
25 tahun dan Rencana Strategi 2016-2021 ke depan rampung dikerjakan oleh
tim. Patut disampaikan terimakasih
kepada anggota tim visi misi, Praeses, Pendeta Resort, Guru Jemaat, Penatua dan
semua warga jemaat GKPA yang telah mendukung proses penyusunan Pernyataan[1] Visi Misi (PVM) ini.
Juga tidak lupa kami
sampaikan terimakasih kepada semua unsur yang terlibat sebagai sumber informasi
di dalam proses penyusunan visi misi ini, seperti: pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah
kota Padangsidimpun, dan kelompok keumatan (FKUB, GMKI, GAMKI, PWKI kota
Padangsidimpuan dan Tapanuli Selatan, dll), serta kepada Pimpinan Gereja
tetangga (HKBP, GKPI, HKI, GPKB, GMI, dan GKPS) yang telah memberikan masukan
sebagai bahan perbandingan buat tim.
Pernyataan visi misi
ini sangat besar kaitannya dengan tugas dan fungsi “majelis” jemaat sebagai perencana,
pelaksana dan pengevaluasi dari semua aktifitas warga jemaat di GKPA. Pernyataan
visi misi sangat besar pengaruhnya untuk
mendorong keefektifan fungsi kepemimpinan setiap anggota majelis jemaat.
Lebih jauh dari hal itu
kami menghimbau agar semua lapisan di GKPA memberi waktunya untuk membaca,
memahami, mendiskusikan semua isi dari visi misi ini. Kami sangat mengharapakan
kontribusi yang konstruktif agar dalam penyusunan strategi lima tahunan tahap
kedua, tahap ketiga dan seterusnya lebih baik lagi dan bisa mencapai sasaran
sebagai mana makna yang terkandung di dalam Visi GKPA 2016-2041, menjadi “GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI DALAM
KEBERSAMAAN” (The Church who
Excellent Service in Togetherness).
Dan Misinya, “MENINGKATKAN DAN
MENGEMBANGKAN KESAKSIAN, PERSEKUTUAN, PELAYANAN DENGAN SEMANGAT PEMBARUAN DAN
KEBERSAMAAN” (To increase and Develop
Marturia, Coinonia, Deaconia, with Spirit of Reform/renew and togetherness).
Kiranya Tuhan menolong
kita!!!
Padangsidimpuan, April
2016
Pucuk Pimpinan GKPA,
Pdt.Adolv Bastian Marpaung,M.Min,M.Th.
Ephorus
Daftar Isi
Ringkasan
Eksekutif 1
Kata
Pengantar 3
Kata Sambutan 5
Daftar
Isi 6
Daftar
Tabel 8
Daftar
Grafik 9
Daftar
Diagram 10
Daftar
Matrix 11
Daftar
Foto 12
BAB I: PENDAHULUAN 13
1. Perjalanan Gereja Kristen Protestan Angkola 13
2. GKPA Menuju Masa Depan 23
3.
Kekuatan & Keunikan 24
4.
Konteks Masyarakat Angkola 25
5.
Dasar Teologis GKPA 30
BAB II: GAMBARAN UMUM GEREJA
KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA 53
1.
Gambaran
Kinerja GKPA Tahun 20011-2015 53
2. Harapan-harapan Pemangku
KepentinganTerhadap GKPA 56
BAB III: TATA NILAI GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA 58
1. Tata Nilai Ideal 59
2. Tata Nilai Inkremental 59
3.
Tata
Nilai Operasional 61
BAB IV:
ANALISIS STRATEGIS TOWS – ESFAS &
ISFAS 62
BAB V: TREN PERUBAHAN 25 TAHUN MENDATANG 65
1.
Tren Perubahan Global Dan Internasional 25 Tahun Mendatang 65
2.
Tren Perubahan Nasional 25 Tahun Mendatang 68
3.
Tren Kehidupan
Umat Beragama Secara Nasional 25
Tahun Mendatang 71
BAB VI: SEMBILAN SKENARIO GEREJA
KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA DI MASA MENDATANG 75
BAB VII: ISU STRATEGIS &HARAPAN PEMANGKU KEPENTINGAN 79
BAB VIII: VISI, MISI,
NILAI-NILAI & STRATEGI UTAMA GEREJA KRISTEN 81 PROTESTAN ANGKOLA
1. VISI
81
2. MISI 81
3. STRATEGI
UTAMA 82
BAB IX : POKOK-POKOK
PROGRAM 2016-2021 89
BAB X: PENUTUP 90
PUSTAKA PENDUKUNG 91
L A M P I R A N:
1.
SK TIM
VISI MISI GKPA
93
2.
KERANGKA
ACUAN PENYUSUNAN VISI MISI GKPA 94
3.
FORMAT
KUESIONER
95-106
4.
TABEL KUESIONER 107-111
5.
HASIL
FGD 112-117
6.
HASIL
IN DEPT INTERVIEW 118-147
Daftar Tabel
Tabel 1. Uraian
Faktor dan Variabel 53
Tabel 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja GKPA 54
Daftar Grafik
Grafik 1. Pertumbuhan Jumlah Anggota Jemaat GKPA 1975-2015 21
Grafik 2. Kompilasi Hasil
Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola 55
Daftar Diagram
Diagram 1. Kompilasi TOWS Analysis GKPA: ESFAS & ISFAS GKPA 63
Diagram 2. Kompilasi TOWS Analysis GKPA: Faktor Eksternal & Internal 63
Diagram3. Skenario Masa
Depan GKPA 75
Diagram 4. Strategi Utama GKPA Menuju Tahun 2041 82
Daftar Matiks
Matriks 1.Internal Strategies Factors Analysis Summary (ISFAS) 62
Matriks 2.External Strategies Factors Analysis Summary (ESFAS) 62
Daftar Foto
Foto 1. Uraian
Faktor dan Variabel 53
Foto 2. Kompilasi Hasil Penilaian Kinerja GKPA 54
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Perjalanan Gereja Kristen Protestan
Angkola (GKPA)
1.1.
Gambaran Umum
Titik pijak wilayah GKPA ini pada awalnya berada dalam
wilayah Tapanuli Selatan (Angkola-Mandailing). Namun sekarang, wilayah Tapanuli
Selatan ini telah mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota
Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing-Natal, Kabupaten Padanglawas Utara, dan
Kabupaten Padanglawas Selatan.
Masuknya kekristenan di wilayah ini dimulai dari Pakantan
(Mandailing) pada 1834 oleh Verhoeven dan telah membaptiskan orang Batak
Mandailing Kristen pertama, yaitu: Ja
Mandatar Lubis dan Kalirancak Lubis. Misi ini
tidak begitu berkembang karena pengaruh perang Padri.
Selanjutnya, di daerah Angkola misionaris Gerrit van Asselt
telah tiba di Parausorat, Sipirok untuk memberitakan Injil pada 1857. Melalui
hasil penginjilan ini Gerrit van Asselt membaptiskan Simon Siregar dan Jakobus
Tampubolon. Karenanya, Parausoratlah menjadi titik awal pekabaran Injil di
tanah Batak dan penyebaran Firman Allah ke bagian Utara pulau Sumatera
khususnya Tapanuli. Para misionaris[2] yang tiba
di tanah Batak memulai tugas penginjilannya dari Parusorat. Nommensen sendiri
memulai tugas pelayanannya dari Parausorat. Namun karena penginjilannya kurang
berhasil, maka beliau mengembangkan penginjilannya ke tanah Batak pedalaman,
yakni Tapanuli bagian Utara.
1.2.
Masuknya Injil Ke Tanah Angkola dan
Mandailing
Masuknya Injil ke tanah
Batak Angkola-Mandailing pada mulanya dibawa seorang pendeta tentara Belanda
yang bernama Verhoeven pada 1834 yang berkedudukan di Pakantan.
Selanjutnya pelaksanaan
penginjilan ini dilakukan oleh lembaga-lembaga zending. Lembaga-lembaga zending
yang masuk ke daerah Batak Angkola-Mandailing ada banyak. Pertama, American Board of Commissioners
for Foreign Missions (ABCMF)
yang mengutus Pdt. Ellys pada 1834. Kedua, jemaat Ermelo dari kota Ermelo,
Belanda. Utusan pertamanya ialah penginjil Gerrit van Asselt (1857).
Ketiga, zending Rhein Jerman “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG)
pada 1859 dengan penginjilnya C.J.Klammer. Keempat,
zending Belanda “Java Comitte”
pada 1864 yang membantu pelayanan jemaat Ermelo di bidang tenaga dan dana. Kelima, Doopagezinde Zending Vereeniging
(DZV) yang berkantor pusat di
Amsterdam.[3]
Tenaga misionaris yang datang dari lembaga ini adalah H. Dirks, N. Wiebe, G. Nikkei, D.
Dirks
dan J. Thiessen. H.Dirks adalah misionaris pertama yang diutus
DZV ke Pakantan pada 26 Januari 1871.[4]
Zending
ini dikenal sebagai Mennonit-Anabaptist dari Belanda pada 1871 yang melakukan
penginjilan ke kawasan Angkola-Jae dan Mandailing.
Keberagaman badan zending
ini membawa keunikan tersendiri bagi GKPA hingga kini karena membawa tradisi
ajaran yang berbeda misalnya di bidang pemahaman akan arti baptisan sebagai
satu ajaran hakiki dalam kehidupan orang Kristen. Tiga lembaga zending
mengajarkan baptisan anak-anak, sedang zending Mennonit mengajarkan baptisan
orang dewasa, masing-masing dengan landasan dogma yang telah mengakar di dunia
kekristenan di Barat sejak munculnya reformasi oleh Marthin Luther.[5] Keberagaman
lembaga zending ini akan menjadi peluang bagi GKPA untuk membangun kembali
kerjasama dengan para lembaga zending itu ke masa depan.
Para misionaris yang
telah bekerja di kedua daerah ini (Angkola-Mandailing), telah berhasil
membaptiskan orang Batak menjadi Kristen. Pendeta Verhoeven pada 1834 telah membaptis Ja Mandatar
Lubis dan Kalirancak Lubis menjadi Kristen. Gerrit van Asselt membaptis dua orang pada hari raya
paskah 31 Maret 1861, yakni Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus,
bersama-sama dengan Main Tampubolon yang diberi nama Jakobus di Parausorat,
Sipirok. Simon Petrus adalah putra raja pamusuk (raja-kampung), Sutan Doli,
dari Bungabondar, sementara Jakobus adalah seorang anak rantau asal Barus
yang dibeli oleh van Asselt di salah satu pasar kemudian dijadikan pelayan
pembantu van Asselt.
Dari fakta ini, sudah
saatnya GKPA menetapkan hari kelahirannya sejak pembaptisan pertama pada 1834
(Pakantan-Mandailing) dan pada 31 Maret 1861 (Parausorat-Sipirok) serta hari
kemandiriannya pada 26 Oktober 1975. Hal ini telah kita tetapkan dalam syair
Mars GKPA bahwa GKPA-lah gereja yang sulung dahulu ditempa di Tanah Batak. Dari
Tanah Angkola-lah penyebaran Injil dilakukan ke tanah Batak Utara, dan tanah
Batak lainnya.
1.3.
Embrio
Kemandirian Gereja di Angkola
Gerakan kemandirian Gereja di Tanah Angkola-Mandailing
sebenarnya dimulai pada 1940-an. Namun aspirasi masyarakat Kristen Angkola dan
Mandailing akan suatu gereja sendiri yang manjae
(mandiri) belum tercapai, karena pecahnya Perang Dunia II dan HKBP sendiri masih
belum bersedia memberikan panjaeon kepada
HKBP-A.
1.4.
Alasan Kemandirian
Ada beberapa alasan dan tujuan berdirinya GKPA,
yakni:
Pertama, karena
alasan mempertahankan nilai-nilai sejarah. Kekristenan
masuk ke tanah Batak dimulai dari daerah Angkola-Mandailing.
Kedua,
alasan bahasa dan budaya. GKPA berada di daerah
Angkola-Mandailing dan berbudaya Angkola-Mandailing yang berbeda dari bahasa
dan budaya Toba yang tinggal di daerah Utara Tapanuli. Sering HKBP mengutus
pendeta ke daerah Angkola yang tidak mengerti bahasa dan budaya Angkola
sehingga orang Kristen Angkola-Mandailing merasa tidak nyaman dengan keadaan
itu.
Ketiga,
alasan semangat patanakhon Hata ni
Debata tu Luat Angkola (memberitakan
Firman Tuhan dengan sungguh-sungguh ke daerah Angkola-Mandailing). Alasan ini
yang sangat kuat dalam gerakan kemandirian GKPA. Pelayanan gereja di daerah Angkola
dirasakan kurang begitu diperhatikan oleh HKBP pada saat itu. Karena itu,
orang-orang Angkola berkeinginan mandiri dalam pelayanan yang prima dan baik
kepada orang Angkola oleh orang-orang Angkola dan yang terbeban untuk itu.
Keempat,
karena pengalaman pahit. Hanya
sedikit orang Angkola-Mandailing yang diberi kesempatan studi di lembaga
teologi. Bahkan penerimaan menjadi mahasiswa teologi di lembaga teologi
dihambat karena berasal dari Angkola-Mandailing. Pengalaman pahit ini
menjadikan semangat untuk menjadi sebuah gereja
yang mandiri.
Kelima,
karena mundurnya pelayanan. Pelayanan
kerohanian di daerah Angkola-Mandailing semakin tahun semakin menurun
kualitasnya. Sejalan dengan kemunduran
pelayanan di bidang kerohanian ini maka banyak di antara jemaat berada dalam
kondisi yang semakin lemah dan akhirnya terpaksa ditutup. Contoh jemaat-jemaat
yang tertutup di daerah Angkola yaitu: Pargarutan, Lobu Hatongga, Simapil-apil dan Simatorkis. Untuk
meningkatkan mutu pelayanan ini, maka gerakan kemandirian Gereja semakin
menguat di kalangan orang Kristen Angkola-Mandailing.
1.5.
Kemandirian
(Panjaeon) HKBP-Angkola
Setelah gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing
mengalami kegagalan pada 1940-an, maka pada 1970-an, keinginan dan kerinduan
kemandirian ini bangkit kembali. Gerakan kemandirian gereja di daerah Angkola-Mandailing
ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.5.1.
Daerah
Angkola adalah daerah persemaian Allah yang pertama di Tanah Batak.
Hal ini terlihat dalam mukadimah Tata Gereja HKBP-A (1975), yang mengatakan
bahwa orang-orang Kristen Angkola dan Mandailing memahami luat Angkola dan
Mandailing menjadi daerah
"persemaiam Firman Allah", sejak 1834 oleh
Verhoeven di Mandailing, dan 1856 oleh Zending Ermelo di Lumut serta 1857 oleh
van Asselt di Sipirok.[6]
Dari mukadimah itu terlihat bahwa
kelompok Kristen Angkola-Mandailing menyadari telah tiba saatnya untuk
menata-layani sendiri pekabaran Injil di kalangannya dan untuk itu perlu
diwujudkan suatu struktur dan organisasi dalam bentuk gereja yang mandiri.[7]
1.5.2.
Daerah
Angkola merupakan ujung tombak penginjilan dan perkembangan kekristenan.
Tapanuli Selatan menjadi ujung tombak dalam penginjilan dan perkembangan
kekristenan di seluruh Tanah Batak dan yang seterusnya meluas ke utara sampai
ke Sumatera Utara.[8]
Hal ini perlu dilanjutkan dengan memandirikan Gereja Angkola untuk meneruskan
semangat penginjilan ini di Tanah Batak Angkola-Mandailing.
1.5.3.
Keadaan
dan situasi usaha zending yang memprihatinkan.
Gerakan kemandirian ini juga didorong oleh karena keadaan dan situasi usaha
zending yang memprihatinkan, sehingga membangkitkan gerakan reaksi di kalangan
tokoh-tokoh Kristen Angkola dan Mandailing. Mereka semakin sadar akan tugas
panggilannya mewujudkan dan membenahi gerejanya sendiri demi peningkatan
misinya. Mereka berhasrat memegang peranan lebih banyak dalam menatalayani
Gereja.[9]
1.5.4.
Kebangkitan
semangat Nasionalisme. Faktor lain yang
mendorong usaha kemandirian HKBP-A adalah “gerakan kebangkitan Nasional”
yang juga meresapi tokoh-tokoh Angkola-Mandailing sejak 1910-an. Semangat dan
kesadaran ini mendorong mereka percaya pada potensi pribumi untuk menatalayani
gerejanya, sekaligus menampilkan sosok gereja yang lebih bercorak kepribadian,
budaya dan daerah sendiri.[10]
Dengan didasari beberapa faktor kemandirian di atas, maka
umat Kristen Angkola-Mandailing mulai membentuk organisasi-organisasi kemandirian
gereja. Organisasi-organisasi inilah kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya
HKBP-A, seperti:
Selama kurun waktu 33 tahun
(1941-1974) menanti perwujudan HKBP-A
yang mandiri, semangat dan hasrat mandiri (manjae)
senantiasa berkobar, tak padam-padam, yang kemudian terungkap dalam berbagai
bentuk. Masyarakat Kristen Angkola-Mandailing di mana saja, khususnya yang
diperantauan selalu rindu akan persekutuan dalam lingkungan sendiri yang
bersifat khas etnis Angkola-Mandailing, yang mempergunakan bahasa daerahnya dalam
kebaktian serta mempergunakan "Buku Ende Angkola" dan Perjanjian Baru
bahasa Angkola, yang akrab baginya. Dirasakan melalui pertemuan ataupun partangiangan (persekutuan doa) semacam
itu, banyak nilai-nilai positif dan berharga yang dapat diperoleh dan
dikembangkan demi tercapainya cita-cita panjaeon
HKBP-A.
Karena kerinduan yang mendalam itu,
muncul dan tumbuhlah persekutuan-persekutuan Kristen Angkola-Mandailing di Medan Barat pada 1963 yang
dinamai “Sauduran Kristen Angkola" (SKA),
disusul kemudian tahun berikutnya dengan Marsiurupan Kristen Angkola" (MKA) di Medan Timur dan Satahi pada 1967 di Simpang Limun Medan.
Badan-badan itu mengadakan persekutuan doa dalam bahasa Angkola, dan kegiatan-kegiatan
memupuk rasa persaudaraan etnis, melalui tradisi dan adat daerahnya jika ada siriaon dan siluluton serta mengadakan usaha sosial yang hasilnya diperuntukkan
membantu jemaat-jemaat di Bonabulu (kampung
halaman). Eksistensi kumpulan-kumpulan itu semakin meluas dan frekwensi
kegiatan-kegiatannya semakin ditingkatkan pula. Akhirnya setiap kumpulan itu mengadakan
ibadahnya secara rutin setiap Minggu sore. Kegiatan diluaskan pula dengan
pengumpulan buku-buku dan terbitan gereja lainnya yang sudah langka untuk
diperbanyak (dicetak-ulang) dan dibagikan di kalangan sendiri, baik yang
dirantau maupun yang di kampung halaman (Bonabulu).
Langkah maju berikutnya ialah pembentukan HKA (Hasadaon Kristen Angkola) pada
19 Juli 1967. Hasadaon
(kesatuan) ini adalah badan penggabungan atau pengayoman dalam bidang
kerohanian dari perkumpulan-perkumpulan: Sauduran,
MKA dan Satahi di atas tadi. Ketiga
badan itu tetap berjalan sebagai perkumpulan sosial antar anggotanya, tetapi
kegiatan bidang rohani telah disatukan penyelenggaraannya dalam HKA - Huria
Kristen Angkola. HKA inilah yang kemudian menjadi salah satu bakal jemaat dari
HKBP-A di Medan.
Prihatin atas proses kemunduran kerohanian
yang dialami jemaat Angkola-Mandailing di daerah Tapanuli Selatan, maka masyarakat
Kristen Tapanuli Selatan di Jakarta pada September 1969
membentuk wadah persatuan yaitu "Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan"
(HKA-TS). Nama semula ialah 'Hasadaon ruas HKBP na ro sian Distrik
I" (Tapanuli Selatan). Hasadaon
ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, mempersatukan warga gereja asal Distrik HKBP-Angkola
dan Mandailing dalam satu wadah persekutuan, yang menyelenggarakan "sermon" setiap sabtu sore.
Kedua, menjadi sarana pengumpulan dana bagi kepentingan jemaat-jemaat di Bonabulu antara lain memberi "si palas ni roha" (ucapan
syukur) bagi pelayan-pelayan gerejawi di Bonabulu,
pemberian beasiswa dan menanggung biaya cetak ulang dari Perjanjian Baru yang
diringkaskan dalam bahasa Angkola karya Schutz.
Perkumpulan HKA Padangsidimpuan ini
merupakan perkumpulan ketiga (sesudah Medan, Jakarta). Pembentukan perkumpulan
ini pada 7 April
1974, merupakan suatu
tindakan keterpaksaan yang harus ditempuh sebagai tindak lanjut "tragedi
Padangsidimpuan"[15].
Menindaklanjuti tragedi Padangsidimpuan dilaksanakanlah berbagai pertemuan yang
mengarahkan masyarakat Kristen Angkola
dan Mandailing untuk mewujudkan HKBP-A yang berdiri sendiri.
Langkah selanjutnya adalah terbentuknya
Badan Persiapan Panjeon (BPP) HKBP-A pada 4 Mei 1973 di Medan yang diketuai
oleh St. Baginda Hasibuan dan anggota-anggotanya
terdiri dari wakil-wakil jemaat di Bonabulu, Medan dan Jakarta. Badan inilah
selanjutnya yang mengkoordinir dan mengarahkan perjuangan hingga berdirinya
HKBP-A.
Pada 26 Okotber 1975 HKBP
memberikan kemandirian bagi Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A)
dengan menetapkan Pdt. Melanchton Pakpahan sebagai Ephorus, Pdt. Zending
Sohataon Harahap sebagai Sekretaris Jenderal, St. Baginda Galangan Siregar sebagai
Sekretaris, dan St. Mara Sinaga sebagai Bendahara. HKBP memberikan kemandirian
ini berdasarkan Rapat Parhalado Pusat HKBP pada 15-17 Oktober 1975 di Parapat
yang memutuskan,
(1)
Memberikan
"panjaeon de Facto" kepada
Gereja HKBP-A, berlaku terhitung mulai 17 Oktober
1975.
(2)
Panjaeon de Jure akan diberikan pada Sinode Godang HKBP 1976
pada 1 Agustus 1976 di Pematangsiantar.
Penyerahan Panjaeon de Facto HKBP-A resmi
dilangsungkan pada 26 Oktober 1975 di Bungabondar, sebagai acara awal dari
Pesta Peresmian Panjaeon de Jure
HKBP-A. Naskah Panjaeon ini
ditandatangani Ephorus HKBP Ds. G. Siahaan, Sekretaris Jenderal Prof. Dr. F.H.
Sianipar dan dari pihak HKBP-A, kedua Pimpinan HKBP-A dan Ketua Umum BPP-HKBP-A, St.Baginda
Hasibuan serta Sekretaris Umum BPP-HKBP-A,
St.Arif Hasibuan.
1.7.
HKBP-A/GKPA - Pasca Mandiri (Manjae)
Dalam menjalani masa-masa
kemandiriannya, GKPA mengalami dinamika organisasi yang banyak.
1.7.1. Masa kesukaran
Tahun-tahun pertama
HKBP-A manjae, dinyatakan Ephorus
Pdt. M. Pakapahan dalam laporannya kepada Sinode Am kedua (pertama sesudah Panjaeon
de Jure) yang diselenggarakan di Padangsidempuan pada 30 Oktober - 1 Nopember
1976, sebagai masa hamaolon (kesukaran),
keprihatinan dan kekecewaan yang dinyatakan oleh beliau dengan mengatakan:
"Niambang
hian do muda dung "manjae" hita, na angkon aman dan tenteram ma
pardalanan ni HKBP-A. Hape apala suhar-suhar ni i do na masa, angka na
nihadapan, angka na tangkas maralo tu ngolu partondion ni ha-Kristenon. Gabe
rundut ma pangkilalaan, kacau-balau pamikirion. Betak beha dung "de Jure"
ma sanoli on dapot keamanan i, na parohon hadameon dohot ketenangan bekerja,
ninna roha laho pasabamsabam pangkilalan. Hape dung "de Jure"pe,
laing nada dapot na niharapkon i, mur nangkok na gariada, ibarat ni dalan
siboluson". (Saya kira setelah kita
“mandiri”, maka perjalanan kehidupan HKBP-A akan aman dan tentram. Ternyata
yang terjadi adalah sebaliknya, yang dihadapi adalah hal-hal yang bertentangan
dengan kehidupan rohani Kekristenan. Semakin runyam perasaan, kacau-balau
pemikiran. Mungkin setelah “de Jure” nanti ketentraman (terjadi situasi yang damai
antara HKBP dengan HKBP-A) akan dirasakan, yang mendatangkan kenyamanan bekerja.
Itulah yang terbertik dalam hati sanubari untuk menentramkan jiwa. Ternyata
setelah “de Jure” pun, tidak didapatkan apa yang dirindukan, malahan semakin
tambah persoalannya, bagaikan jalan terjal yang harus ditempuh).[17]
Keluhan Pucuk Pimpinan
HKBP-A itu cukup beralasan, karena memang HKBP-A pada waktu itu dihadapkan pada
berbagai kendala dan rintangan yang menuntut banyak waktu, energi, kesabaran
dan daya-upaya untuk mengatasinya. Semua itu adalah akibat dan ekses dari cara
pemberian panjaeon yang kurang
memenuhi aspirasi masyarakat Kristen Angkola–Mandailing.
1.7.2. Kesulitan
Dana
Dalam penyerahan
kemandirian HKBP-A, HKBP hanya memberikan 22 gereja kecil di pedesaan dan 9
orang pendeta tanpa memberikan fasilitas Kantor Pusat. Hal ini mengakibatkan
HKBP-A banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi pembiayaan operasional,
seperti: penggajian para pendeta dan karyawan Kantor Pusat, sarana transportasi,
gedung kantor pusat, dan alat-alat tulis kantor. Sehingga, pada awalnya Kantor
Pusat HKBP-A masih berkantor di Jl.Sipirok No.14 di salah satu rumah seorang
jemaat, St.M.Sinaga.
1.7.3. Persoalan pemakaian bersama
gedung gereja
Kemandirian HKBP-A
sudah tentu menimbulkan persoalan pelik menyangkut pemakaian dan pemilikan
gedung gereja yang pada asalnya adalah "milik bersama". Memang dalam
Naskah Panjaeon ditetapkan bahwa "gedung gereja
HKBP serta perlengkapannya dapat dipakai bersama, berdasarkan musyawarah dan
mufakat". Namun, mufakat atas pengaturan di banyak gereja
sering tidak tercapai, sehingga antar jemaat terjadi pro dan kontra yang
menimbulkan situasi ''tegang" dan "berseteru" yang
berlarut-larut, tanpa tercapai penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.
Masing-masing pihak mengklaim diri sebagai pemilik yang sah. Bahkan persoalan
kepemilikan gereja ini harus diselesaikan di depan hukum. Akhirnya, tidak
satupun gedung gereja HKBP yang berseteru dengan HKBP-A diserahkan menjadi milik
HKBP-A. Padahal, orang Kristen Angkola-Mandailinglah yang membangun gedung
gereja itu. Akibatnya jemaat Kristen Angkola-Mandailing yang tergabung dalam
HKBP-A, harus membangun gedung gerejanya sendiri lagi.
1.7.4. Kesukaran
yang disebabkan
faktor internal
Kesukaran ini terjadi
karena aturan-aturan Gereja yang belum ada ataupun belum cukup tersedia
sehingga timbul berbagai kesulitan internal dan konflik. Memang HKBP-A memasuki
era panjaeonnya hanya memiliki AD dan PRT 1975, yang disusun secara
terburu-buru, tidak atau kurang professional dan dalam waktu sangat singkat.
Keruwetan itu bertambah parah dengan penafsiran dan tanggapan yang
berbeda-beda, malahan sering bertolak-belakang yang satu dengan yang lain.
Semua itu menimbulkan persepsi dan tindakan yang berbeda-beda pula, malahan
kerap saling bertentangan dan dualistis.
Dalam masa kesukaran internal ini HKBP-A pernah
mengalami dinamika management dan kepemimpinan pada periode tahun 1982-1988
yang mengakibatkan perpecahan internal. Akibat perpecahan ini maka muncullah
Gereja Protestan Angkola (GPA).
1.7.5.
Masa
Konsolidasi
Untuk
mengatasi persoalan di atas, maka Sinode Am ke-II/1976
(pertama sesudah panjaeon
de Jure) ditetapkan sebagai periode 5 tahun pertama, 1976-1981 sebagai periode "konsolidasi".
Direncanakan sepanjang
periode ini, seluruh perhatian dan daya-upaya dikerahkan dan dipusatkan pada
penataan dan pemantapan organ-organ dan alat kelengkapan HKBP-A, termasuk
sumber daya manusianya. Demikian diharapkan pada periode 5 tahun berikutnya
dapat dilakukan usaha-usaha dan program pembangunan, pengembangan dan
pertumbuhan menuju perwujudan gereja yang dewasa dan missioner. Berbagai hamaolon (kesukaran) internal maupun
eksternal yang diuraikan di atas menjadi kendala utama tidak tercapainya
program konsolidasi dimaksud. Tahun-tahun pertama periode 5 tahun kedua,
1981-1986 masih dimanfaatkan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan konsolidasi.
Tidak tersedianya dana yang cukup memadai, merupakan faktor penghambat tidak
terealisirnya konsolidasi dimaksud tepat pada waktunya. Demikian program
pembangunan, pengembangan dan pertumbuhan praktis baru dapat ditangani dan dilakukan
mulai periode 5 tahun ketiga: 1986-1991.
Pada masa konsolidasi ini perpecahan internal antara
HKBP-A dengan GPA dapat diselesaikan dengan semangat kebersamaan dan pendekatan
kekeluargaan maka terjadilah penyatuan kembali antara HKBP-A dengan GPA dengan
sebuah nama Gereja baru, yakni: GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA) dalam Sinode
Am VIII pada 3 Juli 1988 di Kantor Pusat GKPA Padangsidimpuan.
1.8.
GKPA Sekarang
Berdasarkan hasil
kuestioner, in depth interview, focus
group discussion (FGD), wawancara kepada stake holder dan berbagai kalangan, studi dokumen gereja GKPA,
maka keadaan GKPA saat ini berada pada pelayanan
yang “tidak maju dan tidak mundur”, dan pelayanan para pelayan GKPA yang perlu
ditingkatkan kualitasnya,
dan pelayanan GKPA yang masih berorientasi ke dalam. Hal ini dapat kita lihat
dari beberapa indikator di bawah ini:
1.8.1. Angka Pertumbuhan
Pertumbuhan pesat GKPA
dapat dijelaskandengan angka-angka sebagai berikut:
Grafik
1. Pertumbuhan GKPATahun 1975-2015
Angka-angka di atas
menunjukkan jelas bahwa selama 20 tahun 1975-1995, jumlah jemaat GKPA telah
berkembang dan bertumbuh 700%, berarti peningkatan 35,4 % per tahun. Bagi
jumlah anggota, angka pertumbuhan itu adalah 270% atau rata-rata 13.5% per
tahun. Menyangkut rumah Ressort terdapat pertumbuhan dari 1 rumah pada 1975
meningkat menjadi 21 rumah pada 1995 ataupun pertumbuhan rata-rata 21 % per
tahun. Pada umumnya rumah-rumah tersebut dibangun atas biaya Ressort
bersangkutan dengan bantuan insentif dari Kantor Pusat yang jumlahnya sangat
terbatas. Hal tersebut menunjukkan betapa besar dan tingginya semangat gotong-royong,
kemandirian dan swa-daya warga gereja GKPA. Padahal, HKBP-A mengalami kesulitan
baik internal maupun eksternal.
Pertambahan pesat
jumlah jemaat, mendorong GKPA untuk menambah pula jumlah Resortnya yaitu dari 6
Resort pada tahun 1975 menjadi 31 Resort pada 2015. Demi penataan dan
koordinasi pelayanan yang lebih mantap dan efektif, maka sejak 1995
resort-resort telah pula dikelompokkan atas 4 distrik yaitu Distrik: I
Angkola-Mandailing, II Sipirok - Dolok Hole, III: Sumatera Timur dan IV:
Jawa-Sumbagsel.
Dari grafik di atas
dapat juga ditarik pengertian bahwa pertumbuhan anggota jemaat GKPA menanjak
secara signifikan dari 1975-1995, namun mendatar (stagnan) pada tahun
1995-2015. Data ini menantang semua pemangku kepentingan GKPA untuk bertanya
mengapa?
1.8.2. Pelayan
Gerejawi
Pertumbuhan jumlah
pelayan gerejawi berjalan semakin meningkat, namun belum selaras dengan
penambahan jumlah jemaat dan Resort. Dengan kata lain, masih banyak jabatan
yang belum dapat diisi maupun terpaksa dirangkap, karena kekurangan tenaga
pelayan gerejawi, khususnya tenaga pendeta. Pada masa ini, 2015 - jumlah
pendeta GKPA adalah 54 orang. Dibandingkan dengan keadaan 1975, 9 tenaga
pendeta, jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 20 % per tahun.
Namun, ironisnya sejak
1996, pertumbuhan gereja tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan padahal
jumlah pertumbuhan pelayan sangat siginifikan dan penataan struktur yang
semakin bertambah (pertambahan Resort dan pembentukan 4 Distrik).
1.8.3. Tata Gereja/Tata
Laksana
Dalam perjalanan
HKBP-A/GKPA sejak manjae de jure, telah 5 kali mengalami penyempurnaan Tata
Gereja (TG) dan Tata Laksana (TL). Pertama, TG/ TL yang disahkan oleh Sinode Am
ke-I/1975 di Bungabondar, disempurnakan berdasarkan keputusan Sinode Am ke II/l
976 oleh Rapat Majelis Pusat yang bersidang di Medan, 15-16 April 1977 dan
tidak pernah dibawakan kepada Sinode Am untuk pengesahan. Selama masa
berlakunya TG/TL itulah banyak timbul kesulitan internal disebabkan TG/TL yang
kabur dan implementasinya yang tidak atau kurangKedua,
sesuai dengan keputusan Sinode Am ke-III/1978, TG/TL 1977 diperbaharui dan
disahkan menjadi TG/TL 1981 oleh Sinode Am ke-IV/1981 yang bersidang di
Padangsidimpuan. Pada TG/TL ini tercantum Pasal 22.3 yang menetapkan bahwa,
"Setiap 10 tahun TG dan TL diteliti kembali untuk diadakan perubahan dan
penyempurnaan, serta menyesuaikannya dengan situasi dan konsidi waktu
itu". Demikian GKPA menginginkan agar TG/TLnya tetap up-to-date dan komprehensip pada wawasan, kondisi zaman. Ketiga, memenuhi ketetapan itu, maka TG/TL
1981, disempurnakan menjadi TG/TL-1991, yang disahkan oleh Sinode Am ke-IX yang
bersidang di Padangsidimpuan tanggal 24-30 Juni 1991 dan diberlakukan untuk
masa 10 tahun mendatang. Keempat,
TG/TL disempurnakan pada Sinode Am XV/2003 di Padangsidimpuan dan kelima, TG/TL disempurnakan lagi pada
Sinode Am XVIII/2013 di Padangsidimpuan.
Dari kelima penyempurnaan
TG/TL GKPA ini terlihat bahwa GKPA masih sibuk mengatur para birokrat gereja
dan bukan mengatur dan menatalayani jemaat yang mampu melakukan Tri tugas
gereja dengan baik, yakni: bersekutu, bersaksi dan melayani.
1.8.4. Pengembangan Masyarakat
Dalam melaksanakan
pengabdiannya kepada masyarakat, GKPA telah membuka beberapa yayasan, seperti: Yayasan
Manna (1977-1980) yang mengembangkan proyek pertanian di Pulo Pakkat Batang
Toru, Proyek Ayam di Medan dan Jakarta serta Training Centre di Silandit Padangsidimpuan, yayasan Sutan Gunung
Mulia yang membidangi pendidikan, yayasan Angkola Sejahtera yang membidangi
proyek kebun sawit.
GKPA juga membuka
proyek ”Partisipasi Pembangunan” (Parpem) yang membidangi pengembangan
masyarakat di semua bidang, seperti: pertanian, peternakan, pertukangan, Credit
Union, ekonomi, ketrampilan-ketrampilan, Proyek
air minum, bidang
kesehatan,
bidang pelayanan sosial
(Panti Asuhan Debora di Silangge), bidang usaha (Kebun
Salak, kebun sawit dan Toko Buku Kristen).
Namun dalam perjalanan
sejarahnya, yayasan yang dikelola GKPA ini mengalami banyak tantangan dan
kendala sehingga pengabdian kepada masyarakat ini tidak dapat dilakukan dengan
maksimal dan baik. Bahkan ada beberapa yayasan yang tutup dan unit-unit usaha
serta proyek pelatihan mengalami penutupan.
2.
GKPA
Menuju Masa Depan
Berdasarkan penelitian atas data dan fakta di atas,
maka sudah saatnya GKPA memiliki visi dan misi yang jelas, sederhana, terarah
dan terjangkau untuk membakar semangat semua warga jemaat (stoke holder) GKPA dalam mengembangkan GKPA ke dalam dan keluar.
Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Gereja maju
dan bertumbuh, maka GKPA akan melaksanakan beberapa rencana strategis yang
disusun secara lima periodik hingga 25 tahun ke depan. Rencana strategis GKPA
ini akan diuraikan secara khusus dalam bagian lain dari dokumen ini.
3.
Kekuatan
dan Keunikan
Dalam perjalanan sejarah dan kehidupan pelayanannya di
tanah Batak Angkola, GKPA memiliki keunikan yang
tidak dimiliki gereja lain, yang dapat menjadi faktor kekuatan dan penguat
kelembagaan GKPA.
Pertama, GKPA memiliki pemahaman teologi yang
beragam. Hal ini disebabkan karena lembaga misi yang datang ke daerah Angkola
memiliki latarbelakang teologi yang berbeda-beda. RMG membawa teologi campuran Lutheran dan
Calvinis. Zending Java Comite dan Ermelo membawa teologi Calvinis Zending Mennonit-Anabaptis (DZV) membawa teologi Mennonit.
Kedua, pemakaian bahasa Angkola-Mandailing sebagai bahasa pengantar dalam ibadah dan
kegiatan GKPA. Secara umum, gereja-gereja suku memiliki ciri khas tersendiri sesuai
dengan budayanya. Begitu juga dengan GKPA yang mayoritas jemaatnya suku Angkola-Mandailing masih
tetap mengharapkan agar bahasa Angkola-Mandailing jangan pernah dilupakan dalam ibadah. Misalnya
agenda ibadah, kidung pujian, Alkitab dan lain-lain sudah menggunakan bahasa Angkola-Mandailing.
Ketiga,
sikap toleransi dan rukun. Inilah yang membedakan GKPA dari gereja lainnya. GKPA
tinggal di tengah-tengah umat Islam yang mayoritas. Warga jemaat GKPA menjalin
hubungan yang baik dengan umat Islam. Hal itu disebabkan filosofi orang Angkola
yang mengatakan bahwa “Sipirok Nasoli,
Banua na sonang” (Sipirok yang indah, tempat yang aman). Masyarakat
Angkola-Mandailing telah menjalin kerukunan umat beragama ini ratusan tahun
yang lalu. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam rangka membangun rumah
ibadah. Umat Islam dan Kristen saling mengunjungi dalam masa-masa hari raya
besar agama seperti: Idul Fitri dan Natal. Dalam pelaksanaan adat-istiadat,
orang Angkola-Mandailing menggunakan ayam, kambing dan kerbau sebagai makanan
yang dikonsumsi pada acara-acara adat.
Keempat, Gereja
GKPA dikenal sebagai “Gereja Koum”
(Gereja Keluarga). Pada umumnya, jemaat GKPA baik yang ada di desa dan di kota
memiliki hubungan keluarga sehingga rasa kekeluargaan sangat menonjol dalam
kehidupan bergereja. Gereja koum
inilah keunikan GKPA dari Gereja lainnya.
Kelima, GKPA memakai budaya Angkola-Mandailing dalam pelayanan di
tengah-tengah Gereja. Misalnya memakai kopiah Angkola-Mandailing dalam
kehidupan sehari-hari.
Keenam, GKPA menggunakan bahasa setempat di wilayah pelayanannya sebagai
bahasa pengantar dan pelayanan. Misalnya, jemaat yang dominan suku Toba, GKPA
memakai bahasa Toba dalam tugas pelayanannya. Demikian juga dengan suku lainnya.
Ketujuh, Gereja
GKPA disendingi oleh beberapa lembaga zending. Setidaknya ada lima lembaga
zending yang pernah melayani di daerah Angkola-Mandailing, yaitu: American Board of Commissioners for
Foreign Missions (ABCMF),
Jemaat Ermelo, Belanda, “Rheinsiche
Missionsgesellschaft (RMG), “Java
Comitte”, Doopagezinde
Zending Vereeniging (DZV).
Kedelapan,orang
Angkola-Mandailing memiliki sifat dan berkarakter yang
adaptif.
Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di
mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang
Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa
orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis
yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.
4.
Konteks Masyarakat Angkola-Mandailing
GKPA sebagai organisasi yang tinggal dan hidup di
tengah-tengah masyarakat yang beradat, berbahasa, berbudaya, dan beragama. Karena
itu, seluruh kehidupan beragama dan bermasyarakat, pada umumnya dipengaruhi
cara berpikir dan cara hidup dari bahasa dan budaya yang dimilikinya itu
sendiri.
4.1.
Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah bahasa Angkola dan bahasa Mandailing. Bahasa Angkola dan Mandailing dikenal sebagai bahasa Batak yang paling halus, kerena
pengucapannya berintonasi lembut. Dari tutur kata ini, masyarakat Angkola-Mandailing
mampu menunjukkan sikap hidup yang teduh dan damai sebab bahasa dan tutur kata
mereka agak jarang terdengar dengan kata-kata yang kuat dan kasar.
Namun dalam kehidupan berjemaat di seluruh GKPA, bahasa yang digunakan adalah
beragam sesuai dengan situasi dan kondisi jemaat yang dilayani.
4.2.
Budaya
Angkola
Masyarakat Angkola maupun Mandailing merupakan komunitas
yang berbudaya. Tiap-tiap kelompok dari masyarakat Angkola
dan Mandailing, diatur oleh sistem sosial masing-masing.
Hubungan nilai-nilai sosial
dan norma-norma perilaku budaya masyarakat adat Angkola dan adat Mandailing
senantiasa bisa menjaga keharmonisan. Namun, ada juga perbedaan yang mencolok
antara adat budaya Mandailing dengan adat budaya Angkola yakni pada pakaian
adatnya. Pakaian adat Mandailing didominasi warna merah, dengan ornamen yang
ramai. Sedangkan pakaian adat Angkola lebih sederhana dan pengantin prianya
didominasi warna hitam. Perbedaan lainnya adalah dalam hal alat-alat gondang
dan penggunaanya. Di daerah Mandailing ada tambahan yang disebut dengan Gordang
Sembilan.
4.3.
Beberapa Prinsip Hidup Masyarakat Angkola-Mandailing
Prinsip hidup Dalihan
Na Tolu merupakan prinsip hidup yang sangat kuat dalam kehidupan orang
Angkola. Dalihan na tolu sangat besar
peranannya di dalam pengambilan keputusan, penataan adat, pemberlakuan hukuman,
pembagian harta warisan, dan lain-lain. Hak dan kewajiban setiap unsur dalihan na tolu sangat menentukan warna
demokrasi masyarakat Angkola. Pengaruh setiap unsur sangat besar, dihargai
sebagai muara penggalangan kerukunan keluarga.
Secara harfiah istilah Dalihan Na Tolu berarti ”tungku nan tiga”. Kebiasan orang Angkola
sejak dahulu kala ketika memasak selalu di atas batu yang jumlahnya tiga yang
diatur persis seperti segi tiga sama sisi. Ketiga batu yang diatur sama sisi
tersebut sama tinggi juga sehingga bisa menahan segala sesuatu yang diletakkan
diatasnya dalam rangka memasak apapun sesuai kebutuhan. Andaikan bentuk satu periuk atau kuali adalah
komunitas masyarakat Batak maka yang menjadi tungkunya adalah Dalihan Na Tolu tersebut. Dalihan Na Tolu bagi masyarakat Batak
menjadi asas sistem kekerabatan yang mengatur segala aktivitasnya. Oleh karena
itu banyak makna filosofis yang terkadung di dalam sistem kekerabatan Dalihan
Na Tolu dimaksud. Menurut Ibrahim Gultom tatanan kekerabatan ini lahir
dilatarbelakangi adanya krisis sosial kekerabatan pada generasi ketiga setelah
Siraja Batak. Itu artinya bahwa konsep Dalihan
Na Tolu terinspirasi dan lahir bertitik tolak dari semangat yang baik untuk
menata komunitas orang Batak supaya terhindar dari peristiwa-peristiwa sosial
buruk.[19] Kehidupan
sosial orang Batak secara umum berlangsung dengan baik, penuh kekerabatan,
mempunyai norma-norma adat, memiliki tutur sapa persaudaraan (partuturon) di mana semua tata-cara
hidup itu dirangkul dalam sebuah sistem yaitu dalihan na tolu. Sistem hidup ini sangat solid, berpengaruh dan
mendominasi kehidupan masyarakat Batak. Ia bagaikan makhluk
ajaib, mampu menjamin keharmonisan di antara masyarakat, oleh karena itu
dapat disebutkan bahwa nilai sosial-budaya orang Batak termasuk salah satu
pengikat kuat kerukunannya. Kekerabatan ini disebut sistem kekerabatan yang patrilineal.[20]
Dalam masyarakat Angkola kehidupan Dalihan na Tolu itu dilihat dari hubungan mora, kahanggi dan anak boru.
Ketiga unsur ini memegang peran penting
dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing. Tutur sapa
menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini
saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Dalam sistem
kekerabatan dalihan na tolu, interaksi sosial antara mora dan
anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu
sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba
na urang siorus na lobi (penambah yang kurang dan mengambil yang lebih).
Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na
manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke
depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan
dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap
marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).[21]
Di samping itu, anak boru juga diibaratkan
sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar),
yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan
(barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.
Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat
harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak
boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak
boru senantiasa manjuljulkon morana.
Kahanggi
(saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai
persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih
dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orangtua
senantiasa memberi nasihat untuk manat markahanggi (bersikap hati-hati
terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama
mereka yang semarga.
Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan
ini dapat dijelaskan dalam hubungannya
dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:
1) Kahanggi:
saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut
garis laki-laki, inklusif para istri mereka
2) Anak
boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh
keturunannya menurut garis laki-laki
3) Mora:
saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya
menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka.
4.3.2.
Memegang prinsip Sipirok
na Soli Banua na Sonang
Daerah Angkola dikenal dengan sebuah kota kerukunan umat
beragama khususnya di Sipirok. Sipirok dikenal sebagai Sipirok Na Soli Banua Na Sonang (Sipirok
yang saleh
dan daerah yang menyenangkan). Na soli artinya saleh, taat aturan adat, sentosa, sejahtera dan rukun. Banua artinya daerah atau tempat. Na sonang artinya
menyenangkan.[22] Dengan
demikian Sipirok merupakan daerah atau tempat yang menyenangkan, aman dan
sentosa karena terjamin kesejahteraan dan kerukunan hidup di antara sesama
masyarakatnya. Sipirok
Na Soli Banua Na Sonang dipahami dalam konteks hubungan antar masyarakat plural yang menyenangkan,
membahagiakan karena ada kedamaian dan kerukunan sehingga kelangsungan hidupnya
sungguh terjamin. Istilah tersebut sepertinya mampu mengispirasikan keadaan surga
yang menyenangkan, membahagiakan masyarakatnya karena penuh kedamaian dan
kerukunan.[23] Penekanan inti di dalam julukan itu adalah sikap
masyarakat Sipirok yang cinta kedamaian dan kerukunan.[24]
Dalam kehidupan bermasyarakat orang Angkola-Mandailing
mengenal falsafah ”jujur mula ni bada,
bulus mula ni dame” (merunut masalah awal perseteruan, ketulusan awal
kedamaian). Falsafah ini mengajarkan
agar setiap masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu
diungkit-ungkit lagi tetapi masalah itu harus diselesaikan secara damai dan
baik. Orang Angkola-Mandailing harus memiliki sikap yang tulus dalam menghadapi
setiap persoalan hidup. Jika ada kesalahan teman segera dimaafkan dan
diperbaiki demi terciptanya keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian orang
Angkola-Mandailing lebih dikenal dengan keramahtamahannya dalam menyelesaikan
setiap persoalan hidup.
Daerah Angkola-Mandailing
khususnya Sipirok dikenal dengan kota kerukunan di Tanah Batak dan bahkan di
Indonesia. Inilah salah satu menjadi kekuatan dan keunikan Angkola dari suku
Batak lainnya, karena di daerah Angkola-Mandailing
masyarakatnya lebih majemuk baik dari segi agama maupun penduduknya. Kerukunan masyarakat Angkola-Mandailing
ini pada umumnya kelihatan pada saat pelaksanaan adat-istiadatnya. Susan Rodgers,
menyebutkan bahwa pihak Islam cukup loyal terhadap adat yang beragama Kristen
dan demikian sebaliknya. Dengan alasan ini beliau mengatakan bahwa Islam di
Sipirok berbeda dengan Islam yang ada di daerah sekitarnya (tetangganya). Ide
Susan itu mau membedakan sikap mental Islam di Sipirok jauh lebih toleran dan
rukun jika dibandingkan dengan Islam di Minang Kabau, Melayu Deli atau Islam
Aceh yang fanatik. Menurut beliau,
hal yang cukup menarik adalah ketika kaum Kristen memberi wejangan dalam
upacara adat adalah selalu bernafaskan alkitabiah demikian juga yang Muslim
selalu bertitik tolak atas nilai ke Islaman dan selalu mengacu kepada satu
kesatuan di antara sesama mereka. Islam-Kristen makin menyatu di dalam adat dan
menjadikan hal tersebut menjadi kebanggaannya ketika mengundang kerabat lainnya
untuk mengikuti sebuah pesta adat. Konsep dalihan
natolunya cukup tinggi nilai toleransinya karena bukan berbasis kepada
agama.[26]
Kerukunan itu terlihat ketika pelaksanaan adat Siriaon (Pesta Sukacita), seperti: Anak Tubu (Anak Lahir), Haroan Boru (Menyambut Mempelai Perempuan), Masuk Rumah Baru,dan Pesta Adat Siluluton
(Adat dukacita), seperti: kematian, bencana alam, dll.
Kerukunan dan kedamaaian serta keteduhan masyarakat
Angkola-Mandailing itu tercipta karena masyarakat Angkola-Mandailing
sangat menjaga hubungan yang baik dengan umat beragama lainnya. Untuk menjaga
keharmonisan ini, maka di setiap pesta orang Angkola-Mandailing makanan yang
disuguhkan adalah makanan ayam, kambing, lembu, sapi dan kerbau. Dalam tradisi
masyarakat Angkola-Mandailing tidak mengijinkan daging babi sebagai makanan adat.
Kerukunan itu juga terlihat dari kerjasama yang baik di
antara sesama umat beragama. Umat Islam dan Kristen saling membantu dalam
membangun rumah ibadahnya. Sikap seperti ini sudah lama dibangun di dalam
kehidupan umat beragama.
Masyarakat Angkola-Mandailing
memiliki falsafah hidup yang kuat dalam rangka menjaga hubungan kekerabatan. Filosopi
itu dikenal dengan istilah “Alkot Aek,
Alkotan do mudar” (sekalipun air pekat tetapi darah lebih pekat)[28] Istilah ini
maknanya merujuk kepada tradisi nenek moyang di Sipirok yang memiliki alur
pikiran bahwa adat ada karena dilatarbelakangi oleh tutur sapa atas
kekerabatan. Sementara ada pun tutur sapa atas kekerabatan di dalam konteks
masyarakat Batak hal itu dilatar bekangi oleh ikatan darah. Oleh karena itu
bicara tentang tutur sapa atas kekerabatan berarti sama dengan menelusuri
ikatan darah. Dengan lebih sederhana kekerabatan orang Angkola-Mandailing
adalah merujuk kepada ikatan darah. Dalam hidup sehari-hari yang berbicara
bukan soal paham agama, sosial, emosional kesamaan ilmu teknologi, dan
lain-lain, yang diutamakan adalah soal hubungan kekerabatan yang diikat oleh
hubungan darah.
4.3.5. Memegang
prinsip Poda na Lima (Lima Nasihat)
Masyarakat Angkola dikenal
dengan prinsip Poda na Lima, yaitu:
1) Paias
rohamu (bersihkan
hatimu)
2) Paias
pamatangmu (bersihkan
badan/ragamu)
3) Paias
bagasmu (bersihkan
rumahmu)
4) Paias
pakeanmu (bersihkan
pakaianmu)
5) Paias
pakaranganmu (bersihkan pekaranganmu)
4.3.6. Memegang
prinsip Ojak di Bondul na Opat
(Tungku yang empat)
Salah satu
sifat yang amat menonjol pada orang Batak, adalah ikatan kekeluargaan. Jika
2 (dua) orang Batak bertemu, yang pertama sekali mereka lakukan adalah martutur
(bukan saja berarti berkata-kata, tetapi khas berkata-kata tentang hubungan
marga dan kekeluargaan). Begitu pentingnya martutur diungkapkan dalam
peribahasa berikut: “Ditiptip
sanggar baen huru-huruan, jolo ni sapai marga anso binoto partuturan”
(Artinya, kita harus menanyakan marga seseorang yang berjumpa dengan kita agar
kita tahu kekerabatan kita kepada yang bersangkutan).
Rasa kekeluargaan yang kental, sistem kekeluargaan dalihan
na tolu, na ojak di bondul na opat (kahanggi, anak boru, mora dohot hatobangon
harajaon ni huta), yang satu tidak
dapat hidup tanpa yang lain. Sistem kekeluargaan jelas
tidak dapat jalan tanpa sitem marga, sebaliknya sistem marga akan hilang maknanya
kalau tidak diterapkan dan dikembangkan dalam sistem kekeluargaan.
Orang Angkola-Mandailing
memiliki rasa kebersamaan yang kuat baik dalam masa-masa suka maupun duka cita.
Orang Angkola memiliki prinsip yang kuat untuk tetap setia kepada hal-hal yang
sudah diputuskan bersama.
4.3.8. Memegang
prinsip ulang loja mambaen na denggan,
songon aek paihutihut rura (Jangan lelah melakukan yang baik, seperti air
mengalir di bentaran sungai)
Masyarakat Angkola-Mandailing dikenal dengan orang
yang tidak jemu-jemu berbuat baik walau kebaikannya itu tidak dihargai oleh
orang lain.
4.3.9. Memegang
prinsip menghargai perempuan di dalam
pelaksanaan adat
Dalam
pelaksanaan adat-istiadat, posisi perempuan di dalam adat
Angkola-Mandailing sangat dihormati. Kaum ibu selalu diberi ruang dan
kesempatan yang pertama untuk menyampaikan kata-kata dan pemikirannya dalam hal
pelaksanaan adat.
4.3.10. Memegang
prinsip adaptif
Masyarakat Angkola-Mandailing sangat mudah beradaptasi di
mana mereka hidup dan tinggal. Kemampuan beradaptasi ini menjadi kekuatan orang
Angkola-Mandailing untuk bisa bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa
orang Angkola-Mandailing adalah masyarakat nasionalis
yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupannya.
5.
Dasar Teologis
5.1.
Dasar Teologis GKPA dalam membangun
Jemaat dan Menatap Masa Depan
5.1.1.
Arti dan Dasar Panggilan Gereja
Untuk memahami arti dan
panggilan gereja, lebih dulu harus memahami gereja itu sendiri. Kata gereja
berasal dari kata igereja (bahasa
Portugis) untuk menerjemahkan kata ecclesia
(Yunani) yang ada dalam Alkitab. Kata ecclesia
diawali dengan preposisi ec yang
berarti ”keluar dari” dan kata caleo
yang menjelaskan mengenai “dipanggil keluar dari komunitas tertentu”. Dalam
Perjanjian Baru (PB) istilah ecclesia
menjelaskan beberapa pengertian yang saling berkaitan, yakni:
a.
Gereja
yang dipanggil keluar (called out)
dari kebiasaan atau dari hidup lama, cara hidup dan berpikir lama kepada hidup
baru dalam Kristus.
b.
Gereja
dipanggil untuk Allah (called for),
dipanggil keluar untuk kepentingan Allah.
c.
Dipanggil
untuk bersama-sama bersekutu (called together),
mengabdi, beribadah kepada Allah.
d.
Dipanggil
kepada (called to) tanggung jawab
untuk taat dalam tugas marturia atau penginjilan dan diakonia atau pelayanan
sosial.
Berdasarkan pengertian
di atas, yang dimaksud dengan ecclesia adalah
kehidupan bersama orang-orang yang menanggapi karya penyelamatan Allah di dalam
Tuhan Yesus Kristus, yang dinyatakan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah
Juruselamat dan mereka secara bersama-sama mengakui pengakuan itu, terikat satu
sama lain sebagai suatu kehidupan bersama. Karya dan penyelamatan Allah itu
merupakan tindakan Allah dan atas prakarsa Allah sendiri yang diungkapkan
melalui kata-kata: Allah memanggil, Allah menyelamatkan, Allah membawa keluar
dari kegelapan (bd. 1Ptr. 2:9-10). Dengan adanya panggilan Allah inilah maka
kehidupan bersama orang percaya yang disebut gereja itu memiliki aspek ilahi. Artinya,
keberadaan mereka merupakan akibat dan adanya karya Allah atau kehendak Allah.
Di samping aspek ilahi,
gereja juga memiliki aspek manusiawi yang tampak dalam tanggapan atau jawaban
manusia terhadap panggilan atau penyelamatan Allah. Orang-orang yang menanggapi
karya Allah itu kemudian bersekutu, membentuk kehidupan bersama sebagai
orang-orang yang sama-sama mengalami karya penyelamatan Allah.
GKPA sebagai gereja
Allah di dunia dalam menjalani hidup dan karya-Nya
tidak secara otomatis menjadi gereja yang benar-benar sesuai dengan kehendak
Allah. Karena gereja sebagai komunitas hidup orang percaya tidak dapat
melepaskan diri dari cacat manusiawi yang dimilikinya. Cacat manusiawi gereja
itu dapat ditemukan dalam berbagai
kekurangan dan keterbatasan gereja. Di samping itu, sebagai persekutuan orang
beriman yang hidup di dunia ini, gereja tidak hanya berusaha untuk menggarami
dan menerangi dunia, tetapi sebaliknya sering dipengaruhi oleh apa yang sedang
terjadi di dunia. Pengaruh itu tidak seluruhnya positif bagi kehidupan orang
beriman (Ef. 5:15-21). Itulah sebabnya Paulus mendorong gereja untuk
terus-menerus membarui dirinya dengan berbagai upaya agar dalam situasi apapun,
gereja berupaya menjadi gereja yang dikehendaki Allah (Ef. 4:1-16).
Gereja, termasuk GKPA membutuhkan transformasi
Allah. Kita berpegang kepada motto ecclesia
reformata semper reformanda (bahasa Latin: gereja reformasi harus terus
menerus direformasi). Motto ini mendorong kita, dalam pembangunan jemaat untuk
melepaskan diri dari kekacauan dan stagnasi, sekaligus mendorong kita untuk
semakin berperan dalam aktualisasi missio
Dei di dunia secara menyeluruh. Untuk mewujudkan pembaruan ini dapat
diwujudkan melalui peningkatan penggembalaan, pembinaan warga jemaat,
kaderisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Melalui kegiatan
ini diharapkan segenap warga gereja diperlengkapi dan dipersiapkan menjalani
hidup kesehariannya sebagai orang beriman yang setia. Di samping itu,
perbaikan-perbaikan juga dilakukan dengan merumuskan ulang identitas gereja
dalam hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya dan penataan organisasi
gereja, dengan harapan agar menjadi gereja yang kehadirannya memberi pengaruh
positif bagi dunia di mana gereja ditempatkan Allah. Tuntutan pembaruan gereja
seperti itulah yang kemudian akan melahirkan apa yang disebut pembangunan
jemaat. Harapannya jemaat semakin dimampukan membawa misi Allah di dunia ini.[30]
5.1.2.
GKPA membawa misi Allah
Tujuan utama berdirinya
Gereja Kristen Protestan Angkola adalah untuk menjadi saksi Kristus di tengah
dunia ini khususnya di tengah-tengah umat Kristen Angkola-Mandailing yang ada
di daerah Tapanuli Selatan dan perantauan (bnd. Patanakhon Hata ni Debata tu luat Angkola). GKPA membawa misi Allah
bagi semua orang Kristen Angkola-Mandailing agar mereka dapat bertumbuh dalam
iman untuk menyaksikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang hidup. Sebagai
satu-satunya Sinode Gereja yang berpusat di daerah Angkola-Mandailing, GKPA
memiliki tugas membawa misi Allah ke daerah Angkola-Mandailing sekitarnya. Dasar
misi GKPA ini digali dari kebenaran Alkitab baik dalam Perjanjian Lama (PL) dan
Perjanjian Baru (PB). GKPA mengakui kebesaran perbuatan Allah untuk membebaskan
umat-Nya dari Mesir ke tanah Kanaan (Kel. 20:2, Ul. 6:20-23). Dengan keyakinan
itu GKPA memiliki keyakinan bahwa GKPA mampu bertindak sebagai gereja pembebas
di tengah-tengah pergulatan hidup di daerah Angkola-Mandailing.
Allah memakai umat-Nya
dalam rangka mewujud nyatakan misi-Nya di
tengah-tengah dunia ini. Misalnya, melalui bangsa Israel, Allah mau menyatakan
misi-Nya (misio Dei) untuk
menyelamatkan umat manusia dan seluruh alam semesta yang telah rusak sebagai
akibat dosa (bd. Kej. 3:15). Misi Allah tetap harus dilanjutkan dan dilakukan.
Tugas ini akan berakhir sampai langit dan bumi yang baru telah diturunkan Allah
di dunia ini. Pada zaman nabi-nabi Misio
Dei dihubungkan dengan pekerjaan Mesias dari keturunan Daud sebagai seorang
hamba (Yes. 52 dan 53). Demikian bangsa Israel diharapkan sebagai penerus misi
Allah dipanggil menjadi hamba Tuhan.Untuk melanjutkan pelaksanaan misi Allah,
bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang sudah hidup dalam
pemahaman filsafat-filsafat mereka. Bangsa Israel sudah memulai misi keluar dan
melibatkan bangsa asing dalam menjalankan rencana Allah untuk membebaskan umat
manusia.
Dalam PB misi Allah
dimulai dalam diri Yesus. Dengan demikian teologi kepercayaan Israel mengalami
peralihan ke dalam dunia non-Yahudi. Dalam Markus 1:1 “Permulaan Injil Yesus
Kristus Anak Allah” dipandang sebagai dokumen awal dalam tradisi sinoptik.
Dalam Markus 1:10, visi awal dilihat oleh Yesus adalah “Roh seperti burung
merpati turun ke atas-Nya”. Visi ini diikuti suara yang menyatakan tentang
identitas diri Yesus sebagai Anak Allah (Luk.
4:18-19). Kunci dari misi Yesus
adalah Roh Tuhan yang memimpin dan memenangkan Yesus untuk memberitakan Injil. Pemberitaan
Injil inilah yang menjadi maksud kedatangan Yesus. “… Aku memberitakan Injil,
karena untuk itu Aku telah datang …” (Mrk. 1:38). Injil Allah berisi tentang
penggenapan kedatangan Kerajaan Allah yang diikuti oleh respons pertobatan dan
iman oleh manusia yang mendengar dan menerima Injil tersebut.
Berita pertobatan itu
diteruskan oleh para murid dengan disertai kuasa pelayanan. Setelah Yesus
bangkit dari kubur, kesebelas murid pergi ke Galilea, sesuai dengan yang
dikatakan Yesus, yang sudah bangkit kepada Maria Magdalena dan Maria yang lain
yang datang ke kubur (Mat. 28:9-10, 16). Yesus
menggenapi janji-Nya, Yesus muncul di hadapan kesebelas murid yang sedang berkumpul
dalam satu rumah, sebagian dari mereka meragukan-Nya (Mat. 28:17). Ketakutan dan harapan pengikut Yesus di
jalan menuju Emmaus, mengatakan kepada Yesus yang sudah bangkit yang menemui
mereka, “bahwa Dialah yang akan datang untuk membebaskan bangsa Israel” (Luk. 24:21). Beberapa lama setelah peristiwa ini, para
murid dan pengikut Yesus ketika mereka dipenuhi Roh Kudus pada hari Pentakosta,
mereka teringat akan perintah Kristus untuk pergi memberitakan Injil dan
menjadikan segala bangsa murid-Nya (Kis.
2:4; Mat. 28:18-20).
Seluruh gereja di dunia memiliki tanggungjawab yang sama dan
terus berupaya untuk memfungsikan kehidupan keberagamaannya sebagai “pembebas”
masyarakat dalam konteks masing-masing, sehingga kehadiran gereja dapat menjadi
berkat dan menjadi gereja yang hidup serta mampu memberi jawaban terhadap
segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di tempat dia bertumbuh. Gereja
tidak boleh tutup mata dan telinga terhadap segala persoalan kehidupan yang
dihadapi oleh warga jemaatnya. Hal ini sesuai dengan Amanat Agung yang
diperintahkan Tuhan Yesus seperti yang tertulis dalam Matius 28:19-20, Markus
16:15-20, Kisah
Para Rasul 1:8.
Dengan kata lain,
kehadiran gereja untuk menjalankan tugas dan panggilan sebagai umat Allah dan
Tubuh Kristus adalah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah bagi kehidupan
segala makhluk di atas muka bumi. Menjalankan tugas dan panggilan kudus ini
tidak pernah selesai dan berkesudahan sebelum waktunya tiba, sampai hari
kedatangan Allah yang kali kedua. Penentuan atas waktu tersebut tidak diketahui
oleh siapapun, bahkan Yesus sendiri tidak mengetahuinya selain Bapa di surga
(Mt. 23:14,36, 42, Mrk. 13:32-33). Oleh karena itu, tetaplah berjaga-jaga dan
tekun mengerjakan tugas. Orang Kristen yang terhimpun dalam sebuah komunitas
iman yang khas, di setiap waktu dan tempat perlu menjelaskan siapa mereka dan
akan jadi apa mereka, dalam hubungan dengan Allah dan rencana Allah atas hidup
mereka serta orang-orang di luar iman mereka tersebut. Dengan demikian, mereka
dapat menemukan makna kehidupan mereka. Inilah yang menjadi dasar teologis misi
gereja sepanjang masa, termasuk GKPA.
Salah satu misi gereja
adalah penebusan. Tugas ini merupakan tugas utama gereja. Tugas ini hanya
diamanatkan oleh Kristus kepada gereja
dan tidak bisa dikerjakan oleh pihak manapun yang bukan gereja. Untuk
menjalankan misi penebusan ini dilakukan dengan cara memberitakan Injil kepada
semua orang. GKPA dalam pengakuan imannya mengaku sebagai gereja yang
apostolis. Itu berarti bahwa GKPA adalah utusan Kristus di dalam dunia. Dengan demikian, sebagai utusan Kristus,
GKPA harus berperan sebagai instrument (alat) Kristus untuk menyaksikan
Kristus, dan menyampaikan Kabar Baik kepada
semua orang. GKPA terpanggil untuk
berperan aktif sebagai utusan Kristus menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. GKPA menjadi mitra Allah mewujudkan
damai sejahtera di dunia ini. Dengan
demikian, GKPA menjadi gereja yang sejalan
dengan cita-cita panjaeon (kemandirian)
GKPA.
Untuk menjangkau para
jiwa-jiwa khususnya orang-orang Angkola-Mandailing yang berada di perantauan
dan orang-orang yang belum mengenal Yesus di daerah terpencil, maka GKPA seharusnya
terus berupaya mendidik dan melatih tenaga-tenaga penginjil dan pendeta.
5.2.
Ajaran Iman GKPA
Secara umum GKPA
meyakini ajaran gereja Lutheran. Walaupun pengalaman penginjilan yang diterima
GKPA, pengajaran yang ada di GKPA saat ini tidaklah murni Lutheran. Bahkan
masih ada jemaat GKPA yang menganut Mennonite. GKPA mengakui Pengakuan Iman
Rasuli (PIR), Pengakuan Iman Nicea, dan Pengakuan Iman Athanasianum.
5.2.1.
Pemahaman tentang Allah
GKPA memahami dan meyakini bahwa Allah itu Esa yang
tidak berawal dan tidak berakhir. Allah yang Mahakuasa, yang tidak berubah,
Maha adil, dan Mahakasih. GKPA mempercayai bahwa Allah adalah pencipta, yang
memelihara, melindungi umat-Nya dan alam semesta. Dia yang menjadi manusia,
yang mati dan dikuburkan, bangkit dan naik ke surga untuk menyediakan tempat
bagi kita umat manusia.
5.2.2. Pemahaman
tentang Sakramen
Sakramen merupakan
tugas suruhan langsung dari Allah. Sakramen merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ibadah orang percaya. Melalui sakramen kita mengerti dan
merasakan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 28:19; 1Kor. 11:23-28).
Sakramen adalah suatu
ritus atau upacara keagamaan yang dilembagakan dan diakui oleh Yesus Kristus.
Ada dua sakramen, yaitu baptisan kudus dan perjamuan kudus. Sakramen (baptisan
dan perjamuan kudus) mendapat kedudukan yang utama di dalam peribadahan gereja
mula-mula (Kis. 2:41-42; 10:47; 20:7,11). Melalui sakramen dapat dimaknai bahwa
Yesus Kristus membawa umat-Nya ke dalam persekutuan atau ajaran-Nya (Mrk.
10:38-39) dan di dalam pikiran gereja, sakramen adalah sebagai sesuatu yang
bermakna spiritual (1Kor. 10:1-5).
Baptisan dan perjamuan
kudus merupakan anugerah yang kelihatan akan Firman yang diberitakan di dalam kerygma. Dengan dan melalui baptisan,
warga jemaat disadarkan bahwa seseorang yang telah dibaptis akan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari tubuh Kristus. Menurut PB, berita keselamatan yang
disampaikan kepada orang percaya pada dasarnya melalui pemberitaan Firman,
baptisan dan perjamuan kudus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Firman dan
sakramen memiliki hubungan yang sangat erat.
Baptisan merupakan
sakramen model Perjanjian Baru yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus. Dengan
baptisan seseorang bukan hanya diterima sebagai anggota gereja (pengesahan
resmi menjadi pengikut Kristus), melainkan dia juga menjadi satu dengan Kristus
(Gal. 3:27; Rm. 3:27), dan pelepasan dari dosa (Mrk. 1:4; Kis. 22:16). Baptisan
yang dilaksanan GKPA adalah baptisan anak dan baptisan dewasa yang dilakukan
dengan cara percik.
5.2.3. Pemahaman
tentang Manusia
GKPA percaya bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah
dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan kepada manusia itu sendiri.
Manusia jatuh ke dalam dosa karena godaan iblis sehingga manusia secara alami
menerima dosa turunan.
5.2.4. Pemahaman
tentang Akhir Zaman
GKPA meyakini bahwa Yesus
Kristus akan datang pada akhir zaman untuk membangkitkan semua orang yang hidup
dan yang mati untuk mewarisi kehidupan yang kekal. Kedatangan Yesus kali kedua
tidak seorang pun mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya bagaikan pencuri ( 1 Tes
5:2; Mat 6:4,16).
5.3.
Pemahaman tentang Jemaat
GKPA percaya bahwa yang
mendirikan jemaat adalah Yesus Kristus yang memanggil dan mempertemukan orang
percaya di dalam jemaat-Nya yang kudus. GKPA bukan didirikan atas kehendak
sendiri dan golongan tertentu. GKPA meyakini bahwa pertumbuhan jemaat terjadi
jika GKPA memberitakan Injil dengan murni, menjalankan sakramen baptisan dan
perjamuan kudus dan melaksanakan hukum siasat Gereja dengan sebaik-baiknya.
5.3.1.
Arti dan tujuan pembangunan Jemaat
Usaha perbaikan hidup
dan karya gereja itu secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua tujuan pokok,
yaitu: pertumbuhan ekstensif (pertumbuhan keluar) dan pertumbuhan intensif
(pertubuhan ke dalam). Pertumbuhan ekstensif tampak melalui adanya pertambahan
anggota jemaat baru. Hal ini diinspirasi oleh pengalaman gereja pada zaman para
Rasul dalam memberitakan Injil kepada bangsa lain. Usaha itu mengakibatkan
munculnya gereja-gereja baru yang menggembirakan, karena ada banyak orang-orang
baru yang dibaptiskan (Kis. 2:41). Namun, kegembiraan itu segera disusul oleh
adanya keprihatinan di mana tidak adanya kesinambungan pelayanan kepada jemaat
baru tersebut. Itulah sebabnya dibutuhkan pertumbuhan yang intensif untuk
memberikan pendalaman dan penghayatan iman kepada jemaat yang baru. Paulus
mengatakan bahwa dalam rangka pertumbuhan ke dalam, orang yang percaya baru
sejak semula harus diperhatikan (1Kor. 14:23-25). Hubungan pertumbuhan ke dalam dan ke luar juga
ditegaskan oleh kenyataan bahwa jemaat yang berkembang dengan baik, selalu
menimbulkan daya tarik untuk orang luar (bd. Kis. 2:41-47). Dari sisi lain,
perhatian ke luar juga penting bagi pembangunan ke dalam. Gereja yang sibuk
dengan rutinitas dirinya sendiri, niscaya akan kehilangan daya tariknya. Secara
singkat dapat dikatakan dalam rangka memperbaiki kehidupan gereja, perlu usaha
serempak membenahi pertumbuhan ke dalam dan juga pengembangan/penginjilan ke
luar.
Namun tujuan
pembangunan jemaat itu pertama-tama dan terutama bukan demi pertumbuhan ke luar
dan ke dalam itu semata. Tujuan pembangunan jemaat agar gereja dalam hidup dan
karyanya di dunia sungguh-sungguh menjadi alat Tuhan untuk turut ambil bagian
dalam karya penyelamatan Allah atas seluruh umat manusia (Kis. 13:2; 17:18; Mt.
4:18-22; 2Tim. 1:7-9, 2:4).[31]
5.3.2.
Peran Para Pelayan
Untuk mendewasakan dan memperlengkapi warga
jemaat dalam rangka pembangunan tubuh Kristus, GKPA menetapkan Pelayan-pelayan Gerejawi yang terdiri
dari Pendeta, Guru Parlagutan, Sintua (Penatua), Evangelis, Diakon/Diakones dan
Parjamita Ina (Bibelvrouw) serta seluruh anggota Jemaat yang
terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam pelayanan Gerejawi tersebut
sesuai dengan Firman Allah (1Ptr. 2:9).
Secara umum tugas para pelayan GKPA adalah penginjilan,
pelayanan, pembinaan dan pemeliharaan rohani dari warga
GKPA.
5.3.3.
Peran Anggota Jemaat
Pembangunan gereja
sebenarnya pekerjaan Allah sendiri. Namun dalam rangka melaksanakan
pekerjaan-Nya itu, Allah melibatkan orang-orang beriman untuk ikut ambil bagian
dalam karya-Nya (1Ptr. 2:5). Hal ini menunjukkan, meskipun orang beriman
sebagai manusia memiliki berbagai keterbatasan dan kelemahan, Allah sendiri yang
memperlengkapi orang-orang beriman untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya
(1Kor. 12:4, 14:12) dan pada akhirnya Allah jugalah yang menyempurnakan
pekerjaan orang beriman dalam
pembangunan Gereja-Nya (1Kor. 13:8-12) sehingga Kerajaan Allah semakin terwujud
di dunia ini menuju kepada kesempurnaan, yang berlangsung secara bertahap
sebagai suatu pertumbuhan (1Kor. 3:6; Why. 21:2).
Dalam rangka pembangunan jemaat yang vital dan
menarik, peran serta jemaat sangatlah penting. Karena itu jemaat yang vital dan
menarik merupakan dua pengertian yang tidak boleh dipisahkan. Jemaat yang hanya
menarik saja cenderung menjadi komunitas nostaligis. Jemaat yang hanya vital
saja cenderung menjadi komunitas yang fanatik.[32]
Jemaat yang vital dan menarik adalah jemaat yang dengan senang hati
berpartisipasi, di mana partisipasi itu membawa hasil bagi mereka sendiri
maupun bagi realisasi tujuan-tujuan jemaat[33].
Mengupayakan jemaat yang vital dan menarik, adalah sesuatu hal yang penting
dalam perubahan zaman yang akan dihadapi jemaat. Dalam perkembangan zaman yang
terus berubah, umat kristiani ditantang untuk berpartisipasi secara kreatif.[34]
Peran jemaat itu juga sangat kuat dipengarui oleh konteks[35]
jemaat itu sendiri.
Diharapkan seluruh warga jemaat GKPA setia mendukung
pelayanan di seluruh lini GKPA melalui mempersembahkan dirinya sendiri sebagai
persembahan yang hidup (Rm. 12:1), persembahan bulanan, persembahan syukuran,
persembahan persepuluhan (Mal. 3:10), dan persembahan lainnya. Persembahan ini
merupakan sumber keuangan GKPA untuk mewujudnyatakan setiap program yang
ditetapkan mulai dari tingkat Pusat, Distrik, Resort dan Parlagutan.
5.3.4.
Faktor Pentingnya pemberdayaan Jemaat
Pemberdayaan yang dimaksud dalam hal ini adalah,
mengupayakan agar semua warga jemaat berpatisipasi dalam Gereja. Partisipasi
yang diharapkan tentu bukan saja melalui kehadiran dalam kebaktian minggu,
tetapi partisipasi dalam rangka, ikut memikirkan dan mengupayakan
pelayanan-pelayanan dalam gereja serta semua tindak-tanduk dalam kehidupan gereja. Agar Gereja
dapat memberdayakan warga jemaat, tentu terlebih dahulu harus mengenali bakat, talenta dan potensi yang dimiliki
warga jemaat. Dengan demikian, penting ada relasi yang baik di antara pelayan
Gereja dan jemaat. Relasi, tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang
aktif dalam Gereja, tetapi relasi harus diutamakan kepada jemaat yang jarang ke
gereja dan kepada jemaat tamu.
Peran serta anggota
jemaat dalam pekerjaan Allah dapat berlangsung secara optimal apabila menjadi
gereja yang hidup dan bermakna bagi warganya maupun masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Ada lima faktor penting dalam rangka
pemberdayaan jemaat, yaitu:
a.
Keterlibatan
anggota jemaat yang sangat dipengaruhi iklim gereja[36]. Yang dimaksud dengan iklim ialah
pengakuan dan perlakuan terhadap setiap anggota jemaat sebagai subyek dalam
hidup dan karya Gereja. Pengakuan dan
perlakuan sebagai subyek itu akan terwujud apabila:
-
Talenta
dan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap anggota jemaat diakui,
dihargai dan didayagunakan secara optimal.
-
Informasi
yang benar dan jujur yang diperlukan bagi hidup berkeluarga, bergereja, dan
bermasyarakat disebarluaskan kepada setiap anggota jemaat.
-
Hal-hal
yang berkenaan dengan hidup dan karya Gereja diputuskan oleh pemimpin gereja
dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota jemaat.
b.
Gaya
dan sifat kepemimpinan Gereja[37]. Yang dimaksud dengan kepemimpinan
adalah gaya dan sifat kepemimpinan yang dipraktikkan baik oleh pejabat Gereja
maupun para pelayan Gereja lainnya dalam menjalankan tugas mereka. Gaya dan sifat
kepemimpinan akan memampukan para pemimpin sendiri maupun anggota jemaat yang
dipimpinnya apabila:
-
Gaya
dan kepemimpinan kolektif-kolegial, partisipatif dan kemampuan anggota jemaat
dikembangkan.
-
Pengembangan
diri para pemimpin Gereja dan para pelayan gereja lainnya diperhatikan secara
memadai
-
Sifat
kepemimpinan yang saling melayani/menggembalakan diberlakukan.
c.
Keterlibatan
aggota jemaat dalam merumuskan tujuan dan tugas gereja. Yang dimaksud dengan
tujuan gereja adalah segala sesuatu yang ingin diraih oleh gereja, sedangkan
tugas gereja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan gereja. Tujuan dan tugas gereja akan jelas, relevan, terjangkau, dan
menarik apabila:
-
Dirumuskan
secara jelas oleh pemimpin Gereja dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota
jemaat.
-
Karya
gereja dituangkan dalam perencanaan yang mengacu pada visi-misi gereja.
-
Karya
gereja memberi peluang bagi anggota jemaat untuk dapat belajar lebih banyak
tentang hidup dan karya orang beriman.
d.
Struktur
Gereja[38]. Struktur gereja adalah keseluruhan
relasi timbal balik antara anggota jemaat secara individual maupun bersama-sama
dengan para pejabat gereja dan pelayan gereja lainnya. Relasi itu bisa
formal maupun informal. Struktur gereja
akan relevan dengan tuntutan hidup dan karya apabila:
-
Keanekaragaman
dan keberadaan anggota jemaat (usia, pekerjaan, minat, aspirasi politik,
tradisi bergereja) diakui ditata dalam struktur.
-
Karya
kelompok-kelompok anggota jemaat diintegrasikan dengan visi-misi Gereja.
-
Komunikasi
dan kerjasama timbal balik saling memampukan antar kelompok anggota jemaat dan
antara kelompok anggota jemaat dengan lembaga gerejawi maupun non-gerejawi
dijalankan dengan baik.
e.
Identitas
diri anggota jemaat. Yang dimaksud
dengan jatidiri dan identitas diri adalah pemahaman yang dihayati oleh setiap
anggota jemaat tentang siapa dan apa tugas mereka sebagai orang beriman maupun
sebagai gereja. Penghayatan jatidiri/identitas yang baik akan menjadi sumber
inspirasi bagi setiap anggota jemaat dalam menjalani hidup dan karya gereja.
Penghayatan jatidiri atau identitas diri akan inspiratif apabila:
-
Latarbelakang
keberadaan dan tradisi gereja dihayati oleh segenap anggota jemaat.
-
Pemahaman
tentang inti gereja dihayati oleh segenap anggota jemaat
-
Konteks
di mana anggota jemaat dan gereja menjalani hidup dan karyanya disadari dan
dikenal dengan baik oleh segenap anggota jemaat.
-
Panggilan,
peran, dan fungsi setiap anggota jemaat sebagai orang beriman dipahami oleh
segenap anggota jemaat.
5.4.
GKPA Mewujudnyatakan Panggilannya
GKPA sebagai tubuh
Kristus sudah lama melakukan kesaksiannya di Tanah Angkola-Mandailing jauh
sebelum kemandiriannya dari gereja induk HKBP. Sebagai orang Kristen yang paling
sulung di Tanah Batak, GKPA telah memulai kesaksiannya sejak 1800-an, yakni
sejak para misionaris memulai pelayanan misinya di Tanah Batak Selatan. Secara
organisatoris, GKPA baru mewujudkan kesaksiannya di tengah-tengah masyarakat
Angkola-Mandailing sejak kemandiriannya pada 26 Oktober 1975.
5.4.1.
Bersekutu
Sebagai gereja yang
terpanggil untuk bersekutu harus hidup berpadanan dengan Injil dan berdiri teguh
dalam satu roh. Sebagai satu tubuh, gereja mewujudkan hidup persekutuannya
untuk sehati sepikir, berjuang untuk iman, saling memahami, memperhatikan dan
melayani demi kepentingan bersama (Kis. 2:40; Flp. 1:27; 2:2-4; 1Kor. 12:27). Dengan
demikian bersekutu dapat diartikan saling membarui, saling membangun dan
mempersatukan.
GKPA sebagai bagian
integral dari gereja yang Esa, Kudus dan Am dan Rasuli bertanggunjawab juga
untuk memberitakan Injil sehingga persekutuan di semua tingkat kepengurusan
(jemaat, resort dan distrik) serta badan, dan seksi dapat terbina dengan mantap
sebagai perwujudan dari hubungan pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan Firman
Tuhan. Untuk peningkatan mutu persekutuan diperlukan pembenahan melalui
kegiatan-kegiatan persekutuan yang penuh kasih dan damai.
5.4.2.
Persekutuan orang Percaya
Gereja sebagai Tubuh
Kristus yang hadir dan berada di dunia ini perlu terus menerus meningkatkan
persekutuannya.Yesus Kristuslah kepala gereja. Oleh karena itu, gereja hidup
dan berpusat di dalam Kristus. Gereja adalah milik Kristus dan sebagai duta-Nya
di dalam dunia. Sebagai milik-Nya, Gereja termasuk GKPA di dalamnya, dipanggil
untuk mengabdikan dirinya kepada Sang Pemilik
dengan cara beribadah (latrea),
bersekutu dengan sesama orang percaya (koinonia),
dibina menjadi jemaat yang berkualitas dan yang siap diutus, peduli dengan
masalah dan kebutuhan sosial (diakonia) dan
dipanggil ke luar untuk bersaksi sebagai duta Kristus di dunia.
GKPA adalah milik Kristus. Kristuslah kepala Gereja
yang telah mempersekutukan kita menjadi satu tubuh. Seperti anggota tubuh yang
berbeda-beda namun tetap satu kesatuan. Demikian juga kita dalam Kristus, oleh
Roh Kudus, kita menjadi satu dalam iman, kasih, karunia-karunia dan
anugerah-anugerah (Ef. 4:15-16; 1Kor. 12L7; Kol. 2:19). Sebagai satu
persekutuan, kita sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya, baik secara
pribadi maupun bersama, yang memimpin kepada kebaikan, baik dalam hati maupun
tindakan (1Tes. 5:11, 14; Rm. 1:11-12; 1Yoh. 3:16-18). Untuk itu semua warga
jemaat GKPA mempunyai tanggungjawab untuk memelihara persaudaraan dan
persekutuan dalam beribadah kepada Allah, dan melakukan pelayanan-pelayanan
rohani yang dapat saling membangun (Ibr. 10:24; Kis. 2:42, 46; 1 Kor. 11:20),
saling membantu, saling menopang dan saling menolong dalam kehidupannya.
5.4.2.1.Ibadah
Gereja-gereja Lutheran
memahami ibadah sebagai ekspresi iman atau respons dari ciptaan terhadap
penciptanya, yakni Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus dan
membuat diri-Nya dikenal melalui Roh Kudus. Dalam hal ini ibadah meliputi
ekspresi segala pikiran, suara atau tubuh yang dimotivasi oleh Allah Tri
Tunggal serta diarahkan menuju pemujian kepada-Nya.
Dengan ringkas dapat
dikatakan bahwa ibadah dalam pengertian gereja-gereja Lutheran bukan hanya
berlangsung setiap hari Minggu di gereja atau di rumah ibadah, tetapi seantero
tindakan kehidupan orang beriman merupakan ibadah yang benar dan merupakan
puji-pujian bagi Allah. Dan juga harus diketahui bahwa dimensi ibadah orang
Kristen tidak mengenal dimensi waktu dan tempat, karena ibadah ini meliputi
seantero kehidupannya.
Ibadah dapat diartikan
sebagai suatu karya manusia yang tujuannya memuliakan Allah dan menghargai
sesama ciptaan. Hal itu berarti bahwa panggilan memuliakan Allah mesti
dipantulkan dalam panggilan ke dimensi horizontal (Lk. 10:25; Mt. 5:23-24, Yak.
1:27). Tanpa dasar ini, ibadah-ibadah yang terjadi hanyalah sebuah peziarahan
tanpa tujuan pasti.
Dalam bahasa Ibrani
untuk menyebut ibadah dipakai kata hishtahawah
yang berasal dari kata shaha
(meniarapkan diri dan menundukkan kepala), sedangkan dalam PB dipakai kata
Yunani froskuneo yang berarti
meniarapkan diri sendiri, membungkukkan diri, berlutut, jatuh menyembah dan
memuja.
Ibadah dalam bentuk
persekutuan bersama dalam GKPA memakai liturgi yang diharapkan sebagai pedoman
atau tuntunan sehingga ibadah berjalan dengan khusuk. Kekhusukan ibadah
ditentukan oleh bagaimana ibadah itu dimulai dengan pembukaan: umat datang
menghadap Allah yang Maha Kudus, sehingga manusia hadir dengan puji-pujian,
diisi dengan pengakuan serta janji pengampunan dosa, pengakuan iman,
penyampaian Firman Tuhan serta diakhiri pengutusan dan komitmen sesuai dengan
prinsip-prinsip ibadah.
Bahasa pengantar dalam
ibadah GKPA adalah bahasa Angkola, Mandailing, Toba, Nias dan Bahasa Indonesia.
Pemakaian bahasa Angkola-Mandailing diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian
sekaligus tindakan antisipasi terhadap kemungkinan punahnya bahasa Angkola. Pemakaian
bahasa Toba dan Nias karena di berbagai jemaat ada banyak pengguna bahasa Toba
dan Nias. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai sikap bijaksana agar Injil dapat
disampaikan dengan baik dalam bahasa yang dipahami jemaat. Di masa mendatang
tata ibadah GKPA bukan hanya ada dalam bahasa lokal dan nasional, tetapi perlu
juga dipertimbangkan agar mengacu kepada kebutuhan yang ada misalnya bahasa
Inggris, dan atau Mandarin.
Dalam perkembangan
pelayanan ibadah di GKPA telah disetujui dan disepakati untuk mengembangkan
ibadah dengan memakai ibadah alternatif dan melibatkan warga jemaat dalam
pelaksanaan ibadah, seperti: membaca Kitab Suci, mengumpulkan persembahan, dan
berdoa permohonan dan syafaat. GKPA juga membarui unsur-unsur ibadah Minggu
dengan memasukkan nyanyian sebelum dan sesudah pemberitaan Firman Tuhan, dan
membacakan ayat-ayat Kitab Suci untuk menghantar dan memotivasi jemaat memberikan
persembahan yang terbaik untuk Tuhan. GKPA juga memasukkan nyanyian gereja
Mennonite dalam Buku nyanyian Gereja sebagai pembaruan nyanyian jemaat. Ibadah
yang dilaksanakan di GKPA selalu didasarkan pada tahun kalender Gerejawi yang
telah ditetapkan gereja-gereja secara ekumenikal. GKPA juga melaksanakan ibadah
Pesta Gotilon dan Pesta Zending sebagai
pesta syukuran jemaat atas seluruh berkat Tuhan yang telah diterimanya dan
diberikan kembali kepada Tuhan sebagai ungkapan syukurnya.
Dalam menata beribadah,
GKPA telah menetapkan empat model tata ibadah yang diberlakukan, yakni:
a.
Tata
Ibadah Mode “A”, yaitu tata ibadah yang konvensional, yang lazim dipakai setiap
ibadah,
b.
Tata
Ibadah Mode “B” , yaitu tata ibadah yang lebih singkat dari model “A”,
c.
Tata
Ibadah Mode “C”, yaitu tata ibadah yang melibatkan jemaat dengan responsoria,
dan
d.
Tata
Ibadah Mode “D”, yaitu tata ibadah yang lebih variatif.
5.4.2.2.Kategorial
a.
Sekolah Minggu GKPA
Yesus Kristus mengasihi
anak-anak. Ia menyambut dengan penuh suka cita. Orang percaya juga disuruh
untuk melayani dan menyambut anak-anak (Mrk. 10:13-16l Mt. 18:1-5). Oleh karena
itu, GKPA juga memerhatikan dan
meningkatkan pelayanan kepada anak-anak. GKPA melayani anak-anak ini
dalam ibadah anak-anak sekolah Minggu. GKPA tidak mengabaikan pelayanan
anak-anak ini sebab mereka juga bagian dari anggota tubuh Kristus. Apalagi 20
tahun ke depan, anak-anak itu akan menjadi pemuda-pemudi dan generasi penerus.
Pada masa ini anak-anak
mengalami pembentukan dan perkembangan karakter yang paling menentukan. Karena
itu, pembentukan karakter anak-anak harus sungguh-sungguh dipersiapkan agar
nantinya mereka menjadi pelaku Firman dalam waktu dan ruang kesibukan mereka.
Ada enam pihak yang memainkan peran penting dan sangat berpengaruh dalam menumbuhkembangkan
karakter serta spiritualitas anak-anak, yakni:
-
Orangtua
anak
-
Gereja
(pejabat dan jemaatnya)
-
Pendeta
-
Guru
Sekolah Minggu
-
Komisi
Anak
-
Pengasuh
anak
b.
Remaja (12-16 tahun)
Persekutuan remaja
gereja sering disebut sebagai kelas katekisasi yang bertujuan untuk
menindaklanjuti pengajaran Firman Tuhan atau iman Kristiani setelah melewati
masa anak-anak. Gereja harus lebih memberikan perhatian yang serius kepada
kelompok remaja gereja karena pada masa ini mereka mengalami masa pubertas atau
transisi yang turut memengaruhi perkembangan mereka secara psikologis. Mereka
perlu dikuatkan dengan Firman Tuhan melalui metode yang relevan sesuai
keberadaan usianya di dalam menghadapi masa perkembangan biologis dan
psikologisnya.
c.
Persekutuan Naposobulung (pemuda) (17-25
tahun – sebelum menikah)
Pemuda GKPA adalah
bagian yang tidak terpisahkan dalam pelasanaan Tri Tugas panggilan gereja. Oleh
sebab itu mereka perlu dibekali dan dikuatkan dalam iman untuk menjalankan
tugas panggilannya, seperti yang diingatkan Paulus kepada Timotius agar mau
melatih diri (1Tim. 4:7b-8). Di setiap jemaat GKPA membuka pelayanan kepada
pemuda dengan nama “Persekutuan Naposobulung GKPA (PN-GKPA). Melalui PN-GKPA
ini GKPA membekali para pemuda Gereja untuk bertumbuh dan berkembang baik
secara iman maupun ilmu pengetahuan. GKPA menyadari mereka nantinya adalah
penerima alih “tongkat gembala” kepemimpinan di Gereja.
Pemuda hidup dalam
berbagai dinamika kehidupan. Oleh sebab itu, dengan peningkatan pelayanan
kepada pemuda, mereka semakin dibentengi dari segala dampak negatif
perkembangan zaman, seperti pengaruh negatif globalisasi dan yang lainnya.
Dengan pembekalan spiritualitas berbasis Alkitab, mereka akan semakin dewasa di
dalam iman, pengharapan, dan kasih (1Kor. 13:13).
d. Persekutuan
Perempuan GKPA (PP-GKPA)
GKPA memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi kaum perempuan GKPA mengambil bagian dalam
pelayanan di tengah-tengah Gereja. Pelayanan kepada kaum perempuan ini disebut
dengan pelayanan Persekutuan Perempuan GKPA. Kegiatan ini biasanya diisi dengan
pembekalan firman Tuhan lalu diikuti dengan latihan koor dan paduan suara. Selain
itu kaum perempuan GKPA juga aktif dalam kegiatan sosial di tengah-tengah
gereja dan masyarakat. Pelayanan ini dilakukan karena GKPA menyadari bahwa
seorang ibu juga berperan sebagai imam (Ul. 6:7-10). Pendidik pertama dalam
hidup seorang anak adalah ibu. Karena itu, peran seorang ibu sangat signifikan
baik dalam perkembangan kognitif – afektif, maupun religiositas (pengenalan
agama-agama di sekitarnya) dan spiritualitas seorang anak. Peran seorang ibu
sungguh penting dalam mempersiapkan anak-anak warga gereja kita – dalam
pertumbuhan spiritualitas mereka 20 tahun ke depan.
Seorang ibu adalah
seorang isteri. Sebagai seorang isteri, ia wajib menolong suaminya dan berhak
mendapat kasih dari sang suami. Ibu sebagai pribadi yang mandiri memiliki
harapan, keceriaan dan persoalan-persoalan tersendiri. Ia adalah seorang ibu,
seorang isteri dan satu pribadi yang selalu berinteraksi dengan orang lain
dalam masyarakat di mana ia berada. Diharapkan ia mampu menjadi garam dan
terang bagi lingkungannya.
e. Persekutuan
Ama (Bapak) GKPA (PA-GKPA)
GKPA menyadari bahwa
peran kaum Ama (bapa) di tengah
keluarga dan gereja menduduki posisi yang sangat penting. Seorang bapa memiliki
peran sebagai imam (Ul. 6:7-10). Dalam masyarakat paternalistic, seorang bapa memiliki otoritas tersendiri dalam
rumah tangga. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, seorang bapa tidak
harus didengar semua yang diucapkannya. Sebagai seorang kepala keluarga,
perannya dalam menciptakan suasana yang baik dan membahagiakan dalam keluarga
begitu penting. Tidak berlebihan bila dikatakan seorang bapa dalam keluarga
merupakan tokoh sentral. Karena ia adalah seorang imam dan teladan yang
bertanggungjawab membawa anak dan isterinya lebih dekat lagi kepada Tuhan.
Karena itu, GKPA
melayani kaum bapa ini dalam pelayanan Persekutuan Ama GKPA yang membekali mereka dengan sharing Firman Tuhan, latihan koor dan kegiatan sosial lainnya. Seorang
bapa adalah juga seorang suami. Sebagai suami, ia wajib mengasihi istri dan ditolong
oleh isterinya. Seorang bapa juga suatu pribadi – dengan segala harapan,
kecerahan dan juga persoalan-persoalannya. Ia adalah seorang bapa dan suatu
pribadi yang selalu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat di mana ia
berada.
f.
Persekutuan Lanjut Usia (Lansia >
60 tahun)
GKPA sebagai gereja
yang dipanggil untuk menyatakan kasih Kristus kepada semua orang tidak dapat
mengabaikan orang yang lanjut usia (Yak. 1:27). Terlebih lagi dalam rangka
meningkatkan kepedulian dan kesejahteraan kehidupan mereka. Semua itu bertujuan
untuk mewujud-nyatakan kasih dan kepedulian Kristus dalam kehidupan keseharian
jemaat dan warga masyarakat. Mereka yang sudah purna bakti dari pelayanan masyarakat
akan terus mendapat perhatian dan pelayanan dari Gereja sebab karena jasa-jasa
merekalah keberadaan gereja saat ini.
5.4.2.3.Ekumene
GKPA adalah bagian dari
gereja yang Esa, kudus dan Am serta yang rasuli. Oleh sebab itu, GKPA tidak
dapat terpisahkan keberadaan dan arti kehadirannya dengan gereja lainnya di
dunia ini. Untuk itu, GKPA harus memberi waktu dan pikirannya serta
partisipasinya dalam kegiatan ekumenis.
GKPA sebagai gereja
terus membangun kerjasama dengan berbagai denominasi gereja baik dalam aras
nasional, regional, dan internasional. GKPA turut aktif dalam semua kegiatan
lembaga ekumenis untuk mendorong persekutuan yang Am di semua umat Kristen. Hubungan
kerjasama dengan berbagai denominasi ini dalam rangka menyatakan kebersamaan
dalam tugas panggilan dan misi Gereja di tengah-tengah dunia ini.
5.4.3.
Bersaksi
Panggilan dan tanggung
jawab untuk bersaksi dan mengabarkan Injil adalah penugasan dari Kristus yang
diembankan kepada jemaat. Melalui kesaksian jemaat secara pribadi dan secara
bersama-sama diharapkan menghadirkan kesukaan yang membebaskan, yaitu:
·
Memberitakan
Kristus yang disalib (1Kor. 1:17, 23),
·
Berita
kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang disediakan bagi manusia (Mrk.
1:15),
·
Pengampunan
dosa dan keselamatan (Lk. 24:27),
·
Kebebasan,
keadilan, kebenaran dan kesejahteraan kepada segala bangsa (Lk. 4:18-21),
kepada segala makhluk (Mrk. 16:15), di seluruh dunia sebagai kesaksian bagi
semua bangsa (Mt. 24:14) sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8), di seluruh alam di
bawah langit (Kol. 1:23), dan sampai akhir jaman (Mt. 28:20), sebagai bagian
dari karya menyeluruh Yesus Kristus (Ef. 1:10, Yoh. 21:24, 2Tim. 4:2).
GKPA dalam kesaksiannya
terpanggil untuk senantiasa berpartisipasi secara positif, kreatif, kritis dan
realistis dalam mendukung pembangunan dan kesatuan bangsa. GKPA sebagai tubuh
Kristus, telah banyak melakukan kesaksiannya di tengah-tengah orang Kristen
Angkola-Mandailing dan masyarakat pada umumnya. Hal itu dilaksanakan sebagai
pewujudnyataan Misio Dei.
5.4.3.1.Lembaga
Pendidikan
GKPA telah mendirikan
lembaga pendidikan di beberapa tempat untuk menolong warga masyarakat dalam
mencerdaskan kehidupan masyarakat. GKPA telah mendirikan Sekolah Pendidikan
Guru Agama Kristen Protestan (PGAK-P) di Sipirok pada 1980-an. GKPA juga mendirikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Berkat di Aek Bingke sejak 1984. Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Hutaraja
Tanotombangan sejak 1992. GKPA menyadari bahwa pembangunan
jemaat Kristen, salah satu yang paling pokok adalah masalah pendidikan. Hal ini
dikaitkan dengan suatu pemahaman bahwa, tujuan pendidikan adalah untuk
memulihkan keadaan manusia pada kodratnya. Pendidikan adalah salah satu alat
untuk mengembalikan citra manusia yang telah hilang karena dosa. Dengan artian
pendidikan bertujuan memulihkan manusia sehingga kembali menjadi segambar dan
serupa dengan Allah. Pemulihan melalui pendidikan meliputi akal budi, jasmani
dan rohani. Berdasarkan pada prinsip untuk memulihkan citra manusia, maka
pendidikan harus dilakukan oleh gereja. Gereja memiliki peran penting dalam
dunia pendidikan, karena gereja dan sekolah tidak dapat dipisahkan. Gereja dan
sekolah memiliki hubungan yang erat, sehingga dapat diibaratkan seperti keping
mata uang. Hal ini didasarkan pada pemahaman, bahwa pendidikan tidak hanya
mencerdaskan manusia secara rasional, tetapi juga memiliki spiritualitas
kristiani. Pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana untuk melindungi anak-anak
dari nafsu duniawi, sekaligus membimbing ke arah hidup yang dikehendaki Allah.
Pendidikan yang didirikan oleh gereja akan menghasilkan manusia yang mempunyai
kepribadian Kristiani.
5.4.3.2. Balai Pengobatan
Kesehatan Masyarakat (BPKM), Panti Asuhan, dan Asrama-Asrama
Dalam tri tugas gereja
salah satu tugas dan panggilan gereja di tengah-tengah dunia adalah diakonia. Model diakonia gereja bersifat karitatif dan transformatif. Pelayanan
rumah sakit, panti asuhan dan asrama-asrama merupakan bentuk-bentuk diakonia yang dilakukan oleh GKPA dengan
tujuan untuk menolong warga masyarakat. Selain sebagai bentuk diakonia sosial,
keberadaan Balai Pengobatan Kesehatan Masyarakat, Panti Asuhan maupun asrama
sebagai wujud kesaksian gereja di tengah masyarakat. GKPA mendirikan BPKM Muara
Sipongi pada 1981 sebagai alat kesaksian GKPA kepada masyarakat yang mayoritas
muslim.
GKPA mendirikan Panti Asuhan
Debora di Silangge Sipirok atas dasar menolong mereka yang terabaikan dan para
yatim piatu. Hal itu sesuai dengan teologi kitab Yakobus yang menyatakan ibadah
yang sejati adalah mengunjungi para janda dan yatim piatu (Yak. 1:27). Sebagai
bentuk kesaksian di tengah-tengah dunia, gereja tidak berpangku tangan dengan
masalah-masalah sosial di sekitarnya.
5.4.3.3.
Mengembangkan Penginjilan berbasis Jemaat
Penginjilan adalah
memberitakan kabar sukacita kepada orang lain. Gereja sebagai pengikuti Kristus
mendapat mandat untuk menyampaikan berita sukacita ini (Mrk. 16:15-20). Oleh
karena itu GKPA tidak boleh mengabaikan tugas pokok ini, baik dalam perkataan
maupun perbuatan. Penginjilan adalah keharusan bagi Gereja (bd. 2Tim. 4:2,
1Kor. 9:16). Penginjilan ini disampaikan sesuai dengan konteks di mana Injil
itu diberitakan.
GKPA dalam pemberitaan
Injil tidak boleh puas dengan pendekatan yang dilakukan selama ini. Tanda
kesetiaan kepada Raja Gereja, yaitu Kristus Yesus, tugas ini kita jalankan
bukan hanya melalui kegiatan yang sifatnya rutinitas saja, tapi perlu program
yang jelas dan terukur untuk menjalankan penginjilan ke dalam dan ke luar. Dengan
demikian kehadiran GKPA di tengah-tengah dunia ini diharapkan mampu memberikan
dampak positif bagi lingkungannya, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Tanggung jawab
menjalankan misi ini adalah tanggung jawab seluruh anggota jemaat GKPA, bukan hanya
tanggung jawab pendeta, guru jemaat, bibelvrow, diakones dan sintua. Penginjilan
berbasiskan jemaat yang artinya jemaatlah sebagai ujung tombak pelaksanaan
program penginjilan itu, bukan hanya tanggung jawab Pucuk Pimpinan GKPA. Pucuk
Pimpinan GKPA berperan sebagai penggerak, motor, perumus kebijakan, pemikir dan
Pembina. Dengan dukungan penuh jemaat GKPA akan sangat menentukan keberhasilan
tugas penginjilan. Untuk itu dibutuhkan kesadaran setiap warga GKPA baik secara
pribadi maupun bersama-sama dalam tugas panggilan ini. Mereka diharapkan mampu
menjadi insan-insan missioner untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.
GKPA bertanggung jawab
dalam melaksanakan penginjilan ke luar, tidak hanya berpusat ke dalam (Mt.
28:19-20).GKPA dipanggil untuk membuka diri terhadap tanggung jawabnya pergi ke
luar, ke tempat di mana Injil itu belum pernah diperdengarkan. Oleh karena itu,
GKPA sudah saatnya menjadi gereja dewasa, bukan hanya memikirkan tetapi juga
berbuat dalam penginjilan ke luar.
Untuk merealisasikan
hal ini GKPA perlu memikirkan sarana yaitu membentuk Tim, komisi, atau Seksi
Pekabaran Injil di lingkungan GKPA. Mereka bertugas memikirkan dan merencanakan
langkah-langkah kongkrit kegiatan Pekabaran Injil di lingkup GKPA maupun di luar GKPA.
5.4.3.4.Pelayanan
Pastoral/Penggembalaan
Gembala dalam arti
hurfiah adalah seorang yang ditugasi menggembalakan ternak (kambing, domba). Pekerjaan
ini mengemban panggilan yang banyak tuntutannya, misalnya mencari rumput dan
air di daerah yang kering dan bebatuan (Mzm. 23:2), melindungi kawanan domba
gembalaannya terhadap cuaca buruk dan binatang buas (Am. 3:12), mencari dan
membawa kembali setiap domba yang sesat (Yehz. 34:8; Mt. 18:12).
Gembala upahan
bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas domba yang hilang (Kej. 31:39),
kecuali ia berhasil mengajukan pembelaan yang membuktikan, bahwa suatu
peristiwa benar-benar telah terjadi di luar pengetahuannya atau kemampuannya
(Kej. 22:10-13).
Dalam PL Allah sering
digambarkan sebagai gembala Israel (Kej. 49:24). Dalam PB tugas Mesias disebut
sebagai Gembala, bahkan Gembala Agung (Ibr. 13:20; 1Ptr. 5:4; 2:5). Mengacu
kepada Yohanes 10 yang rinciannya sepadan dengan Yehezkiel 34, disebutkan
bagaimana gembala yang sesungguhnya, gembala yang baik, dan tugas inilah yang
diamanatkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya termasuk kepada rasul Petrus
(Yoh. 21:15-18), yang diterjemahkan sebagai bentuk pelayanan pastoral atau
penggembalaan, pelayanan pribadi, pendampingan, dan topangan lewat doa bagi
setiap warga jemaat ketika mereka mengalami suka cita maupun dalam menghadapi
berbagai persoalan.
5.4.4.
Pelayanan
Gereja sebagai
perwujudan tubuh Kristus dipanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mrk.
10:45). Pelayanan gereja bukan hanya dialamatkan kepada manusia, tapi juga
terhadap ciptaan yang lain (Kej. 1:26-28; 2:15; Mzm. 8), sehingga keadilan dan
kesejahteraan sebagai wujud kasih Allah bagi dunia menjadi milik bersama
seluruh ciptaan, tanpa membedakan suku, ras, agama, dan budaya (Yer. 22:3; Ams.
5:15-24). Pelayanan gereja menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang sedang
berada dan berkarya, sekaligus menantikan kesempurnaan kehadiran-Nya kedua kali
yang penuh dengan kebenaran dan kemuliaan (Luk. 4:18-21; 2Ptr.3:13).
5.4.4.1.Jemaat
yang diakonal
Salah satu tugas pokok
panggilan gereja adalah diakonia. Tugas
ini berhubungan erat dengan gereja sebagai persekutuan dan kesaksian. Diakonia merupakan kesaksian nyata
tentang kasih Allah terhadap dunia ini, kesaksian gereja yang bersekutu sebagai
tubuh Kristus. Tentang diakonia ini
tentu ada dasar teologisnya. Dengan dasar itulah kita dapat membedakan
bentuk-bentuk pelayanan dengan yang dilakukan lembaga-lembaga lainnya di dunia
ini.
Diakonia dalam jemaat adalah melayani sesama
manusia berdasarkan kehidupan Yesus Kristus. Kehidupan Yesus Kristus menjadi
model dalam pelayanan kita, dengan jemaat sebagai perpanjangan tangan Yesus
Kristus. Singkatnya, diakonia adalah
Injil yang dioperasionalkan. Diakonia
tidak hanya ditujukan ke dalam dan ke luar, tapi ke dunia, kepada sesama
manusia yang menderita dan membutuhkan. Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain dan menempatkannya pada posisi
yang benar di hadapan Allah dan sesama manusia serta memedulikan keberadaan
umat manusia secara utuh, yaitu memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan
kebutuhan sosial serta ekonomi. Pelayanan ini menjadi bagian yang integral
dalam kehidupan GKPA.
Hidup diakonia inilah salah satu bukti bahwa jemaat GKPA
adalah gereja yang peduli dan menjadi pembawa keteduhan dan kenyamanan di
tengah-tengah dunia ini. Untuk merealisasikan bidang ini hendaknya
jemaat-jemaat GKPA membentuk komisi diakonia
atau seksi dengan progam-program yang tidak hanya sekedar Serikat Tolong
Menolong (STM), tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menjawab pergumulan warga
jemaat dan masyarakat sebagaimana Yesus Kristus kehendaki.
5.4.4.2.
Pelestarian Lingkungan Hidup
Allah adalah Pencipta
segala sesuatu. Kristus dan Roh Kudus hadir di dalam ciptaan, mengikat semua
manusia dan seluruh ciptaan sehingga menjadi baik dan satu (Kej. 1). Gereja
memahami dirinya sebagai hamba, pelayan dan penatalayan ciptaan. Gereja
terpanggil untuk menghormati, menghargai, mengasihi dan berkarya untuk
memperbaiki serta menyembuhkan cipataan sebagai pendahuluan dan petunjuk arah
kepada persekutuan di dalam Kristus (Ef. 1:10).
Dengan aturan sabat,
tahun sabat dan tahun Yobel, Kitab Suci menunjukkan bagaimana mendamaikan
ekonomi dan ekosistem, bagaimana menciptakan tatanan baru manusia dan
masyarakat (Kel. 23; Im. 25). Secara efektif, ekonomi dan penatalayanan
sumber-sumber alam digabungkan, hukum dan kemurahan, disiplin dan keadilan
sosial saling melengkapi. Jelaslah bahwa visi Kitab Suci tentang hubungan
ekonomi dan ekosistem adalah hubungan yang tidak terputuskan.
Tugas gereja terhadap
kehidupan semua ciptaan, selaku persekutuan orang-orang yang telah ditebus
adalah tanda ciptaan baru dalam Kristus. Dipanggil oleh Allah untuk berperan
dalam pembaruan ciptaan. Dengan dikuatkan oleh Roh Kudus, orang-orang Kristen
dipanggil untuk bertobat dari penyalahgunaan dan perlakuan kejam terhadap alam.
Perlu juga merefleksikan secara kritis pemahaman Kitab Suci dan sistem teologi
yang telah digunakan untuk membenarkan penyalahgunaan dan perlakuan buruk
terhadap alam tersebut. Suatu apresiasi terhadap teologi tentang ciptaan dan
kesadaran yang segar akan tanggung jawab orang Kristen terhadap seluruh
ciptaan, termasuk melestarikan lingkungannya, dapat, memperdalam iman dan
memperkaya kehidupan gereja.
Gereja perlu terus
menerus berpihak kepada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (KPKC). Roh
Kudus membuka mata gereja untuk melihat ketidakadilan dunia, memperkokoh gereja
untuk menentang dan berjuang melawan penindasan serta perusakan ciptaan Allah. Roh
Kudus memanggil gereja untuk bekerja bersama ke arah sistim sosial yang adil
dan ke arah lingkungan yang berkelanjutan. Bekerja ke arah keadilan,
perdamaian, dan keutuhan ciptaan akan menolong gereja memahami tugasnya di
dunia ini.
Pembaruan dapat
dilakukan melalui hubungan yang benar dengan seluruh ciptaan. Kehadiran Ilahi
dari Roh Kudus dalam ciptaan mengikat gereja dengan seluruh umat manusia dan
seluruh kehidupannya. Ada salah kaprah yang menuntut adanya pengembangan
teologi baru tentang ciptaan. Semua ini telah tersurat dalam Firman Allah. Bagaimana
gereja berperan secara aktif di dalam membarui ciptaan sebagai bagian dari
misinya dan sebagai suatu pemahaman ekumenis baru tentang hubungan ekologi dan
ekonomi.
5.4.4.3.
Melestarikan Budaya Angkola-Mandailing
Gereja yang hidup dan
berkarya di tengah-tengah dunia adalah sungguh-sungguh menjadi gereja Tuhan
Yesus, sebab Gereja adalah buah karya penyelamatan Allah yang difungsikan oleh
Allah untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah atas seluruh umat
manusia (baca Mt. 4:18-22, Kis. 13:2, 17:18; 2Tim. 1:7-9, 2:3). Dengan demikian
usaha yang dilakukan di dalam dan oleh Gereja senantiasa mengacu pada karya
penyelamatan Allah dalam relasi dinamis dengan konteks kehidupan manusia untuk
menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini. Untuk pencapaian karya dan tugas ini,
gereja yang bertumbuh dalam kebudayaannya tidak boleh tercabut dari akar budaya
itu dan juga tidak boleh bersifat eksklusif dan introvert (tertutup terhadap orang lain atau dunia luar). Hal
seperti ini dalam sejarah misi gereja disebut dengan kontekstualisasi teologi. Gereja
hadir sesuai konteksnya.
Dalam sejarah gereja
dan misi penginjilan di dunia, salah satu tantangan terbesar adalah melihat
budaya sebagai kekafiran yang harus diberantas. Penolakan terhadap Kristus
diakibatkan karena sifat dan sikap para penginjil tersebut yang terlalu anti pati
kepada budaya masyarakat setempat di mana penginjilan itu dilaksanakan.
Kontekstualisasi itu
menjadi hal yang sangat penting dalam rangka misi Injili Gereja dengan tujuan
mampu mendaratkan teks dengan konteks. Kontekstualisasi teologi adalah
bagaimana teologi bersikap terhadap kebudayaan dan adat istiadat sehingga
memberikan sumbangan pemikiran bagi masalah-masalah yang dihadapi warga di
tengah-tengah kehidupan yang serba majemuk. Tetapi gereja tidak boleh mengarah
kepada sinkritisme teologi. Memuji Tuhan dengan cara setempat dan
alat yang dimiliki masyarakat sesuai dengan budaya yang ada di setiap daerah
adalah sah-sah saja . Hal ini tidak bertentangan dengan Kitab Suci. Ada baiknya
jika kita dapat menggali semua unsur budaya “Angkola” dan “Mandailing” untuk
kepentingan misi gereja. Sosial budaya dapat dipakai secara positif di dalam
mengemban tugas misi gereja sepanjang masa. Ini merupakan peluang bagi gereja.
Biarlah semua cara dan alat yang kita pakai dikuduskan oleh Firman Tuhan,
sebagaimana Timotius menjadi perabot rumah yang mulia, yang telah dikuduskan,
dipandang layak untuk dipakai tuannya (bd. 2Tim. 2:21).
5.4.4.4.
Membangun kerjasama dengan Mitra
GKPA adalah bagian
integral dari gereja-gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia. Ia tidak
terpisahkan dari masyarakat di mana warganya hidup dan berada. Gereja dipanggil
dari dunia dan ditempatkan di dalam dunia. Di dunialah gereja dipanggil untuk
menyatakan kasih Allah (Luk. 10:25-37; Gal. 6:10). Dalam bidang ini peran serta
warga sangat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
GKPA bermitra dalam
rangka mewujudnyatakan panggilannya bersama dengan lembaga ekumene, pemerintah
dan lembaga lainnya. Ini dapat dilakukan jika GKPA dan warganya mampu
meningkatkan hubungan yang baik dengan warga masyarakat yang plural ini,
termasuk dengan agama lain. Di dalam bermitra tentu diharapkan juga mampu
bersikap kritis, realistis, konstruktif dan dinamis serta mampu menjadi garam
dan terang dunia. Itu berarti GKPA sebagai gereja harus mampu dan berani
menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Warga jemaat selaku orang percaya dapat menunjukkan
bahwa kehadirannya di tengah-tengah masyarakat adalah sebagai tangan Tuhan
untuk menyatakan kasih serta menyuarakan kebenaran dan keadilan.
5.4.5.
Optimalisasi Sumberdaya (Dukungan
Pelaksanaan Program)
Dalam merealisasikan
tugas panggilan-Nya, GKPA membutuhkan manajemen (Yak. 4:14-17). Yang dimaksud
manajemen adalah keseluruhan upaya yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, dan perbaikan dari berbagai sumber daya
untuk mencapai tujuan sesuai dengan kaidah serta tata nilai yang ada. Sumber daya yang menjadi perhatian adalah
“manusia”, teknologi (perangkat lunak dan keras), dana, lahan, informasi,
sarana prasarana, dan jejaring kerja. Semua itu menjadi faktor pendukung utama
dalam melaksanakan visi misi GKPA. Semua harus diperhatikan, sebab jikalau
salah satu terputus akan mengganggu yang lain. Semua sumber daya saling terkait.
Dalam pelaksanaannya sumber daya manusialah faktor utama dan yang paling
strategis dalam melaksanakan suruhan dan panggilan gereja itu. Itulah sebabnya
perlu diprogramkan usaha dan cara untuk meningkatkan peran dan partisipasi
aktif seluruh warga jemaat GKPA.
5.4.5.1. Meningkatkan
Sumber Daya Manusia (Kualitas dan Kuantitas)
Faktor sumber daya
manusia adalah faktor yang sangat penting dan strategis (Ams. 1:7, 9:10). Para
pelayan GKPA dan juga warga jemaat tanpa terkecuali sebagai bagian dari tubuh
Kristus di dunia ini terpanggil dalam merealisasikan visi misi GKPA (bd. 1Ptr.
2:9). Agar hal ini tercapai diperlukan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang
handal dengan menjalankan fungsi tujuh P
(Perencanaan, Penerimaan, Pengembangan,
Pembudayaan, Pendayagunaan, Pemeliharaan
dan Purna Bakti).
Meningkatkan kualitas
dan kuantitas sumber daya manusia perlu perhatian yang serius, begitu juga
dalam memberdayakan potensi jemaat. Diperlukan perencanaan SDM, analisis
rancang bangun pelayanan GKPA. Rekrutmen dan seleksi pelayan serta pegawai
(1Kor. 9:13). Dalam peningkatan SDM ini harus tetap bersifat teologis
alkitabiah di dalam takut akan Tuhan sebagai pemilik dan kepala Gereja.
5.4.5.2. Meningkatkan
pengelolaan dana
Gereja sebagai
organisasi pada umumnya membutuhkan dana dalam menjalankan semua kegiatan
operasionlanya. Sumber dana tersebut berasal dari persembahan jemaat, bantuan
mitra, hasil usaha dan lain-lain. Dana tersebut harus dikelola dengan
sebaik-baiknya sebagai perwujudan tugas dan panggilannya (Mt. 25:21). Dalam
pengelolaan tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
·
Pengadaan
dana bagi pelaksanaan tugas panggilan gereja (1Kor. 16:1)
·
Manjemen
keuangan.
Perencanaan keuangan
gereja dilaksanakan berdasarkan penghayatan terhadap Firman Allah sebagaimana
tertulis dalam Lukas 14:28-30 tentang perlunya perencanaan anggaran, baik untuk
penerimaan ataupun pengeluaran (belanja). Dalam pengelolaannya diperlukan
sistim administrasi yang efisien dan efektif sebagai alat dalam menjalankan
siklus akuntansi (Luk. 16:1 dst), sehingga segala transaksi dapat
dipertanggungjawabkan melalui laporan keuangan yang diakui oleh publik,
khususnya warga jemaat (Flp. 4:10-20; Mt. 25:12). Untuk mengurangi tingkat
ketidakefisienan pengelolaan keuangan diperlukan juga pengawasan baik yang bersifat reguler maupun insidental.
5.4.5.3. Meningkatkan
pengelolaan sarana dan prasarana
Gereja di dalam
menunaikan tugas dan panggilan-Nya di dunia ini membutuhkan sarana prasarana. Yang
dimaksud sarana di sini terdiri dari bangunan, tanah atau lahan, serta peralatan-peralatan
kerja. Sedangkan prasarana meliputi metode administrasi, rapat-rapat, sinode
dan sidang-sidang dalam berbagai kepengurusan.
Sarana dan prasarana
dibutuhkan sebagai faktor penunjang pelaksanaan program. Pengadaan dan
pengelolaannya penting untuk menunjang keberhasilan visi misi GKPA. Dalam
setiap program perlu jelas upaya pengadaan, pemeliharaan atau perawatan serta
peningkatan mutu seluruh sarana prasarana tesebut.
5.4.5.4. Meningkatkan
dan mengelola Organisasi
Dalam rangka mencapai visi
GKPA perlu ada aktivitas pengorganisasian. Pengorganisasian ini merupakan
proses menciptakan hubungan-hubungan antara fungsi-fungsi, personalia, atau
daya, dana, sarana dan faktor-faktor fisik lainnya agar kegiatan dapat
dilaksanakan, disatukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan bersama GKPA.
Pengorganisasian yang ada selama ini perlu terus menerus ditingkatkan dan
dibenahi, supaya seluruh petugas dan warga jemaat menjadi satu kekuatan yang
kompak serta harmonis dalam mengemban tugas tanggungjawabnya kepada Yesus
Kristus Raja Gereja.
Pengorganisasian pada
dasarnya telah diatur dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA, demikian juga
dengan peraturan lainnya seperti, seksi, badan, dll. Oleh karena itu, untuk
menjalankan misi Allah di dunia ini, setiap warga, para pelayan dan petugas di
GKPA wajib berpedoman kepada Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA serta peraturan
lainnya. Jika Tata Gereja dan Tata Laksana, peraturan badan seksi dan peraturan
lainnya ternyata membutuhkan peninjauan, hal itu dapat dilakukan sesuai dengan
mekanisme yang ada. Visi dan misi GKPA yang telah ditetapkan juga membutuhkan
evaluasi agar tetap relevan dengan semangat ecclesia
reformata semper reformanda.
5.4.5.5. Meningkatkan
Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi dan Pengawasan
Gereja juga merupakan
sebuah organisasi. Gereja bertugas untuk bersekutu, bersaksi dan melayani. Untuk
menjalankan ketiga tugas pokok ini, gereja memerlukan perencanaan yang matang,
pelaksanaan yang saling berkoordinasi dan evaluasi yang berfungsi memperbaiki
kualitas dari ketiga unsur utama tersebut secara terus-menerus. Allah seperti
yang kita ketahui dalam sejarah kehidupan dan perjalanan bangsa Israel selalu
menguji bangsa-Nya; apakah mereka setia pada perencanaan yang mereka sepakati
bersama sejak zaman nenek moyang mereka. Jika mereka setia pada kesepakatan
mereka bersama Allah maka bangsa itu akan sejahtera. Begitu juga sebaliknya
(Kej. 1:31; 11:4; Kel. 41:35-36; Yer. 22:16; Ams. 6:6-8; Neh. 2:11-20; 1Taw.
22:1-19; Luk. 14:25-33; 2Tim. 4:7-8).
GKPA selaku gereja
terlibat dalam misi Allah di dunia ini. Misi Allah adalah menghadirkan Kerajaan
Allah dalam sejarah dunia ini yang memuncak pada peristiwa kelahiran,
penderitaan, kematian, kebangkitan Yesus dan terus berlangsung sampai pada
kedatangan-Nya kali kedua. Misi Allah ini mencakup beberapa aspek, seperti:
Ø
pemulihan
seluruh ciptaan,
Ø
aspek
pembebasan manusia dari segala belenggu ketidakadilan, kemiskinan, penindasan,
penderitaan dan kebodohan.
Ø
aspek
perdamaian serta rekonsiliasi dengan Allah dan sesama manusia,
Ø
aspek
solidaritas dalam pergumulan kehidupan manusia.
Penginjilan adalah
bagian integral dari misi Allah. Gerejalah yang mendapat mandat untuk
pemberitaan firman Allah ini. GKPA adalah bagian dari perwujudan gereja Kristus
untuk terlibat menjalankan misi Allah di dunia ini, yaitu di tengah-tengah
realitas dan konteks tertentu. Untuk inilah GKPA perlu memperlengkapi warga
jemaat dalam menjalankan panggilan dan suruhan-Nya.
BAB II
GAMBARAN UMUM
GEREJA KRISTEN
PROTESTAN ANGKOLA
3.1.
Gambaran Kinerja Gereja Kristen Protestan AngkolaTahun 2011-2015
Untuk dapat merekam pencapaian prestasi Gereja Kristen
Protestan Angkola di semua aspek
sebagai suatu keutuhan lembaga, disusunlah instrumen khusus dengan 8 (delapan)
faktor yang dijabarkan menjadi 36 (tigapuluh enam) variabel dan 111 (seratus
sebelas) pertanyaan indikator sebagai berikut:
Tabel 1. Uraian Faktor dan Variabel [39]
No.
|
Faktor
|
Variabel
|
1.
|
Fokus Kepada Jemaat (mencakup
kapasitas Gereja Kristen Protestan Angkola dalam pelayanan kepada anggota
jemaatnya, perumusan kebijakan dan visi ke depan)
|
1.1. Penampung aspirasi
jemaat
1.2. Penanganan keluhan
jemaat
1.3.Komunikasi Pimpinan Gereja
Kristen Protestan Angkola dengan jemaatnya
1.4. Pusat data keberadaan
jemaat
1.5.Upaya pengembangan &
pembelajaran jemaat
1.7. Pembenahan organisasi dan
hubungan kerjasama
|
2.
|
Kepemimpinan
(mencakup
kapasitas Gereja Kristen Protestan
Angkoladalam menggerakkan anggota untuk mencapai tujuan pendidikan Kristen)
|
2.1. Memotivasi jemaat
2.2.
Mensosialisasi ide-ide antisipasi ke depan
2.3. Menganalisis
masalah
2.4. Membuat keputusan
yang relevan
|
3.
|
Manajemen
Sumberdaya (mencakup kapasitas Gereja
Kristen Protestan Angkoladalam
mendayagunakan sumber-daya yang tangible maupun intangible)
|
3.1. Pengelolaan aset (harta milik)
3.2. Pengelolaan
keuangan
3.3. Pengelolaan Sumberdaya Manusia
3.4. Pengelolaan citra
positif lembaga
|
4.
|
Good Governance (mencakup kapasitas Gereja
Kristen Protestan Angkoladalam mengelola semua proses manajemennya)
|
4.1 Tranparency
(Keterbukaan)
4.2. Independency
(Kemandirian)
4.3. Acountability
(Tanggunggugat)
4.4.
Responsibility(Tanggungjawab)
4.5. Fairness
(Keadilan)
|
5.
|
Mengelola
Perubahan (mencakup kapasitas Gereja Kristen Protestan Angkoladalam mengantisipasi
perubahan dan membuat perubahan ke arah yang postif)
|
5.1. Adaptasi
5.2. Daya Inovasi
5.3.
Daya antisipasi terhadap perubahan masa depan
5.4. Membangun Jejaring Kerja
5.5.
Menyiapkan perubahan-perubahan positif dalam
tubuh Gereja Kristen Protestan Angkola
|
6
|
Penyelenggaraan Persekutuan
(mencakup kapasitasGereja Kristen Protestan Angkola dalam mememenuhi kebutuhan persekutuan jemaatnya)
|
6.1. Kebaktian Minggu
6.2. Aktivitas Kategorial (Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Wanita, Bapa, Usia Lanjut)
|
7
|
Penyelenggaraan Kesaksian
(mencakup kapasitas Gerja Kristen Protestan Angkoladalam melaksanakan aktivitas kesaksian sebagai gereja “misi”)
|
7.1. Membangun hidup yang sesuai firman Tuhan
7.2. Membangun jemaat yang
bersaksi dan
memberitakan injil
7.3. Aktivitas penggembalaan
7.4. Membangun partisipasi warga Jemaat dalam hidup
berbangsa dan bernegara
|
8
|
Aktivitas Pelayanan
(mencakup kapasitas Gereja Kristen Protestan Angkoladalam melaksanakan aktivitas pemeliharaan dan perhatian khusus serta
pengembangan kualitas jemaat)
|
8.1. Lingkungan hidup
8.2. Pendidikan dan Pengajaran
8.3. Peningkatan Kesejahteraan
8.4. Aksi Kasih
8.5. Budaya
|
Dari studi yang ada,
delapan faktor di atas
mengandung unsur: (1) syarat mendapatkan sertifikasi kualitas manajemen
standard internasional, (2) prinsip-prinsip pengelolaan dan kepengurusan
organisasi yang baik (good governance), (3) kemampuan organisasi
mengantisipasi masa depan, serta (4) penyelenggaraan panggilan utama lembaga
gereja (tri tugas panggilan gereja).
Selanjutnya berdasarkan instrumen yang sudah berbentuk
kuesioner, diberikan kesempatan bagi masing-masing pihak yang mewakili stakeholders (pemangku kepentingan) Gereja
Kristen Protestan Angkola untuk
memberikan penilaian. Dari kuesioner
yang masuk dan telah mewakili responden di semua wilayah pelayanan Gereja Kristen Protestan
Angkola bahkan ada juga dari
Pemangku Kepentingan Eksternal, didapat suatu data seperti tercantum dalam tabel berikut ini:
No
|
Faktor yang dinilai
|
Nilai (skala 0-5)
|
1
|
Fokus Kepada Jemaat
|
2.54
|
2
|
Kepemimpinan
|
2.39
|
3
|
Manajemen Sumberdaya
|
2,71
|
4
|
Pengelolaan Lembaga Yang Baik (Good Governance)
|
2.80
|
5
|
Mengelola Perubahan
|
2,72
|
6
|
Penyelanggaraan Persekutuan
|
3,13
|
7
|
Penyelenggaraan Kesaksian
|
2,56
|
8
|
Penyelenggaraan Pelayanan
|
2,41
|
Rata-rata
|
2,66
|
Dari tabel di atas dapat
dilihat bahwa angka rata-rata penilaian pemangku kepentingan terhadap kinerja Gereja
Kristen Protestan Angkola di tahun 2015
ini adalah dari skala 0-5. Nilai ini
menunjukkan masih di bawah angka cukup
(3). Untuk lebih memaknai angka-angka tersebut, berikut adalah bentuk
grafiknya.
Grafik 2. Kompilasi Hasil
Penilaian Kinerja Gereja Kristen Protestan Angkola
Dari grafik di atas
tampak bahwa kinerja yang dimiliki Gereja
Kristen Protestan Angkola di mata
pemangku kepentingannya rata-rata 2,66, masih di bawah nilai “cukup” (skor
= 3). Ada satu faktor yang dinilai di
atas “cukup” yaitu Penyelenggaraan Persekutuan (3,13). Ke tujuh faktor lain dinilai masih
“kurang dari cukup”. Berdasarkan
urutannya kelima faktor yang dinilai kurang dari cukup adalah: Pengelolaan
Lembaga Yang Baik (2,80), Mengelola Perubahan (2,72), Manajemen Sumber daya
(2,71) Penyelenggaraan Kesaksian (2,56), Fokus Kepada Jemaat (2,54), Penyelenggaraan Pelayanan (2,41), dan
Kepemimpinan (2,39).
Dengan fakta yang ada di
atas maka dapat dikatakan bahwa mayoritas faktor di dalam Gereja Kristen
Protestan Angkola membutuhkan pembenahan, agar dapat memenuhi harapan Pemangku
Kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola karena masih kurang dari nilai “baik sekali” (skor
= 5). Kalaupun sudah ada satu faktor yang dinilai cukup, namun masih dibawah
nilai Baik (skor = 4) maupun Baik Sekali (skor = 5).
Untuk dapat memahami
lebih mendalam apa saja hal-hal yang diharapkan oleh Pemangku Kepentingan Gereja
Kristen Protestan Angkola maka berikut
adalah ringkasan dari hasil kompilasi Kuesioner, Fokus Diskusi Kelompok (Focus Group Discussion – FGD) dan
Wawancara Mendalam (In dept Interview).[41]
3.2.
Harapan-harapan Pemangku Kepentingan Terhadap
Gereja Kristen Protestan Angkola
Dari semua masukan Pemangku Kepentingan Gereja
Kristen Protestan Angkola , baik
internal maupun eksternal maka dapat diidentifikasi harapan-harapan mereka seperti
terlampir. Secara keseluruhan harapan-harapan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi:
3.2.1. Umum:
Pada umumnya pemangku kepentingan Gereja Kristen
Protestan Angkola sangat mengharapkan
adanya pembaruan kualitas secara
signifikan dari eksistensi Gereja Kristen Protestan Angkola agar dapat lebih optimal menjalankan tugas dan
panggilannya sebagai Gereja di tengah-tengah zaman ini. Tri Tugas Panggilan
Gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani) diharapkan dapat dioptimalkan lebih
berkualitas dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di
eksternal. Pemangku kepentingan juga berharap agar GKPA dapat bangkit dan
berperan di tengah-tengah masyarakat melalui pelayanan yang holistik, sehingga
pada gilirannya GKPA dapat menjadi gereja yang berdampak positif.
3.2.2.
Aspek Spiritual:
Pemangku
kepentingan Gereja Kristen
Protestan Angkola mengharapkan
adanya pengembangan teologi khas
GKPA. Sangat perlu penekanan penggunaan Alkitab, Konfesi, Ruhut-ruhut Parmahanion dohot
Pamincangon (RPP) GKPA,
dan Liturgi di semua jemaat GKPA,
sehingga bisa menjawab persoalan yang timbul, akan tetapi juga untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang tidak
perlu.
3.2.3.
Aspek Arahan Organisasi:
Diperlukan
adanya Visi Gereja Kristen
Protestan Angkola yang teologis
namun lebih “membumi” dan dapat diukur dalam rentang waktu yang jelas. Dengan
demikian semua pemangku kepentingan yang mayoritas bukan dari kalangan teologi
akan lebih paham, yakin dan semangat untuk bersatu dan secara bersama-sama
mencapai Visi tersebut. Juga dibutuhkan rumusan Misi yang lebih mudah dipahami
oleh seluruh pemangku kepentingan sebagai payung atau induk berbagai kebijakan organisasi dan tetap dalam
koridor teologis Gereja.
3.2.4.
Aspek Jabaran Misi:
Pemangku kepentingan merasakan kebutuhan mendesak agar ada
jabaran Misi yang selama ini kurang di eksplisitkan, yaitu: Tata Nilai dan
Strategi Utama lembaga Gereja
Kristen Protestan Angkola. Hal ini dimaksudkan agar semua telenta yang
dimiliki dapat disatukan untuk bersinergi dan dioptimalkan demi mencapai Visi
bersama.
3.2.5.
Aspek Kepemimpinan:
Di semua aras dari Jemaat dan juga lembaga-lembaga di bawah
naungan Gereja Kristen Protestan Angkola dirasakan masih sangat membutuhkan pemimpin yang
kuat, berintegritas, profesional dan berhati gembala. Juga dibutuhkan pemimpin
yang memiliki kemampuan strategis yang mumpuni serta berorientasi kepada visi (strategic and vison driven leadership).
Menghadapi tantangan ke depan, Gereja Kristen Protestan Angkola memerlukan para pelayan (penuh waktu dan paroh waktu) yang tangguh dan handal.
3.2.6.
Aspek Infrastruktur Organisasi:
Melihat
pertumbuhan jemaat yang relatif
lamban maka perlu dipikirkan program pembinaan dan missi untuk percepatan
pertumbuhan jemaat. Pemangku
Kepentingan Gereja Kristen
Protestan Angkola juga menekankan
aspek perlunya pengelolaan semua sumberdaya dengan efektif dan efisien termasuk
di dalamnya sumberdaya internal dan eksternal Organisasi. Sumberdaya internal,
baik yang berwujud (Keuangan, Sumber Daya Manusia, Teknologi, Tanah, Gedung,
Alat Transportasi, Badan Usaha, dll.) maupun yang tidak berwujud (Pengajaran Teologi,
Kebijakan, Struktur Organisasi, Tata Nilai, Nama Baik, Manajemen, Keterpercayaan,
Keahlian, Budaya Kerja, Panggilan, dll.) harus terus menerus dioptimalkan
dengan profesional dan penuh integritas di dalam semangat ke-Kristenan. Begitu juga dengan sumberdaya eksternal berwujud (Mitra,
Donor, Masyarakat) maupun sumberdaya eksternal tak berwujud (Jejaring, Rasa
Percaya Pihak Lain, Keamanan & Kesejahteraan Negara) harus pula
dioptimalkan secara bertanggungjawab untuk mendukung pencapaian Visi bersama.
BAB III
TATA NILAI GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA
Nilai adalah kualitas
suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, dihargai, diinginkan, berguna
atau dapat jadi objek kepentingan. Nilai adalah yang memberi makna bagi hidup. Nilai
itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut perbuatan atau
tindakan. Tata nilai adalah pola cara berpikir atau aturan-aturan yang
mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah laku warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Pada cara berpikir itu tumbuh berkembang dan kokoh sebagai
pedoman dalam bertingkah laku dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam tatanan
kehidupan adat Batak Angkola-Mandailing menganut sistem garis keturunan
patrilineal, yakni anak yang lahir laki-laki atau perempuan memperoleh marga
dari bapak. Satu ciri suku Batak Angkola-Mandailing ialah sistem kekeluargaan
yang disebut Dalihan Natolu (Tungku nan Tiga). Sistem kekeluargaan ini
merupakan tiga tungku/unsur yang merupakan lambang sistem sosial Batak. Ketiga
tungku/unsur itu ialah: 1. Kahanggi (abang-adik) yaitu pihak semarga
turunan laki-laki dari satu kakek. 2.Anak boru
(boru) yaitu semua anak perempuan dari marga laki-laki (saudara perempuan
kahanggi) beserta suaminya dan semua klen suami (wife receiving party). 3.
Mora (mertua) yaitu orang tua dan
saudara laki-laki dari istri. Dalam setiap pelaksanaan adat Batak ketiga unsur
ini mutlak harus hadir. Ketiga unsur ini masing-masing pula punya kewajiban dan
tanggung jawab. Untuk mencapai tujuan kekeluargaan maka ketiga unsur ini
menjadi tatanan yang harus dijalankan oleh setiap orang Batak Angkola-Mandailing
dalam kehidupan sehari-hari.
Daerah
Angkola dikenal dengan sebuah kota kerukunan umat beragama khususnya di
Sipirok. Sipirok dikenal sebagai Sipirok
Na Soli Banua Na Sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan). Na
soli artinya saleh, sentosa, sejahtera dan senang. Banua artinya daerah atau tempat. Na
sonang artinya menyenangkan.[42] Dengan demikian
Sipirok merupakan daerah atau tempat yang menyenangkan, aman dan sentosa karena
terjamin kesejahteraan dan kerukunan hidup di antara sesama masyarakatnya. Sipirok Na Soli Banua Na Sonang dipahami dalam
konteks hubungan antar masyarakat plural yang menyenangkan, membahagiakan
karena ada kedamaian dan kerukunan sehingga kelangsungan hidupnya sungguh
terjamin. Istilah tersebut sepertinya mampu mengispirasikan keadaan surga yang
menyenangkan, membahagiakan masyarakatnya karena penuh kedamaian dan kerukunan.[43] Penekanan inti di
dalam julukan itu adalah sikap masyarakat Sipirok yang cinta kedamaian dan
kerukunan.
Dalam
kehidupan bermasyarakat orang Angkola-Mandailing mengenal falsafah ”Jujur mula ni bada, bulus mula ni dame” (merunut
masalah awal perseteruan, ketulusan awal kedamaian). Falsafah ini
mengajarkan agar setiap masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari
tidak perlu diungkit-ungkit lagi tetapi masalah itu harus diselesaikan secara
damai dan baik. Orang Angkola-Mandailing harus memiliki sikap yang
tulus dalam menghadapi setiap persoalan hidup. Jika ada kesalahan teman segera
dimaafkan dan diperbaiki demi terciptanya keteduhan dan kedamaian. Dengan
demikian orang Angkola-Mandailing lebih dikenal dengan
keramahtamahannya dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.
Gereja Kristen
Protestan Angkola (GKPA) tinggal dan hidup di daerah Angkola-Mandailing. Dengan demikian tata nila budaya Angkola-Mandailing ini sangat kuat mempengaruhi cara kerja dan
pelayanan di GKPA. Tata Nilai (Values) merupakan nilai-nilai yang telah ada
dalam setiap warga jemaat GKPA yang terintegrasi dari tata nilai budaya Angkola-Mandailing itu sendiri. Tata nilai ini merupakan perwujudan dari sikap dan
perilaku seluruh warga jemaat GKPA yang
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian Tri Tugas Gereja secara baik dan benar. Tata
Nilai merupakan fondasi untuk mengintegrasikan pelayanan Tri Tugas Gereja ke
dalam suatu kerangka kerja berorientasi hasil (results-oriented
frame work)
yang kemudian dijadikan basis untuk bertindak dan memberi atau menerima umpan
balik. Tata Nilai mengacu kepada
prinsip-prinsip tuntunan dan perilaku yang melekat di dalam cara GKPA dan para
pelayan Gerejawi melayani seperti yang diharapkan. Tata Nilai
mencerminkan dan memperkuat budaya yang diinginkan oleh GKPA. Tata
Nilai mendukung dan
menuntun pengambilan keputusan setiap pelayan Gerejawi, membantu GKPA dalam
melaksanakan misinya dan mencapai visinya dengan cara yang memadai.
Tata Nilai GKPA ini telah dipelajari, diteliti, didiskusikan melalui studi teologi, bahkan
melalui forum diskusi kelompok yang melibatkan unsur pimpinan tingkat Distrik
1-4, Rapat Majelis Pendeta, Rapat Majelis Pusat GKPA, serta Tim kerja
penyusunan Visi dan Misi GKPA. Dari hasil studi ini maka tata nilai yang
menggerakkan pelayanan di GKPA untuk mencapai visinya melalui misi-misinya
adalah:
1.
Tata Nilai Ideal :
Tata Nilai Ideal ini adalah tata nilai
yang sudah ditetapkan dalam Sinode Am GKPA seperti Konfesi GKPA, Tata Gereja
dan Tata Laksana GKPA, Ruhut-ruhut
Parmahanion/Pamincangon (Hukum Siasat) GKPA, dan Peraturan-peraturan GKPA
lainnya. Tata Nilai Ideal yang menjadi sumber Tata Nilai Incremental dan Operasional.
2.
Tata Nilai Tambahan (Incremental):
2.1. Sola Scriptura, Sola Fidei dan Sola Gratia.
Sola
Scriptura adalah doktrin GKPA yang mengakui bahwa Kitab Suci adalah
"sumber otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam
menentukan, untuk semua doktrin dan praktek (iman dan moral)" dan bahwa
"Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada lagi yang lain-
yang diperlukan untuk iman dan moral."[44] Ajaran ini merupakan ajaran Luther yang
diterapkan dalam tugas pelayanan di GKPA.
Hanya
Alkitab sajalah otoritas yang infalibel
(yang-kalis-dari-kesesatan) yang manusia butuhkan. Alkitab merupakan asas
tunggal tanpa ada yang lain dalam hidup menggereja, berisi semua kebenaran yang
diwahyukan Allah. Pada dirinya sendiri Alkitab cukup memberikan kepada Gereja
kepastian tentang semua kebenaran ilahi.Dalam konteks ini, tidak ada hubungan
antara tradisi dan kepengantaraan Gereja dengan kuasa mengajar (magisterium),
sehingga bagi Luther terbukalah jalan untuk menguji atau menafsirkan secara
bebas. Alkitab menjadi tempat
pengungsian yang terakhir. Alkitab
adalah batu karang, di mana tiada badai dan bencana insani mampu
menggoyahkannya.
2.2. Patanakhon Hata ni Debata tu Luat
Angkola (Menanamkan dan memberitakan Firman Allah ke daerah Angkola)
Semangat
kemandirian dan pelayanan GKPA sangat kuat digerakkan oleh slogan dan motto, “Patanakhon Hata ni Debata tu Luat Angkola”
(Menanamkan dan memberitakan Firman Allah ke daerah Angkola). Dengan motto ini, GKPA mengalami pertumbuhan
yang pesat sejak berdirinya hingga tahun 1990-an. Dalam setiap pelayanan
dan persekutuan, warga jemaat selalu digerakkan oleh semangat ini, sehingga
GKPA bisa eksis hingga saat ini.
2.3. Hormat
Marmora, Manat Markahanggi, Elek Maranak Boru (Hormat
kepada pihak keluarga mertua, hati-hati dengan saudara semarga, dan peduli kepada pihak putri kita).
Falsafah
ini sangat kuat mempengaruhi persekutuan dan pelayanan di tengah-tengah warga
jemaat GKPA. GKPA tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan adat istiadat masyarakat
Angkola-Mandailing. Dalam menjalankan tugas pelayanan
Tri Tugas Gereja, GKPA sangat menghormati keputusan-keputusan Sinode, saling
menghargai sesama warga dan pelayan GKPA serta memberikan pelayanan yang prima
bagi seluruh warga jemaat GKPA.
Dalam perkembangan pelayanan di GKPA, penerapan prinsip-prinsip budaya
Angkola dilaksanakan secara dinamis khususnya dalam pelakasaan pesta dan
perayaan gereja.
2.4. Sipirok na soli Banua na sonang (Sipirok yang saleh dan daerah yang menyenangkan)
Kearifan lokal masyarakat Angkola, yakni: Sipirok na soli Banua na sonang (Sipirok
yang saleh
dan daerah yang menyenangkan) ini menjadi sebuah gaya hidup orang Angkola.
Dalam kehidupan bergereja, warga jemaat GKPA membawa dan mewujudkan kerukunan
dan kedamaian. Sifat dan karakter orang Angkola-Mandailing
yang menyenangkan menjadi kekuatan utama dalam persekutuan sesama warga jemaat
dan masyarakat lainnya.
3. Tata Nilai Operasional
Dalam rangka mewujudnyatakan Tata
Nilai ini, GKPA melakukannya dengan sikap TEDUH. TEDUH
itu adalah Tangguh, Efektif & Efisien,
Damai, Unggul, dan Hormat.
Rumusan ini menjadi
rumusan penyimpul, bahwa tata nilai Gereja Kristen Protestan Angkola sebagai
pedoman melaksanakan semua aktivitas individu, kelompok dan organiasi diwarnai
dengan Tangguh, efektif & Efisien, Damai, Unggul dan Hormat.
a.
Tangguh: GKPA
TANGGUH dalam menjalankan pelayanannya dan
selalu termotivasi untuk TANGUH dan tidak mengenal lelah untuk menegakkan keadilan,
transparan dan bebas dari benturan kepentingan.
b.
Efektif/Efisien:
GKPA EFEKTIF & EFISIEN melayani warga jemaat dan masyarakat lainnya
dengan bertindak Efektif
dan Efisien serta komunikatif sehingga menyenangkan semua orang.
c.
Damai: GKPA
DAMAI dalam menjalankan seluruh pelayanannya dan tetap berpegang kepada prinsip
“Dalihan Na Tolu” serta menjungjung
tinggi nilai-nilai kearifan lokal “Sipirok na soli banua na sonang”.
d.
Unggul: GKPA
UNGGUL dalam memberikan pelayanan kepada warga jemaat dan masyarakat baik dalam
hal ajaran Agama, adat Budaya, kerjasama dengan
orang lain dengan motto “Salumpat
Saindege”.
e.
Hormat:
GKPA HORMAT terhadap seluruh warga jemaat dan masyarakat, serta kepelbagaian
suku, ras, agama yang ada. GKPA terus berjuang dan melaksanakan hidup rukun,
ramah dan sopan kepada seluruh umat manusia.
BAB IV
ANALISIS STRATEGIS TOWS
Metode analisis yang sering dan
lazim dipakai dalam rangka
menyusun strategi lembaga adalah SWOT Analysis.
Namun untuk lebih menekankan kepada prioritas strategis tantangan
eksternal dan internal yang sungguh-sungguh riil dihadapi Gereja Kristen Protestan Angkola, maka di bawah ini dipilih analisis TOWS: External Strategic Factors Analysis Summary (ESFAS), dan Internal
Strategic Factors Analysis Summary (ISFAS). Dengan analisis jenis ini diharapkan aspek strategis
terhadap situasi eksternal dan internal lebih
mewarnai strategi yang akan dipilih.
Hasil
kompilasi dari ESFAS & ISFAS analysis yang didapatkan
dari penyebaran kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion) dan wawancara mendalam (in depth interview) kepada pemangku
kepentingan Gereja Kristen Protestan Angkola adalah seperti tampak dalam dua matrik dan dua grafik berikut ini.
Matriks 1.Internal Strategies Factors Analysis Summary (ISFAS)
NO.
|
URAIAN
|
BOBOT
|
RA
TING
|
Bobot x Rating
|
A.
KEKUATAN
(STRENGTHS)
|
(1,0 – 0,0)
|
(1–4)
|
||
1
|
Budaya angkola:
lembut, bahasa, kekerabatan kepedulian, dan kebersamaan
|
0,15
|
2
|
0,30
|
2
|
Mudah bergaul,
adaptif dan toleran (rukun)
|
0,10
|
3
|
0,30
|
3
|
Penyelenggaraan
seluruh ibadah terlaksana secara rutin
|
0,15
|
3
|
0,45
|
4
|
Semangat kemandirian
|
0,05
|
2
|
0,10
|
5
|
Kepemilikan aset
gereja
|
0,05
|
2
|
0,10
|
B.
KELEMAHAN (WEAKNESS)
|
(4-1)
|
|||
1
|
Kepemimpinan yang
lemah di semua level dan kurangnya pengkaderan.
|
0,10
|
1
|
0,10
|
2
|
Kurangnya penginjilan atau misi keluar baik secara
langsung atau melalui program khusus melalui aspek budaya, politik, ekonomi,
lingkungan, dll.
|
0,10
|
1
|
0,10
|
3
|
Kurangnya Fanatisme
dan partisipasi jemaat untuk memajukan GKPA
|
0,10
|
1
|
0,10
|
4
|
Manajemen GKPA kurang
efektif dan efisien
|
0,10
|
1
|
0,10
|
5
|
Kebijakan, keputusan
dan program GKPA kurang menjawab
kebutuhan jemaat
|
0,10
|
1
|
0,10
|
JUMLAH
|
1,00
|
1,75
|
Matriks 2.External Strategies Factors Analysis Summary (ESFAS)
NO.
|
URAIAN
|
BOBOT
|
RA
TING
|
Bobot x Rating
|
A. PELUANG
(OPPORTUNITIES)
|
(1.0-0.0)
|
(1 – 4)
|
||
1
|
Kemitraan lokal,
nasional dan internasional
|
0,15
|
4
|
0,60
|
2
|
Hadirnya suku lain ke GKPA
|
0,05
|
2
|
0,10
|
3
|
Pemekaran daerah
Angkola
|
0,10
|
3
|
0,30
|
4
|
Wilayah penginjilan
masih terbuka
|
0.10
|
3
|
0,30
|
5
|
Penggunaan Teknologi
|
0,10
|
2
|
0,20
|
B. ANCAMAN
(TREATS)
|
(4-1)
|
|||
1
|
Perkembangan sekte,
aliran kepercayaan, gereja lain beraliran
karismatik yang pesat.
|
0,08
|
1
|
0,80
|
2
|
Perubahan dunia yang
cepat, dan perkembangan berbagai paham, serta globalisasi di segala bidang.
|
0,08
|
2
|
0,16
|
3
|
Kesenjangan sosial masyarakat dan dekadensi
moral seperti pornografi, seks bebas,
miras, dan narkoba, kriminalitas dan premanisme
|
0,12
|
1
|
0,12
|
4
|
Masuknya budaya lain
yang merusak kerukunan antara GKPA dengan kelompok muslim
|
0,10
|
2
|
0,20
|
5.
|
Islamisasi terselubung, perda syariah,
SKB 3 Menteri untuk pendirian rumah ibadah
|
0,12
|
1
|
0,12
|
JUMLAH
|
1,00
|
2,9
|
Dari dua matriks dan diagram di
atas nampak bahwa pilihan strategi yang lazim dilakukan oleh sebuah lembaga
yang memiliki peluang dari luar yang lebih dominan dari pada ancaman, dan kelemahan dari dalam yang lebih besar dari pada kekuatan adalah STRATEGI PEKA & FOKUS DALAM MEMANFAATKAN PELUANG SEKALIGUS
MEMBENAHI KELEMAHAN YANG ADA. Hal ini dikarenakan kondisi empiris dan obyektif lembaga dalam situasi yang BANYAK PELUANG dan
BANYAK KELEMAHAN.
Kondisi empiris di atas
dapat dipakai sebagai masukan untuk menyusun strategi utama GKPA menuju 2041yang akan diuraikan pada
Bab VIII.
Dalam metodologi penyusunan
strategi berbagai Organisasi, dengan SWOT Matriks ini dirasa
masih sempit dan kurang komprehensif cara pandangnya bagi suatu lembaga, juga bagi Gereja
Kristen Protestan Angkola dalam melangkah ke masa depan. Metode ini lebih menekankan
analisis masa lalu dan masa kini. Dibutuhkan metode yang lebih menekankan aspek antisipatif ketimbang
hanya melihat kondisi masa lalu dan masa kini, yaitu metode skenario. Untuk
melengkapi data-data antisipatif yang dibutuhkan dalam implementasi metode
skenario, bab berikut ini akan menyoroti secara khusus tren perubahan 25 tahun mendatang.
BAB V
TREN PERUBAHAN 25 TAHUN MENDATANG
1.
Tren Perubahan Global dan Internasional 25
Tahun Mendatang
Hasil identifikasi dan analisis menunjukkan bahwa globalisasi (proses
interaksi antar manusia ke arah mendunia) sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum
tahun Masehi. Perjalanan sejarah manusia meninggalkan bekas-bekas bangunan,
arsitektur, pakaian, karya sastra, peralatan rumah tangga, kebijakan suatu
kerajaan dan pola perdagangan yang memadukan unsur-unsur budaya saling
berlainan. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah melakukan interaksi,
baik yang bersifat budaya, ekonomi maupun politik di luar batas-batas
kedaulatan wilayah mereka.
Gelombang globalisasi yang saat ini dan di masa-masa mendatang akan semakin
intensif, ekstensif dan cepat, dapat diidentifikasi kecenderungannya,
antara lain:
1.1
Dunia
tidak berbatas wilayah. Faktor-faktor yang berhasil meraih posisi sangat
efektif dalam hal tanpa batas-batas negara adalah 4 C (communication,
capital, corporation dan consumer).
Konsekuensi dari keadaan tanpa batas ini adalah peluang-peluang dan tantangan juga dapat melampaui batas-batas negara. Apa yang terjadi di luar negeri (ekonomi, bisnis,
permodalan, politik, perkembangan teknologi, perilaku masyarakat, bencana alam,
dll.) akan langsung memengaruhi
keberadaan dalam negeri Indonesia.
1.2
Bergesernya
kekuatan dunia. Keterbukaan China membawanya menjadi kekuatan baru di dunia. Prestasi
yang diraih pada tahun 2007 kekuatan
ekonomi China (Product Domestic Brutto
= PDB) sama dengan Inggris, tahun 2008
sama dengan kekuatan Jerman dan tahun 2010 menjadi nomor 2 setelah
Amerika. Dari sisi teknologi
ruang angkasa China adalah negeri ketiga setelah Uni Soviet dan Amerika,
setelah mampu meluncurkan roketnya pada 23 Oktober 2003. Pada 2008 China membuktikan kedigdayaannya (keperkasanaannya)
melalui penyelenggaraan olimpiade yang sangat spektakuler. Konsekuensi dari hal
ini adalah kemungkinan besar peradaban dan norma-norma China akan lebih
mewarnai pelosok dunia.
1.3
Amerika
Serikat dan Uni Eropa bukan lagi sumber kekuatan ekonomi utama dan sebagai
barometer dunia. Ada kekuatan-kekuatan negara berkembang yang terus meningkat
misalnya India[47]
yang berpotensi seperti China. Brasil dan Argentina juga memiliki potensi yang
sama. Pengaruh non Amerika akan banyak mewarnai peradaban dunia.
1.4
Jumlah umat
Kristen di dunia yang terbesar di era mendatang adalah penduduk China. Dari kecenderungan
ini akan membawa dampak kepada jumlah misionaris terbesar di dunia juga dari
China. Penduduk China yang dikenal sebagai penduduk yang memiliki etos keuletan
dan kegigihan ditambah dengan militansi kekristenan akan membawa dampak positif bagi
pengembangan semangat misi kekristenan. Konsekuensinya ada peluang bagi pengembangan “misi Kristen” sekaligus
menimbulkan tantangan baru bagi kelompok-kelompok penganut agama lain.[48]
1.5
Peran
perempuan semakin menonjol. Banyak keputusan-keputusan penting dalam hidup yang
berhubungan dengan konsumsi ditentukan oleh perempuan. Pemenuhan kebutuhan perempuan mendominasi aktivitas
bisnis di segala industri.[49] Semakin banyak pemimpin di lembaga-lembaga pemerintahan maupun non
pemerintahan yang berasal dari kaum perempuan. Konsekuensi dari hal ini adalah
potensi semangat kesetaraan dan keadilan gender akan terus berlanjut. Dunia
semakin feminist.
1.6
Dampak serangan 11 September 2001. Peradaban Islam di dunia menjadi kekuatan yang
selalu bersinggungan dengan peradaban
Barat (direpresentasikan Amerika dan sekutunya yang mayoritas memeluk agama Kristen & juga
sekuler) dan cenderung semakin berhadapan langsung. Konsekuensinya adalah di
negara pluralis seperti Indonesia akan semakin merasakan ketegangan akibat benturan peradaban tersebut.
1.7
Pertambahan
pemeluk agama Islam di Eropa dan Amerika akan semakin signifikan karena
semangat dakwah Islam ke manca negara bersamaan dengan migrasi umat Islam dari
Timur Tengah dan Asia ke Eropa dan Amerika. Begitu juga
fenomena ini terjadi di Australia. Konsekuensinya
daya pengaruh kekuatan Islam akan berdampak kepada kebijakan negara-negara
Eropa,
Amerika & Australia serta akan memengaruhi juga kebijakan mitra-mitra kerja gereja di
Indonesia.
1.8
Teknologi
yang akan dominan dalam perkembangannya adalah komputerisasi, bioteknologi dan
nanoteknologi (Kelly E., 2006). Konsekuensinya akan semakin berkembang
akses-akses antar pribadi warga dunia, semakin banyak alternatif pengembangan
energi dan semakin berkembang aspek pemeliharaan hidup manusia.
1.9
Pemanasan
global. Dalam satu abad terakhir suhu bumi telah meningkat rata-rata 1º
Celcius. Awal tahun ini Mc.Kinsey melakukan kajian
bahwa ongkos bagi upaya dunia untuk menurunkan 2º C suhu bumi akan membutuhkan
sekitar 350 miliar euro per tahun – setara dengan Rp. 4.900 trilliun pada tahun
2030.[50]
Konsekuensi dari ini adalah terjadi perubahan iklim yang berdampak terutama pada
aktivitas pertanian dan produktivitas kerja pada umumnya.
1.10
Krisis pangan
dunia. Menurut perhitungan United Nations
(Perserikatan Bangsa Bangsa) sampai akhir Januari 2009, secara global kenaikan
harga makanan mencapai 35 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh
masyarakat di negara-negara berkembang, di mana 50 sampai 60 persen pendapatan
mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan, sedangkan di negara-negara maju,
hanya 10-20 persen saja. Menurut ketua Food
and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) itu, sedikitnya
ada 37 negara di dunia yang saat ini mengalami krisis pangan.[51] Konsekuensi dari gejala ini adalah negara miskin
masih harus berjuang keras mengatasi krisis pangan dunia di masa yang akan
datang.
1.11
Krisis energi
yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang bersifat non renewabel disebabkan dari semakin menipisnya cadangan minyak bumi.
Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM). Kondisi
ini memicu kenaikan biaya hidup dan naiknya
biaya produksi. Meskipun banyak negara telah mengupayakan energi
alternatif, namun eksploitasi energi fosil masih terus berlanjut di negara-negara berkembang.
Konsekuensinya dapat menimbulkan krisis energi di masa datang. Namun bila
ditemukan alternatif energi terbarukan dengan harga terjangkau, maka penduduk
dunia akan tertolong dari krisis energi tersebut.
1.12
Sekularisasi
& relativisme. Tantangan bagi organisasi gereja adalah perilaku manusia
modern yang cenderung sekuler dan menganggap segala hal menjadi relatif.
Konsekuensi dari hal ini adalah lembaga-lembaga keagamaan menjadi lembaga yang
diragukan relevansinya bagi kehidupan sehari-hari.
1.13
Perubahan
semakin cepat dalam segala aspek kehidupan manusia akibat dari pesatnya
perkembangan teknologi infomasi, transportasi dan komputerisasi. Konsuekuensi
dari perubahan ini semua lembaga dan individu dituntut untuk memiliki daya
adaptasi dan kesiapan dalam menghadapi segala macam perubahan.
1.14
Gerakan demokratisasi melanda
seluruh wilayah Arab dan Timur Tengah. Di masa depan hal ini akan membawa
dampak kepada kebijakan pengelolaan sumberdaya minyak yang tidak dapat lagi
dikendalikan oleh para penguasa negeri penghasil minyak dunia. Proses transaksi
sumberdaya minyak memiliki peta yang berbeda dengan era sebelum ada
demokratisasi di wilayah Timur Tengah. Konsekuensi dari hal ini adalah dinamika
politik akan semakin tinggi di wilayah Timur Tengah dan memberikan dampak
kepada ekonomi global.
1.15
Jumlah penduduk dunia dengan
usia tua (59-70) semakin meningkat karena kesehatan yang membaik.[52] Produktivitas manusia lebih panjang dan
kebutuhan serta aspirasinya terus bertambah.
1.16
Tren perdagangan bebas ASEAN
dan dunia. Tren globalisasi yang menghilangkan batas-batas Negara juga diikuti di
bidang ekonomi khususnya perdagangan dan keuangan. Tren ini teraktualisasi
dalam perdagangan bebas di wilayah tertentu dan di dunia. Di kawasan Eropa
(MEE) telah benar-benar dilakukan bahkan menghasilkan mata uang tersendiri,
yaitu Euro. Pada akhir 2015 akan berlaku perdagangan bebas ASEAN dan CHINA. Ini
akan membawa konsekuensi bagi perekonomian negara yang tergabung di dalamnya.
Bagi bangsa yang siap bersaing, pasar bebas akan menjadi peluang besar karena peluang pasar
yang meluas bagi produk-produk dan jasa-jasa yang dimilikinya. Bagi negara yang
belum siap, pasar bebas akan menjadi ancaman bagi produk dan jasa dalam negeri
karena kalah bersaing. Secara umum Indonesia tergolong belum siap menghadapi
pasar bebas baik secara ASEAN-CHINA, maupun perdagangan bebas dunia. Artinya akan ada banyak kesulitan yang
dialami para pelaku ekonomi Indonesia dalam menghadapi situasi ini.
Keenambelas hal di atas[53]
membawa dampak negatif bagi pihak yang tidak bisa memanfaatkannya, namun akan
membawa dampak positif bagi semua pihak yang dapat memanfaatkan peluang yang
ditimbulkannya. Perubahan global tersebut dapat menjadi ancaman bagi keberadaan
Gereja Kristen Protestan Angkola namun
sekaligus memunculkan banyak peluang untuk ”melompat” ke arah unggul di level
nasional dan internasional.
2
Tren Perubahan Nasional 25 Tahun Mendatang
Agar lebih tajam dalam mengidentifikasi dan menganalisis masa depan yang langsung
memengaruhi keberadaan Gereja Kristen Protestan Angkola, kita perlu melihat ulang kecenderungan-kecenderungan
25 tahun ke depan yang terjadi di tingkat nasional. Beberapa yang bisa
disebutkan diantaranya adalah:
2.1
Desentralisasi
(otonomi daerah) akan terus berlanjut.
Banyak kalangan yang meyakini bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh
desentralisasi tidak bisa dijawab dengan resentralisasi tapi justru harus
ditambah bobot desentralisasinya. Pemerintah daerah semakin memiliki kewenangan
yang besar dalam mengatur banyak aspek kehidupan di wilayahnya.
Pemekaran-pemekaran wilayah di Indonesia masih akan terus berlangsung sejalan
dengan aspirasi-aspirasi politik yang ada. Bagi Gereja Kristen Protestan
Angkola yang tersebar di berbagai
wilayah di Indonesia akan memunculkan banyak peluang sekaligus juga ancaman.
2.2
Kecenderungan
demokratisasi.
Meskipun secara empiris Indonesia telah terbukti: (1) berhasil
menyelenggarakan pemilihan Presiden secara langsung dan tidak menimbulkan
kerusuhan, (2) berhasil menyelenggarakan lebih dari 500 pemilihan
kepala daerah secara langsung tanpa menimbulkan gangguan yang signifikan, dan
(3) dunia mulai menyoroti Indonesia sebagai negara yang nomor empat
terbanyak penduduknya di dunia dan mayoritas muslim yang dapat menjadi model
negara yang mampu berdemokrasi dengan baik. Namun dari aspek pemberian tempat
yang proporsional bagi kebhinekaan dan kehidupan yang majemuk atau plural, secara empiris juga terbukti masih ada
kecenderungan kurang demokratis.[54]
2.3
Kemampuan
ekonomi.
Dengan syarat desentralisasi mampu berjalan dengan baik, penegakan hukum
berjalan dengan konsisten dan keamanan terjaga secara kondusif, maka penggerak
ekonomi berupa masuknya investasi luar negeri akan dapat meningkatkan ekonomi
Indonesia. Disamping itu konsumsi dan sektor riil dalam negeri juga akan
semakin meningkat pertumbuhannya.
Kekuatan sektor informal menjadi ciri khas tersendiri bagi Indonesia. Sektor
ini adalah sektor yang terbukti tahan terhadap krisis ekonomi dunia. Di satu
sisi sektor informal adalah merupakan kekuatan Indonesia, namun perhatian
terhadap sektor ini oleh pemerintah dinilai masih sangat terbatas. Keterkaitan
dengan kondisi ekonomi global masih berpengaruh signifikan terhadap ekonomi
Indonesia. Hal ini dikarenakan saling-ketergantungan
(interdependensi) ekonomi di semua negara di dunia semakin kuat untuk saling
memengaruhi.
2.4
Redefinisi
Indonesia.
Semangat
sektarian atau sebaliknya semangat kesatuan Indonesia akan lebih mewarnai
Indonesia ke depan. Menguatnya intensitas interaksi dengan dunia luar
melahirkan peluang Indonesia menjadi negeri yang pluralis dan tidak terjebak
dalam sektarian. Namun melihat kecenderungan banyak pemerintah daerah melalui peraturan daerahnya lebih didominasi oleh
aspirasi lokal dengan kecenderungan
sektarian, maka negeri yang damai dengan
ciri pluralis bisa tidak terwujud. Ada banyak kekecewaan
di berbagai wilayah Indonesia oleh karena banyaknya kasus dan masalah yang
tidak kunjung dapat diselesaikan juga dapat memunculkan semangat kedaerahan
yang kontraproduktif terhadap kesatuan Indonesia.
2.5
Sumberdaya
alam Indonesia semakin terkikis.
Pengelolaan yang tidak bijaksana membawa dampak semakin berkurangnya
persediaan sumber daya alam di Indonesia. Perkembangan
industri pertambangan sumber daya alam
yang hanya semata-mata bersemangat eksploitasi alam dan mengabaikan kelestaian
lingkungan semakin mengancam terkikisnya alam Indonesia. Di sisi lain ada semangat yang tidak padam untuk
mengoptimalkan segala sumber daya
alam secara bijaksana agar mampu menjadi keunggulan Indonesia. Tarik menarik kepentingan terus menerus berlangsung yang pada
akhirnya akan membawa dampak kepada pengabaian orientasi jangka panjang dan
kesinambungan kesejahteraan bersama.
2.6
Dampak
kemajuan teknologi.
Kemajuan
teknologi yang tidak dapat terbendung akan banyak memengaruhi pengelolaan
sektor publik, sektor privat bahkan sampai masuk pada pengelolaan rumah tangga
dan individu warga Indonesia. Utamanya adalah teknologi informasi yang sangat
membawa kemudahan dalam komunikasi antar pribadi dengan biaya yang semakin
terjangkau. Namun demikian abad teknologi informasi ini juga membawa dampak
negatif yang salah satunya berupa IAD (Internet
Addictive Disorder) atau ketergantungan/kecanduan kepada internet yang
dapat merusak struktur otak manusia. Di sisi lain interaksi langsung antar pribadi lebih banyak diwarnai dengan
interaksi melalui teknologi informasi. Kemajuan
teknologi yang semakin cepat dan intensif menuntut adanya kemajuan-kemajuan
teknologi yang tidak dapat dibendung oleh manusia. Bukan manusia yang
mengendalikan teknologi, tapi sebaliknya kemajuan teknologi mengendalikan
manusia Indonesia pada umumnya.
2.7
Sosial
kemasyarakatan.
Dengan kondisi
demografi penduduk Indonesia yang mengarah kepada usia produktif lebih
banyak ketimbang usia non produktif akan memberikan
peluang bagi kekuatan pengembangan produktivitas nasional. Namun di sisi lain
bila di masa datang “bonus demografi” ini tidak termanfaatkan dengan optimal,
akan dapat mengakibatkan kontra produktif secara nasional. Di sisi lain disparitas antara daerah yang “maju” dan daerah yang
“kurang maju” masih berjarak cukup signifikan.
2.8
Konflik agraria
Konflik yang berhubungan dengan tanah atau lahan merupakan salah
satu masalah serius yang dihadapi Indonesia sekarang dan masa datang.[55] Tanah tidak bertambah, jumlah manusia terus
bertambah. Akan menjadi pergumulan dan persoalan yang membutuhkan perhatian
khusus dari semua pihak untuk mengatasi hal ini.
Kecenderungan-kecenderungan
perubahan yang terjadi dalam skala nasional
seperti terungkap di atas, akan membawa
dampak bagi kebijakan pemerintah Indonesia pada umumnya dan pengaturan kehidupan
umat Kristen pada khususnya. Agar analisis pengaruhnya lebih tajam dan langsung
ke arah kehidupan keagamaan di Indonesia, maka perlu diidentifikasi dan
dianalisis secara khusus tren kehidupanumat beragama secara nasional 25 tahun mendatang.
3. Tren Kehidupan
Umat Beragama Secara Nasional 25 Tahun Mendatang
Hasil identifikasi yang mengacu pada
berbagai dokumen dan analisis kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di masa
mendatang, maka dalam kehidupan
keagamaan di Indonesia dapat
disebutkan beberapa hal sebagai berikut:
3.1
Politisasi
Agama.
Kebijakan pemerintah terhadap umat beragama nasional selalu diwarnai dengan
semangat tarik menarik kepentingan antar kekuatan kelompok dan golongan.
Kelompok atau golongan yang paling kuatlah yang akan banyak memengaruhi kebijakan
dan berbagai aturan dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan umat beragama nasional.
3.2
Tantangan kebijakan bernuansa pluralis menyangkut kehidupan umat
beragama secara nasional.
Pemerintah Indonesia telah memiliki
perundangan dan peraturan kehidupan umat beragama di Indonesia yang bernuansa
pluralis. Namun dengan kapasitas dan kapabilitas
pemerintah yang serba terbatas serta rentang kendali yang begitu luas, maka
penerapan serta pencapaianya akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah
di atasi di masa-masa mendatang.
3.3
Desentralisasi.
Semangat otonomi daerah atau desentralisasi memungkinkan semakin banyak
peraturan daerah bernuansa semangat kedaerahan. Kebijakan di daerah akan terus diwarnai ciri khas dan
solusi-solusi pergumulan masing-masing daerah. Sangat terbuka kemungkinan
muncul berbagai warna atau “semangat agama tertentu” dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di wilayah Indonesia.
3.4
Globalisasi keagamaan.
Desakan global akan semakin memengaruhi kebijakan nasional. Interaksi
global akan memberikan pengaruh terhadap: penerapan prinsip-prinsip hak azasi manusia, interaksi
dengan berbagai aliran keagamaan global yang masuk ke berbagai wilayah Indonesia. Tesis-tesis global akan
melahirkan sintesis yang tercermin dalam kebijakan nasional. Selanjutnya akan
muncul antitesis-antitesis yang dapat memberikan nilai positif atau bisa juga
negatif terhadap kebijakan nasional.
3.5
Gelombang
sekularisasi dan relativisme dunia.
Gelombang
ini akan membawa dampak bagi pemeluk agama di Indonesia. Terutama bagi penduduk
di wilayah perkotaan yang lebih mudah berinteraksi dengan dunia luar melalui teknologi informasi. Gelombang sekularisasi dan relativisme dunia dengan mudah akan
memengaruhi penduduk perkotaan. Kekuatan
sekularisasi dan relativisme dimungkinkan akan banyak mewarnai kehidupan kaum
perkotaan.
3.6
Isu-isu
terorisme.
Isu ini
dan pandangan dunia terhadap Islam akan
terus berpengaruh kepada suasana hubungan antar negara di dunia. Indonesia yang
merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia akan terus memengaruhi
dan dipengaruhi oleh pergumulan pencarian hubungan harmonis antar peradaban
Islam dan Barat. Situasi ini akan memengaruhi juga terhadap lahirnya
kebijakan-kebijakan nasional dalam hal kehidupan umat beragama.
3.7
Dinamika umat
Kristen di Indonesia.
Jumlah
denominasi umat Kristen di Indonesia yang tidak kurang dari 320 denominasi
(data Bimas Kristen Departemen Agama RI, 2007) yang terdaftar dalam kelompok KWI
(Konferensi Wali Gereja Indonesia – Katolik), PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia), PGPI (Persekutuan Gereja
Pantekosta Indonesia) dan PGLII (Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga
Injili Indonesia) akan semakin membawa dinamika hubungan antar denominasi. Belum
termasuk denominasi lain yang tidak
terdaftar. Ada dampak gesekan-gesekan di lapangan karena berbagai kepentingan
antar denominasi tersebut. Gerakan ekumene menghadapi tantangan yang semakin nyata.
Dominasi lembaga PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) semakin tidak signifikan lagi
pengaruhnya bagi umat Kristen di Indonesia karena munculnya beberapa lembaga
sejenis dengan aliran yang berbeda. Namun demikian terbuka juga ruang dialog
yang mementingkan isu-isu kebersamaan dalam kehidupan beragama.
3.8
Primordialisme.
Tantangan
primordialisme agama maupun suku di Indonesia masih perlu mendapat perhatian
sehubungan dengan kondisi keanekaragaman suku dan agama yang ada. Kondisi
ekonomi dan pendidikan yang masih terus ada kesenjangan semakin memiliki
potensi memperkuat tantangan primordialisme ini. Tantangan ini utamanya bagi
penduduk yang bermukim di wilayah pedesaan dan golongan ekonomi lemah.
3.9
Praktek
sinkretisme agama.
Keberadaan
praktek sinkretisme agama di pelosok pedesaan maupun di perkotaan Indonesia
masih tetap berlangsung. Hal ini karena akar budaya nenek moyang yang kuat dan tata
nilai tradisional terus terpelihara di masyarakat Indonesia. Kondisi ini
menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga-lembaga keagamaan Kristen di
Indonesia.
3.10 Ketidakpuasan umat akan pelayanan gereja
Kecenderungan
umat Kristen yang memiliki aspirasi tinggi terhadap kriteria-kriteria pelayanan
mengakibatkan perpindahan warga jemaat ke lain gereja. Pencarian tempat
beribadah dengan fasilitas yang lebih nyaman dan lebih sesuai dengan
aspirasinya akan terus berlangsung sehubungan dengan kemunculan banyak aliran
denominasi Kristen di Indonesia.
Kesepuluh tren kehidupan umat beragama secara nasional di atas akan sangat memengaruhi keberadaan umat Kristen di Indonesia pada umumnya serta Gereja Kristen
Protestan Angkola pada khususnya. Dengan mengoptimalkan
daya kreatif dan
inovatif maka akan terlihat berbagai tantangan sekaligus peluang ke depan
yang dapat dimanfaatkan demi eksitensi dan keunggulan umat Kristen serta Gereja Kristen Protestan Angkola .
BAB VI
SEMBILAN SKENARIO GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA DI MASA MENDATANG
Kecenderungan-kecenderungan
global (internasional), nasional dan lokal seperti telah diuraikan di bab V di satu sisi menimbulkan dampak negatif atau
ancaman namun di sisi lain juga membawa dampak positif berupa banyaknya peluang bagi Gereja Kristen Protestan Angkola. Untuk mengembangkan daya antisipatif ke depan bagi Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dipilih metodologi yang mampu melahirkan strategi yang paling relevan
untuk jangka panjang. Metode yang banyak dipakai oleh lembaga-lembaga global dalam
menyusun strategi jangka panjang adalah metode skenario (Ringland G., 2002).
Skenario bukan merupakan alat prediction (prediksi kepastian masa
depan). Skenario adalah alat prevention
(pencegahan), dimana
kemungkinan masa depan yang buruk, harus dicermati dan dihindari, sedangkan
masa depan yang positif dianggap sebagai peluang untuk dimanfaatkan. Selain itu
juga mampu mengidentifikasi kekuatan penggerak
(driving forces) dan pertanyaan-pertanyaan krusial (focal
concern) yang dapat memengaruhi perubahan masyarakat di masa depan.
Metode
skenario dirasakan lebih mampu memberikan horison berjangkauan jauh ke depan
dibanding dengan metode analisis TOWS yang lebih
menggambarkan keadaan saat ini. Dengan metode skenario bisa dibuat matriks pilihan keberadaan Gereja Kristen Protestan Angkola di masa depan. Secara lebih jelas akan ada 9 (sembilan) pilihan, yaitu:
Diagram
3.
Skenario Masa Depan Gereja Kristen Protestan Angkola
PROSPEK PENGEMBANGAN GKPA
|
TREN PERUBAHAN GLOBAL, NASIONAL & LOKAL
|
||
Positif
|
Status Quo
|
Negatif
|
|
Positif
|
1. UNGGUL MELAYANI
|
2. EKSIS
|
3. MARTIR
|
Status Quo
|
4. LAMBAN
|
5. STAGNAN
|
6. MENGECIL
|
Negatif
|
7. MUNDUR
|
8. DARURAT
|
9. TUTUP
|
Penjelasan secara rinci masing-masing skenario di atas adalah :
1. Menjadi lembaga Gereja yang UNGGUL
MELAYANI (prospek
pengembangan GKPA positif dan tren perubahan global &
nasional positif). Artinya secara
internal upaya yang dilakukan
GKPA berjalan positif dan
kondisi eksternal, tren perubahan global, nasional & lokal, memberikan dukungan secara positif dengan
berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan oleh GKPA. Tren perubahan global, nasional dan
lokal bisa saja tidak sepenuhnya positif, namun dapat diidentifikasi suatu
kecenderungan total yang positif dan
dimanfaatkan peluangnya secara positif pula. Pengembangan GKPA adalah menunjuk kepada upaya pengembangan lembaga secara
positif mulai dari visi, misi, strategi, pengelolaan sumberdaya, penerapan
nilai-nilai sampai kepemimpinan. Menjadi lembaga yang UNGGUL
MELAYANI artinya GKPA akan mampu menjalankan tugas dan
panggilannya dan menjadi lembaga berkarakter positif (memenuhi kriteria lembaga gereja yang berkualitas unggul) serta kompeten dalam menguatkan dan membawa
pembaruan lingkungan sekitarnya. GKPA juga akan mampu menjadi pelopor, motivator,
inovator dan fasilitator seluruh JEMAAT
dan SESAMANYA dalam meningkatkan
kualitas hidup sebagai umat Kristen dan Indonesia pada umumnya.
2.
Menjadi
lembaga yang EKSIS (prospek
pengembangan GKPA positif dan tren perubahan global & nasional
sama seperti sekarang). Artinya secara
internal upaya yang dilakukan
GKPA
berjalan positif dan kondisi eksternal, tren perubahan global,
nasional & lokal, berjalan seperti sekarang (status quo) dengan lebih banyak peluang
yang dapat dimanfaatkan oleh GKPA. Tren perubahan global, nasional dan lokal bisa
saja tidak sepenuhnya positif, namun dapat diidentifikasi suatu kecenderungan
total yang positif dan dimanfaatkan
peluangnya secara positif pula. Menjadi lembaga yang EKSIS artinya GKPA mampu menjalankan tugas dan panggilannya dengan
semua pengembangan positif yang ada pada dirinya.
3. Menjadi MARTIR (prospek pengembangan GKPA positif dan tren perubahan global, nasional & lokal negatif). Upaya pengembangan internal GKPA yang berjalan positif tidak dibarengi
dengan faktor eksternal yang justru memiliki tren negatif. Segala upaya
pemberdayaan lembaga menghadapi ancaman yang sangat kuat dan nyaris tak ada
peluang positif, sehingga menghasilkan skenario MARTIR. Dalam kondisi ini GKPA selalu siap maju untuk mencapai visinya
dengan konsekuensi bisa menjadi
martir demi menjalankan “misi”nya.
4. Menjadi LAMBAN (prospek pengembangan GKPA hanya seperti sekarang sedangkan tren perubahan global, nasional &
lokal positif). Secara kelembagaan upaya yang dilakukan GKPA hampir tidak signifikan, hanya melakukan hal-hal rutin saja, sedangkan tren
perubahan global, nasional & lokal positif. Skenario ini dapat terjadi bila
secara kelembagaan reformasi GKPA
tidak terjadi. Tren kondisi
eksternal yang mengarah kepada banyak aspek positif hanya menjadi kesia-siaan
yang akhirnya membuat STAGNAN dan tidak
ada kemajuan yang berarti.
5. Menjadi STAGNAN (prospek pengembangan GKPA seperti sekarang dan tren perubahan
global, nasional & lokal juga seperti sekarang). Ini adalah skenario yang
menggambarkan situasi sekarang dan tidak ada perubahan berarti ke masa depan.
Ada konflik terus dibiarkan berlarut tanpa ada rekonsiliasi yang berarti.
Situasi dan kondisi eksternalpun tidak ada perubahan-perubahan yang berarti.
6. Menjadi MENGECIL (prospek pengembangan GKPA seperti sekarang dan tren perubahan global, nasional & lokal negatif).
Ini adalah skenario buruk yang bisa terjadi karena faktor internal tidak
melakukan apapun dan faktor ekternal
memiliki tren negatif. Eksistensi GKPA bisa terancam karena
tidak ada upaya sama sekali untuk menghadapi situasi yang banyak ancaman. Ada
banyak bukti bahwa organisasi Gerejapun bisa tutup karena faktor internal yang
tidak melakukan apa-apa sementara faktor eksternal semakin mengancam.
7. Menjadi MUNDUR (prospek pengembangan GKPA seperti negatif dan tren perubahan global,
nasional & lokal positif). Ini adalah skenario dimana
faktor internal justru mengarah ke negatif sedangkan faktor eksternal memiliki
tren positif. GKPA mengalami kemunduran yang nyata karena semata-mata hanya
ditopang oleh kondisi eksternal yang masih memiliki aspek positif
(peluang-peluang). Namun semua peluang yang dimiliki GKPA menjadi sia-sia dan GKPA
kehabisan energi karena kondisi internal yang terus mengarah ke negatif. Kemunduran
menjadi bagian hidup GKPA.
8. Menjadi DARURAT (prospek pengembangan GKPA negatif dan tren perubahan global, nasional & lokal kondisinya seperti
sekarang). Ini adalah skenario yang akan terjadi apabila GKPA secara internal
mengalami perkembangan negatif sedangkan faktor ekternal kondisinya seperti
sekarang (masih ada peluang meski terbatas). Bercermin dari kondisi yang saat
ini berlangsung, maka GKPA bisa
mengalami kehancuran apabila tidak memanfaatkan sama sekali peluang yang ada
dan terus sibuk dengan dirinya sendiri. Peluang-peluang yang terbatas bisa
menjadi ancaman serius karena bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak internal untuk
kepentingan dirinya dan mengakibatkan GKPA secara kelembagaan semakin negatif dan
mengarah ke tutup.
9. Menjadi TUTUP (prospek pengembangan GKPA negatif dan tren perubahan global,
nasional & lokal juga negatif). Ini adalah skenario terburuk yang bisa
terjadi karena faktor internal maupun ekternal sama-sama
memiliki tren negatif dan eksistensi GKPA akan menjadi benar-benar
hilang secara cepat. Sejarah membuktikan bahwa organisasi Gerejapun bisa TUTUP.
Di Alkitab Perjanjian Baru juga
diungkapkan beberapa jemaat di Asia Kecil (sekarang Turki) tidak dapat bertahan
dan tutup oleh karena kondisi seperti skenario empat ini (internal yang lemah
dan kondisi eksternal yang negatif).
Di masa depan GKPA bisa
memasuki variasi kondisi kesembilan alternatif skenario di atas. Namun secara
keseluruhan dapat dilihat kecenderungan yang sangat umum dan mengarah ke satu skenario tertentu. Diharapkan dengan analisis yang tepat
dan cermat terhadap kecenderungan faktor-faktor internal dan eksternal, maka GKPA dapat mengupayakan secara serius perbaikan-perbaikan internal dan
memanfaatkan kecenderungan positif eksternal, sehingga akan memiliki skenario satu ke arah menjadi lembaga
gereja yang UNGGUL MELAYANI dalam kualitas pengelolaan lembaga dan
kinerjanya serta mampu memancarkan dampak
positif bagi lingkungannya.
Untuk
dapat mengarahkan semua sumberdaya dan upaya menuju skenario UNGGUL MELAYANI, maka tahap berikutnya dibutuhkan
analisis isu-isu (persoalan-persoalan) strategis yang dapat dipakai sebagai bekal
prioritas pergumulan utama guna menyusun VISI, MISI,
Tata Nilai dan Strategi Utama GKPA menuju 2041.
BAB VII
ISU-ISU STRATEGIS
Untuk dapat mengimplementasikan metode skenario dengan pilihan UNGGUL
MELAYANI maka perlu diidentifikasi isu-isu atau
persoalan-persoalan strategis yang
perlu mendapatkan perhatian khusus bagi optimalisasi prospek pengembangan GKPA di masa depan. Isu-isu
ini bila tidak diberikan perhatian secara serius dan konsisten akan berdampak
jangka panjang terhadap eksistensi GKPA.
Dari kompilasi data yang ada melalui metode studi dokumentasi dan kepustakaan,
kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion), serta wawancara mendalam (in depth interview) diperoleh banyak sekali
isu-isu strategis yang riil dihadapi oleh GKPA baik secara internal maupun
eksternal. Dengan pertimbangan agar terjadi fokus dan mampu memberikan pengaruh
perubahan yang optimal, maka perlu dibuat prioritas utama terhadap isu-isu yang
teridentifikasi. Setelah semua isu-isu yang teridentifikasi dianalisis maka ada
empat isu strategis yang
memiliki bobot utama dan berdimensi internal serta eksternal:
1. PELAYANAN YANG “TIDAK MAJU DAN TIDAK MUNDUR”
GKPA yang memiliki sejarah panjang dalam
pelayanan membutuhkan terobosan dan ide-ide kreatif untuk menjalankan semua
tugas pelayanannya. Dari data-data yang ada dan dari aspirasi para
pemangku kepentingan tampak bahwa dalam beberapa tahun terakhir GKPA menghadapi
situasi yang “statis dan jalan di tempat” dan tidak tampak pertumbuhan yang
signifikan. Banyak perubahan eksternal yang harus direspon dengan positif dan kreatif
agar GKPA mampu menjawab semua tantangan yang ada. Kualitas kotbah para pelayan perlu
mendapatkan peningkatan kualitas agar mampu menjawab persoalan-persoalan
konkret umat. Kepedulian kepada umat juga membutuhkan peningkatan kuantitas dan
kualitasnya.
2. KUALITAS PELAYAN YANG KURANG
Organisasi yang dianut GKPA adalah Episkopal Sinodal dimana Pemimpin memiliki peranan yang cukup
sentral di semua tingkatan, maka bobot kuantitas dan kualitas kepemimpinan sangat
perlu untuk selalu ditingkatkan. Kepemimpinan strategis, berkarakter dan visioner menjadi syarat
utama yang perlu mendapat perhatian serius agar fungsi kepemimpinan dapat
berjalan secara optimal. Kualitas sumber daya manusia yang unggul menjadi
prasyarat bagi kesiapan melahirkan pemimpin-pemimpin strategis di GKPA. Aspek kepemimpinan strategis juga
tidak dapat dilepaskan dari kapabilitas profesionalisme pengelolaan sumber daya. Semua
sumber daya baik sumberdaya internal (berwujud & tidak berwujud) mupun sumberdaya eksternal
(berwujud & tidak berwujud) haruslah
dioptimalkan secara sinergis dengan profesional serta dengan hati yang
bijaksana. Data empiris menunjukkan aspek sinergitas masih pengelolaan sumber daya GKPA
belum dioptimalkan secara profesional dan bijaksana.
-
Pembenahan
-
Rekrutment
-
Pemberdayaan SDM
3. PEMBARUAN TEOLOGI GKPA
Manajemen sangat berhubungan dengan
metode kerja yang terus membutuhkan pembaruan sesuai dengan perkembangan ilmu
terbaru. Metode pengelolaan organisasi bukan suatu cara atau ilmu yang dapat
berlaku seterusnya. Segala masukan ide-ide baru dan pengaruh positif dari
berbagai pihak termasuk dari organisasi yang lebih baik kualitasnya sangat
dibutuhkan agar manajemen dapat lebih efisien dan efektif. Manajemen
juga berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia di GKPA. Dibutuhkan
program-program pemberdayaan dan pengembangan yang lebih terstukrtur dan
konsisten terus menerus agar peningkatan kualitas dapat terjamin.
4. ORIENTASI
LEBIH BANYAK KE DALAM
GKPA yang memiliki arah teologi yang mengembangkan “kesaksian keluar”
yang artinya menerangi dan menggarami komunitas di luar GKPA, mengalami hal
yang sebaliknya. Dari
hasil analisis yang ada menunjukkan
bahwa GKPA masih terus sibuk dan berorientasi ke dalam. Dibutuhkan suatu
kesadaran bersama dan terobosan-terobsan terbaik agar GKPA mampu menjalankan
peran garam dan terang dunia.
BAB VIII
VISI,
MISI & STRATEGI UTAMA GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA MENUJU 2041
Berbasis pada studi
dokumentasi, memerhatikan aspirasi pemangku kepentingan Gereja Kristen
Protestan Angkola, hasil identifikasi
dan analisis faktor eksternal serta internal saat ini, kecenderungan dua
puluh lima tahun masa mendatang, juga
penyusunan skenario Gereja GKPA di masa depan serta
identifikasi isu-isu strategis, maka
dapat ditetapkan Visi, Misi, Tata Nilai dan Strategi Umum Gereja Kristen Protestan
Angkola menuju 2041 adalah sebagai berikut:
7.1.
Visi Gereja Kristen Protestan
Angkola 2041:
“GEREJA YANG UNGGUL MELAYANI
DALAM KEBERSAMAAN”
(Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap Sauduran)
(“The church who excellent service in togetherness”)
Visi tersebut memiliki arti
dengan indikator-indikator:
•
Gereja : umat yang
dipanggil keluar (Ef. 5:8; 1Kor. 1:2; 1Pet. 2:9)
•
Unggul : lebih baik, lebih cakap, dan lebih
berkualitas.
•
Melayani : menyelenggarakan kesaksian (marturia),
persekutuan (koinonia), pelayanan (diakonia) untuk sesama ciptaan Allah.
•
Kebersamaan : gotong royong, partisipatif antara warga
jemaat dan seluruh pelayan, kesehatian (salumpat saindege), saling
membantu, setara dan kompak.
7.2. Misi Gereja Kristen Protestan Angkola Menuju 2041 :
Untuk dapat mencapai Visi di Tahun 2041 Gereja Kristen Protestan Angkola membutuhkan rumusan Misi yang dapat menjadi induk
semua tata nilai, strategi, kebijakan dan
keputusan-keputusan dalam pengelolaan lembaga dan program kerja.
Dari hasil kompilasi masukan-masukan berbagai pemangku kepentingan Gereja
Kristen Protestan Angkola baik internal maupun eksternal melalui studi
dokumentasi dan kepustakaan, kuesioner, fokus diskusi kelompok (focus group discussion - FGD),dan wawancara
mendalam (in depht interview) lahirlah
Misi Gereja Kristen Protestan Angkola menuju 2041:
“MENINGKATKAN DAN
MENGEMBANGKAN KESAKSIAN, PERSEKUTUAN,
PELAYANAN DENGAN SEMANGAT PEMBARUAN DAN
KEBERSAMAAN”
(“Padenggankon dohot pahirbangkon hasaksian, parsaoran,
pangkobasion di bagasan roha haimbaruon dohot harentaon”)
(To increase and develop marturia, coinonia, deaconia with the spirit of reform/renew and
togetherness)
7.3.
Strategi
Utama GKPA Menuju 2041
Langkah-langkah kunci dan
utama (strategi) Gereja Kristen Protestan Angkola perlu dirumuskan secara konkret
dalam rangka mencapai Visi 2041. Dengan strategi utama ini GKPA diharapkan mampu menyikapi berbagai pengaruh dan perubahan
eksternal yang semakin intensif, ekstensif dan cepat. Strategi Utama GKPA menuju 2041 berpedoman pada lima tahap yang dilakukan secara menyeluruh, paralel[56] dengan penekanan atau fokus yang berbeda, yaitu:
7.3.1. 2016-2021
– “Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI
7.3.2. 2021-2026
– “Penguatan kebersamaan dan kerukunan” – REFORMASI
7.3.3. 2026-2031
– “Pengembangan Semangat Inovatif” - INOVASI
7.3.4. 2031-2036
– “Pembaruan secara terpadu.” – OPTIMALISASI
7.3.5.
2036-2041 – “Keunggulan & Kebersamaan” - TRANSFORMASI
Secara
sederhana strategi utama Gereja Kristen Protestan
Angkola menuju 2041 dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.
Diagram
4. Strategi
Utama Gereja Kristen Protestan Angkola Menuju 2041
Semua tahapan Strategi Utama di atas adalah satu kesatuan tahapan yang
terpadu. Unsur dari semua tahapan selalu dilaksanakan di setiap tahapan lima
tahunan namun dengan fokus yang berbeda di masing-masing tahapan. Setiap
tahapan adalah juga suatu proses berkesinambungan dan suatu prasyarat bagi
pelaksanaan tahapan berikutnya.
Setiap tahapan Strategi Utama di atas perlu dijabarkan dalam kebijakan dan program-program yang memiliki keluaran (output) dengan delapan kriteria kinerja: (1) fokus kepada
anggota, (2) kepemimpinan yang kuat, (3) pengelolaan lembaga yang baik, (4)
manajemen sumberdaya yang profesional, (5) mengelola serta menciptakan
perubahan-perubahan secara efektif,
(6) penyelenggaraan persekutuan yang menghidupkan, (7) penyelenggaraan
kesaksian yang berorientasi seimbang keluar dan ke dalam, (8) penyelenggaraan
pelayanan yang berkualitas.
Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Angkola akan dapat memberikan manfaat (outcome) nyata dan positif bagi
lingkungan dimana jemaat Gereja Kristen Protestan Angkola berada serta menyebarkan dampak (impact) positif demi mendorong pencapian visi “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan.”
7.3.1.
Tahap I
(2016 – 2021) : “Peningkatan
Kapasitas dan Kapabilitas”- KONSOLIDASI
Strategi ini menekankan
kepada konsolidasi Gereja Kristen Protestan Angkola sebagai Gereja yang memiliki tugas dan
panggilan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia ini. Dari data
empiris tampak bahwa Gereja Kristen Protestan Angkola secara internal memiliki kelemahan
lebih banyak dibandingkan dengan kekuatannya. Sedangkan secara eksternal
menunjukkan bahwa Peluang lebih besar dibandingkan Ancaman. Ini menggambarkan
bahwa eksistensi Gereja Kristen Protestan Angkola berada di dalam situasi yang kurang
dapat mengoptimalkan dirinya.
Konsolidasi haruslah berorientasi
kepada pembenahan internal yang eksistensial untuk memanfaatkan banyaknya
peluang eksternal. Gereja Kristen Protestan Angkola yang berdiri atas pengakuan teologis dan
diikuti oleh penatalayanan yang kontekstual perlu memprioritaskan penguatan
diri dalam penyelenggaraan semua tugas dan panggilannya sebagai gereja di
tengah-tengah komunitas yang majemuk.
Penguatan aspek kapasitas
dan kapabilitas teologis kontekstual yang mampu menjawab segala persoalan
kehidupan masa lalu, masa kini dan di masa mendatang yang berbasis kepada
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menjadi keharusan pada tahap lima
tahun pertama ini. Aspek penatalayanan dengan memanfaatkan ilmu-ilmu
pengembangan organisasi modern dan teknologi informasi terbaru juga perlu
dioptimalkan.
Dalam pencapaian Visi
2041 dan menjalankan Misi Gereja Kristen Protestan Angkola harus juga mengkonsolidasikan aspek manajerial
(strategi tahunan dan optimalisasi seluruh infrastruktur Organisasi) serta aspek kepemimpinan (implementasi tata nilai dan
gaya kepemimpinan pelayan yang profesional serta bijaksana[57]). Indikator
profesional[58]
antara lain: menguasai bidang pekerjaannya, memiliki dedikasi dan integritas, berlaku
etik dan moral serta patuh terhadap hukum yang berlaku.
Tahapan Konsolidasi
haruslah sudah mampu mengkaji, menganalisis dan memberikan solusi bagi
persoalan-persoalan strategis, seperti: Pelayanan yang tidak maju dan tidak
mundur, kualitas
pelayan yang kurang, diperlukan pembaruan teologi yang tepat, dan juga orientasi yang hanya ke dalam.
Pada akhirnya semua
aktivitas utama Gereja Kristen Protestan Angkola (persekutuan, kesaksian dan pelayanan – marturia, koinonia dan diakonia) harus
dikonsolidasikan secara eksistensial dengan mengembangkan pula aspek pemuridan
(mystagogia) sebagai jawaban atas
kebutuhan semua pemangku kepentingan.
7.3.2. Tahap II (2021 – 2026) : “Penguatan
kebersamaan dan kerukunan” – REFORMASI
Pada tahap kedua ini fokus
kepada Reformasi perlu dioptimalkan setelah fokus Konsolidasi pada lima tahun
tahap pertama berjalan dengan baik. Reformasi berarti pembaruan dengan menata
ulang apa yang ada. Reformata Semper
Reformanda, gereja reformasi harus terus melakukan reformasi tanpa henti. Begitu amanah
refomator mula-mula.
Penguatan kebersamaan dan
kerukunan adalah fokus khusus dalam strategi tahap kedua ini- Reformasi. Dengan
kondisi yang banyak kelemahan secara internal tentu kebersamaan dan kerukunan
akan menjadi faktor penguat yang sangat signifikan. Pada tahap ini secara khusus Tata nilai GKPA
harus segera dikuatkan implementasinya di segala lini. Tata nilai tersebut
adalah: TEDUH. TEDUH itu adalah Tangguh, Efektif & Efisien, Damai, Unggul, dan Hormat. Rumusan ini menjadi rumusan penyimpul, bahwa tata nilai Gereja Kristen
Protestan Angkola sebagai pedoman melaksanakan semua aktivitas individu,
kelompok dan organiasi diwarnai dengan Tangguh, efektif & Efisien, Damai, Unggul dan Hormat. (1) Tangguh: GKPA TANGGUH dalam menjalankan pelayanannya
dan selalu termotivasi untuk TANGUH dan tidak mengenal lelah
untuk menegakkan keadilan, transparan dan bebas dari benturan kepentingan. (2) Efektif
& Efisien: GKPA EFEKTIF
& EFISIEN melayani warga jemaat dan masyarakat
lainnya dengan bertindak efektif dan
Efisien serta komunikatif sehingga menyenangkan semua orang. (3) Damai: GKPA DAMAI dalam menjalankan seluruh
pelayanannya dan tetap berpegang kepada prinsip “Dalihan Na Tolu” serta menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan
lokal “Sipirok na soli
banua na sonang”. (4) Unggul: GKPA UNGGUL dalam memberikan pelayanan kepada warga jemaat dan masyarakat baik
dalam hal ajaran
agama, adat budaya, kerjasama dengan
orang lain dengan motto “Salumpat
Saindege”. (5) Hormat: GKPA HORMAT
terhadap seluruh warga jemaat dan masyarakat, serta kepelbagaian suku, ras,
agama yang ada. GKPA terus berjuang dan melaksanakan hidup rukun, ramah dan
sopan kepada seluruh umat manusia.
Tata nilai operasional Gereja Kristen Protestan
Angkola sebagai pedoman utama dalam meningkatkan kebersamaan dan kerukunan
harus dijemaatkan dan diimplentasikan secara konsisten dan penuh komitmen. Di
tahap lima tahun kedua ini Tata nilai Gereja Kristen Protestan Angkola sudah harus menjadi jiwa semua anggota jemaat Gereja
Kristen Protestan Angkola tanpa kecuali.
Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Angkola akan mampu menjawab keprihatinan-keprihatinan
internal dan eksternal dengan nyata serta berdampak positif secara signifikan.
7.3.3. Tahap III (2026 – 2031): “Pengembangan
Semangat Inovatif” - INOVASI
Untuk menjawab
perubahan-perubahan yang terjadi secara intensif, ekstensif dan semakin cepat
dibutuhkan peningkatan gerakan inovasi tanpa henti. Organisasi yang tidak mau
melakukan pembaruan adalah organisasi yang tidak akan dapat menjalankan tugas
panggilannya dan tidak mampu mempertahankan eksistensinya secara kontekstual.
Pembaruan terus menerus dalam skala kecil (improvement)
dan secara konsisten dikumulatifkan akan dapat menjadi pembaruan dalam skala
besar (inovasi).
Dalam tahap lima tahun
ketiga ini budaya kreativitas yang merupakan bibit pembaruan dan inovasi perlu
mendapatkan tempat dan penekanan secara proporsional. Pemberdayaan semua
personel di semua aras organisasi GKPA harus diarahkan kepada semangat untuk
menemukan pembaruan-pembaruan agar mampu menjawab tantangan terkini dan
mengantisipasi perubahan-perubahan mendatang.
Semangat inovasi tidak
cukup hanya dalam skala individu tapi perlu menjadi suatu budaya organisasi
secara keseluruhan sehingga memberikan kontribusi signifikan kepada kinerja organisasi.
Dibutuhkan pendekatan kelembagaan yang siap menopang dan menghidupkan kultur
inovasi di segala bidang ini dan menyusun program-program yang secara kinerja
inovasinya dapat terukur. Semua langkah harus diawali dengan memperbarui konsep teologi (semua unsur dalam
persekutuan, pelayanan, kesaksian dan pemuridan GKPA) yang sesuai dengan
konteks dan pergumulan zaman serta memperbarui sistem manajemen dan
kepemimpinan yang lebih strategis sesuai kebutuhan dan tantangan yang ada.
Secara kelembagaan GKPA
sudah harus mampu menjalankan standar-standar manajemen modern dengan didukung
oleh teknologi sistem informasi yang terkini. Semua sistem kerja sudah
berorientasi kepada kinerja yang terukur dan berorientasi kepada pemenuhan
kebutuhan seluruh anggota jemaat serta semua pemangku kepentingan.
Dengan strategi mendorong
inovasi ini maka Gereja Kristen Protestan Angkola memiliki kemungkinan menjadi
pelopor pembaruan dan
memberikan inspirasi positif bagi seluruh pemangku kepentingan dan bahkan bagi
seluruh masyarakat secara umum.
7.3.4.
Tahap IV (2031 – 2036): “Pembaruan secara terpadu” - OPTIMALISASI
Strategi umum tahap
keempat ini memiliki arti mengekspresikan semua potensi dan kapabilitas yang
dimiliki lembaga Gereja Kristen Protestan Angkola untuk bermakna bagi pihak lain. Arti pembaruan
secara terpadu adalah Gereja Kristen Protestan Angkola tidak lagi berorientasi pada diri sendiri tapi
sudah dan harus selalu memberikan perhatian, kepedulian dan kemampuan kepada
pihak lain di luar dirinya.
Segala kelemahan dalam
pelayanan GKPA sudah harus selesai perbaikannya secara menyeluruh dan meningkat
tahapannya menjadi memperbarui segala aspek. Baik aspek manajemen maupun
kepemimpinan di semua level harus sudah memiliki agenda untuk pembaruan segera.
Semua sumberdaya yang dimiliki baik secara internal GKPA harus dioptimalkan
untuk menjawab semua tantangan yang ada.
Makna kehadiran GKPA di
tengah-tengah pergumulan zaman terwujud dalam pembaruan-pembaruan yang
dihadirkan oleh seluruh aras organisasi GKPA yang memunculkan suatu kualitas
pelayanan yang tidak hanya jelas output
(keluaran)-nya, namun juga outcome
(manfaat) dan impact (dampak positif)-nya
bagi masyarakat sekitar.
Optimalisasi membutuhkan
upaya-upaya dengan menetapkan sasaran-sasaran yang selalu menantang, terukur
dan relevan sesuai tuntutan situasi saat ini maupun saat mendatang.
Pemberdayaan semua potensi sumberdaya juga harus mengacu kepada hal-hal yang
dapat menumbuhkan transformasi eksternal sebagai konsekuensi dari Gereja yang unggul melayani dalam kebersamaan.
7.3.5. Tahap V (2036 - 2041): “Keunggulan & Kebersamaan” -
TRANSFORMASI
Pada tahap lima tahun
terakhir dalam jangka panjang dua puluh lima tahun ke depan, dibutuhkan
strategi transformasi. Situasi kondisi pada saat itu masih belum dapat
digambarkan secara eksplisit dan terukur oleh karena begitu cepatnya perubahan
yang sedang dan akan terus terjadi. Namun demikian tanda-tanda dan tren masa
depan sudah dapat diidentifikasi sehingga Gereja Kristen Protestan Angkola harus menetapkan langkah strategis yang
relevan.
Transformasi adalah
semangat memancarkan berkat keluar bagi semua pihak tanpa kecuali sebagai hasil keunggulan pelayanan dalam kebersamaan. Setiap anggota Gereja Kristen Protestan Angkola
harus menyadari bahwa transformasi yang
sudah dirasakan di masing-masing dirinya harus dibagikan sebagai berkat bagi
sesama. Kecintaan kepada Allah dipancarkan kepada sesama dan kepada keutuhan
ciptaan sehingga membawa dampak yang positif, inilah esensi perwujudan transformasi.
Sesuai dengan perjalanan lima
tahap dalam lima tahunan yang sudah dilewati, maka formulasi ulang terhadap penyatuan dan optimalisasi semua potensi dan
kapabilitas antar badan, wilayah, sumberdaya, jejaring kerja, sarana dan prasarana
lembaga perlu dijalankan. Semua dimensi Gereja Kristen
Protestan Angkola perlu ditata ulang
agar dapat dipastikan pencapaian dan perwujudan visi: “Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan”. Identifikasi dan
pendeteksian aspek-aspek internal dan eksternal Gereja Kristen Protestan
Angkola harus dilakukan ulang sesuai
dengan segala perubahan yang terjadi. Sinergi antar hirarki semua badan dalam
keseluruhan lembaga menuju pencapaian visi perlu ditransformasi (perubahan
bentuk yang sama sekali baru tanpa meningggalkan pengakuan, Tri Tugas Panggilan
dan aspek esensial GKPA).
Pembentukan Tim Penyusun
Visi Misi Gereja Kristen Protestan Angkola dua puluh lima tahun berikutnya harus
dilakukan dan diberdayakan dengan dukungan keahlian multi dimensi dan berasal
dari multi disiplin ilmu. Daya antisipasi dan semangat menjawab tantangan di
masa depan menjadi prioritas utama. Sesuai dengan tren dua puluh lima tahun ke
depan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan saling
berkaitan, maka Gereja Kristen Protestan Angkola juga harus mengantisipasi hal tersebut dengan
menjawab pendekatan kajian yang dilakukan serba multi dimensi.
BAB
IX
POKOK-POKOK
PROGRAM 2016-2021
Pokok-pokok program
2016-2021 ini tercantum dalam Rencana Strategis GKPA 2016-2021 yang termaktub
dalam buku tersendiri dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Visi Misi GKPA
menuju 2041 ini.
Renstra ini akan
disusun secara bertahap mulai dari tahap pertama hingga tahap kelima. Renstra
ini merupakan penjabaran dari strategi tahap pertama (2016-2021) GKPA, yaitu “Peningatan Kapasitas dan Kapabilitas –
KONSOLIDASI.” Berdasarkan strategi tersebut maka dilakukan analisis dan
identifikasi persoalan-persoalan strategis yang dirasakan GKPA selama lima
tahun terakhir.
BAB X
PENUTUP
Demikianlah dokumen
Visi Misi GKPA 2016-2041 dan Rencana Strategis 2016-2021 ini disusun demi
memudahkan pemangku jabatan dan stake
holder mencapai cita-cita mulia GKPA 25 tahun ke depan. Dokumen ini Visi Misi GKPA 2016-2041 ini merupakan sebuah panduan
dan peta
perjalanan (road map) pelayanan GKPA yang harus diwujudnyatakan oleh semua pihak di
berbagai lini untuk mencapai tujuan bersama, yaitu ”Gereja
yang Unggul Melayani dalam Kebersamaan”.
Dokumen ini juga bukanlah sebuah harga mati melainkan
sebuah petunjuk dan pengarah yang selalu mengalami dinamika seturut dengan
perkembangan situasi dan kondisi pelayanan. Lebih jelasnya, dokumen visi misi
ini lebih bersifat sebagai alat
kepemimpinan dan manajerial yang bisa saja dalam pengimplementasiannya memerlukan kebijaksanaan serta
penyesuaian-penyesuaian taktikal seturut dengan konteks dimensi waktu, tempat
dan sumberdaya yang ada. Itu sebabnya diperlukan
kemampuan dan kompetensi para pelayan dan pemangku jabatan di semua lini GKPA yang kuat dan tangguh serta
unggul untuk mengimplementasikan program-program strategis GKPA dengan sungguh-sungguh.
Dengan selesainya dokumen visi misi GKPA ini akan
membawa manfaat yang positif bagi pertumbuhan dan perkembangan GKPA yang
signifikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Visi misi ini mampu
menciptakan pola pelayanan yang kongkrit, yang sudah ditargetkan secara
spesifik sehingga setiap pelayan dan warga jemaat memiliki arah tujuan yang
jelas dan pasti. Disamping itu, melalui dokumen ini juga diharapkan menjadi
landasan perencanan pelayanan yang unggul yang akan dikembangkan secara
terus-menerus di semua lini pelayanan GKPA.
Semoga dokumen Visi Misi dan Renstra GKPA ini dapat
menginspirasi setiap orang untuk memberikan pelayanan yang unggul dengan TEDUH
dan bersahaja demi kemuliaan Allah dan membawa damai sejahtera bagi seluruh
dunia.
PUSTAKA PENDUKUNG
A, Brown. & E, Weiner. Future
Think, Prentice Hall, New Jerse, 2006.
Franklin, Daniel & Andrews, John.
Megachange The World In 2050, London:
The Economist, 2012.
Geisler, Norman L. dan MacKenzie,
Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences,
Grand Rapids: Baker, 1995.
Gultom, Ibrahim Agama Malim di Tanah Batak, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Hendriks, Jan. Jemaat
Vital dan Menarik, Yogyakarta:Kanisius, 2002.
Hutauruk, J.R. “Makna Sejarah
Gereja masa kini: Suatu analisa historis tentang sejarah kekristenan di luat
Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed.), Bunga
Rampai:Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola, Padangsidimpuan:
Kantor Pusat GKPA, 2011.
Kessel, Rob Van. Enam Tempayan Air Pokok-Pokok
Pembangunan Jemaat, Yogyakarta:Kanisius, 1997.
L, Brigitta Isworo. Merekayasa
Atmosfer hingga Politik Global, Harian Kompas Rabu 22 April 2009.
Marpaung, Adolv Bastian. Jiwa
Kerukunan Masyarakat Sipirok, L-SAPA STT HKBP: Pematangsiantar, 2010.
Marpaung, Sabam
Parulian. Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah
Sipirok-Angkola, Sipirok: Panitia Pesta Penahbisan Gedung Gereja
GKPASipirok, 1991.
P. Yun &
Hattaway, The
Heavenly Man (Manusia Surgawi), alih bahasa: N. Willem Tode, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2006.
Rajadhyaksha, Niranjan. The Rise of
India, alih bahasa Natalia Ruth Sihandrini, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008.
Rodgers, Susan. “A Modern Batak Horja: Innovation
In Sipirok Adat Cermoinial”, dalam http://
ethnomucicscape.de/ Batak%20horja.pdf.,
Siregar, J.U. Dari Gereja Zending ke GKPA, Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1999.
Siregar, Parningotan. ”Alkot Aek Alkotan Do Mudar”, bahan makalah Seminar Sehari
GKPA, tt. Di Kantor Pusat GKPA.
Situmeang, Doangsa
P.L. Sistem Kekerabatan Masyarakat BatakToba, Jakarta: Jambatan, 2003.
Stott, John. Isu-Isu
Global, Menantang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
Jakarta, 2005. Wahid, KH Abdurahman. Ilusi
Negara Islam, The Wahid Institute, Jakarta, 2010.
[1] Kata Pernyataan berarti sebuah maklumat GKPA yang harus dimaknai
secara bersama-sama.
[2] Misionaris yang pertama, seperti: Gerrit van Asselt [Ermelo (1857)],
Dammerboer, van Dalen, Betz, Koster [Ermelo (1858)], Heine, Klammer [RMG
(1861)] dan I.L.Nommensen [RMG (1862)].
[3] Lih. J.R.Hutauruk, “Makna
Sejarah Gereja masa kini: Suatu analisa historis tentang sejarah kekristenan di
luat Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed.), Bunga Rampai:Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 2011,
hl.26.
[4] Tanggal
itulah yang kemudian dijadikan "hari-jadi" Gereja Mennonit di
Mandailing. Gereja Mennonit Mandailing ini akhirnya bergabung dengan GKPA pada
26 Maret 1976.
[6] Lih. J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 1999, hl. 177.
[10] Ibid.
[13] Ibid.
[15] Tragedi Padangsidimpuan adalah suatu peristiwa penolakan pendeta
Angkola (Pdt.Z.S.Harahap) yang ditugaskan di HKBP Resort Padangsidimpuan oleh
sekelompok orang yang tidak suka dengan gerakan panjaeon HKBP-A.
[18]Bnd. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa
…, hl. 91-105.
[19] Ibrahim Gultom, Agama Malim
di Tanah Batak, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010)., hl. 59. Peristiwa buruk dimaksud khususnya perlakuan kawin incest yang sudah kerap
terjadi dikalangan masyarakat Batak.
[20] Doangsa P.L.Situmeang, Sistem Kekerabatan Masyarakat BatakToba,
(Jakarta: Jambatan, 2003), hl. 1.
[21]Lih.https://margasiregar.wordpress.com/budaya/
[22]Sabam Parulian Marpaung, Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah
Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok-Angkola, (Sipirok: Panitia Pesta
Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991)., hl. 40.
[24]Lih. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa
Kerukunan Masyarakat Sipirok, (L-SAPA STT HKBP: Pematangsiantar, 2010),
hl.25-26.
[25] Ibid.,hl.105-110.
[26] Susan Rodgers, “A Modern Batak Horja: Innovation In Sipirok Adat
Cermoinial”, dalam http://
ethnomucicscape.de/Batak%20horja.pdf., hlm. 110. Diakses tgl. 19 Januari
2009.., hl. 115.
[27]Bnd. Adolv Bastian Marpaung, Jiwa
…, hl.123-124.
[28]Parningotan Siregar Gelar Baginda
Hasudungan Siregar, ”Alkot Aek Alkotan Do
Mudar”, bahan makalah Seminar Sehari GKPA,
tt. Di Kantor Pusat GKPA, hl. 1-3,5, 12, 15.
[29]Gambaran filosofi ini dilihat dari gerak langkah kaki kuda. Kaki
belakang kuda akan menginjak jejak kaki depan kuda saat melompat.
[30] Jan Hendriks, Jemaat Vital
dan Menarik, (Yogyakarta:Kanisius, 2002), hl. 20.
[31] Jan Hendriks, Jemaat …,
hl. 20.
[32]Jan Hendriks, Jemaat …,
hl. 20.
[33]Ibid.
[34] Rob Van Kessel, Enam Tempayan
Air Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat,
(Yogyakarta:Kanisius, 1997), hl. 1.
[35] Yang dimaksud dengan konteks adalah situasi sekarang yang
ditentukan oleh banyak faktor, masa lalu, sekarang dan masa depan, termasuk
faktor perubahan nilai dan segala kekaburan yang menjadi akibatnya.
[36] Jan Hendriks, Jemaat.., hl.
48-64.
[37] Ibid., hl. 92-93, 120-123.
[38] Jan Hendriks, Op. Cit..hl.
92-93, 120-123.
[39] Uraian secara rinci pertanyaan-pertanyaan
indikator dari ketigapuluh enam variabel yang dinilai, tercantum dalam lampiran
3. Kuesioner Penyusunan Visi Misi Gereja Kristen
Protestan Angkola.
[40] Secara lebih rinci hasil kompilasi beserta
berbagai masukan dari pengisi dapat dilihat pada lampiran 4. Kompilasi Hasil
Kuesioner.
[41]Secara lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 3.
[42]Sabam Parulian Marpaung, Gereja Kristen Protestan Angkola, Sejarah
Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok-Angkola, (Sipirok: Panitia Pesta
Penahbisan Gedung Gereja GKPASipirok, 1991)., hl. 40.
[44]Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals:
Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker, 1995).
[45] Secara lebih rinci hasil kompilasi TOWSAnalysisdapat dilihat pada lampiran5. Matriks Analisis
TOWS:ESFAS & ISFAS.
[46] Secara lebih rinci hasil kompilasiTOWSAnalysisdapat dilihat pada lampiran 4. Kompilasi Hasil ESFAS
& ISFAS.
[47]Lebih lanjut lihat: Niranjan Rajadhyaksha,
2008, The Rise of India, alih bahasa Natalia Ruth Sihandrini, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
[48]Lebih lanjut lihat:Yun & Hattaway P., 2006, The Heavenly Man (Manusia Surgawi), alih
bahasa: N. Willem Tode, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta.
[49]Survey dan prediksi Brown A. & Weiner E., 2006,dalam Future Think, Prentice Hall, New Jersey.
[50]Brigitta Isworo L, 2009, Merekayasa Atmosfer hingga Politik Global, Harian Kompas Rabu 22
April 2009 hl. 15, Jakarta.
[51]
http://infoindonesia.wordpress.com/2008/04/17/mengisolir-krisis-pangan-dunia-larang-pengusaha-besar-dari-sektor-pangan/
[52] Daniel Franklin & John Andrews, 2012, Megachange The World In 2050 (London: The Economist), Page 6.
[53] Bisa dikembangkan juga dengan mengacu pada buku: John Stott, 2005, Isu-Isu Glonal, Menantang Kepemimpinan
Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta.
[54] Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragaman di Indonesia 2010,
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Juga: KH Abdurahman Wahid, 2010, Ilusi Negara Islam, The Wahid Institute, Jakarta.
[55] Lina A. Alexandra dalam Shafiah F. Muhibat, Untuk Indonesia
2014-2019 Agenda Sosial Politik dan Keamanan (Jakarta: CSIS), halaman 95.
[57] Amsal 2:11
[58]IICD, 2003, The 1st Batch
Professional Director Program, Materi Pelatihan, Indonesian Institute for
Corporate Directorship, Jakarta.IID, 2005, Director
Professionalism, Materi Pelatihan, The Indonesian Institute of Directors,
Jakarta.
